29 Juni 2010

BERHENTI BERIMAJINASI, TOLAK KEBODOHAN

Imaginasi saya terhenti ketika harus menyaksikan realita yang ada. Imajinasi saya selalu menuntun pada hal-hal yang ideal, indah dan sempurna bahkan lebih dari itu sangat luar biasa. Begitu juga saya yakin yang terjadi pada Anda. Ketika berfikir tentang kehidupan pribadi, kita berfikir dan mengkhayal semua tentang keindahan, tanpa pernah terfikirkan hal-hal buruk. Itu khayalan. Berbeda dengan kebalikan dari khayalan adalah kekhawatiran, yang terfikir adalah kesulitan-kesulitan, kesusahan dan semua yang berkaitan dengan halangan dan rintangan.
Dalam konteks dunia pendidikan, kadangkala kita terlalu terbuai dengan hal-hal yang terlalu ideal. Mengkhayalkan pendidikan negeri kita yang begitu sempurna. Ada banyak terobosan baru dalam pelaksanaan pembelajaran, media pembelajaran yang semakin canggih, tenaga pengajar yang terus ditingkatkan kemampuan dan jenjang strata pendidikannya. Bayangkan saja, kalau dulu orang tamatan SMA bisa mengajar SMA, sarjana bisa mengajar calon sarjana, tapi sekarang guru SD sudah disyaratkan minimal sarjana, jenjang selanjutnya tentu akan terus menyesuaikan. Itu adalah kemajuan-kemajuan dunia pendidikan kita yang harus terus kita dukung dan tingkatkan tentunya.
Tapi, pernahkah kita coba berhenti sejenak mengkhayal. Bermimpi indah terus, walaupun mimpi indah itu yang memang harus terus kita jaga. Sesekali kita khawatir. Khawatir terhadap kondisi yang tidak ideal ternyata pada tataran realita. Seperti pada acara reality show yang baru saja saya saksikan di salah satu televisi swasta. Ada seorang bocah berusia kira-kira delapan tahun, sebut saja namanya Wulan yang terpaksa harus “dikarbit” menjadi dewasa. Pikiran-pikirannya pun mirip orang dewasa, punya keinginan kuat untuk mengenyam pendidikan tapi apa lacur karena orang tua tak punya biaya ia harus berjualan makanan ringan di pinggir jalanan kota. Sebenarnya bukan salah dirinya, orang tuanya juga seharusnya bertanggung jawab, tapi lagi-lagi apa daya kalau orang tua juga tak punya apa-apa dan tidak punya skill dalam hidup.
Menyedihkan memang. Itulah realita yang membuat saya terhenti untuk berimajinasi. Saya harap Anda juga ikut berhenti berimajinasi sejenak. Kita coba untuk berkhawatir durja. Tidak hanya satu orang seperti yang saya yang contohkan di atas. Ada begitu banyak Wulan-wulan lain yang berada disekitar kita. Khawatir terhadap nasib mereka, jangan terpikir di benak kita itu bukan siapa-siapa kita, mengapa kita harus peduli. Dari sisi kemanusiaan, maka sesungguhnya kita telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena membiarkan mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi kaum terdidik, padahal kita mengetahui kondisi mereka. Dari segi agama, bagi ummat Islam ada satu prinsip yang harus dipegang yang berasal dari sebuah hadits Rasulullah yang intinya adalah apabila kita terbangun di pagi hari tanpa terpikirkan kondisi ummat Islam termasuk dalam hal seperti di atas maka dia bukan bagian dari ummat ini. Secara tegas Rasulullah menolak orang yang hanya berucap di mulut sebagai ummatnya tetapi tidak peduli dengan kondisi ummat.
Kita berheneti sejenak untuk mengkhayal indah ria mencoba untuk khawatir sebab bagaimana bangsa ini akan bangkit kalau begitu banyak orang-orang yang tersisihkan padahal mereka begitu potensial. Mereka adalah anak-anak bangsa. Apakah kita tidak takut kelak meninggalkan generasi yang lemah, bukan hanya fisik tapi juga dari aspek pengetahuan dan keilmuannya. Sejenak berkhawatir untuk kembali hidup tapi tidak dengan khayalan, kita akan hidup dengan mimpi indah dan terbaik. Bermimpi bagaimana mereka yang tersisihkan ini nantinya akan menjadi orang-orang yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini. Bermimpi bagaimana anak-anak yang kurang beruntung ini mampu menjadi penggerak ekonomi negeri karena mereka belajar dari kesulitan yang mereka alami.
Saya teringat dengan sebuah sub judul buku “Menjadi Bangsa Pintar” buah pemikiran Heppy Trenggono. “Mengapa bodoh berkelanjutan?” jawabnya simple sekali karena kita mau dibodohi. Sebagian besar kita mengidap penyakit mental indolence, yaitu kondisi mental bangsa yang berfikir dan bersikap atas sesuatu masalah dengan cara meniru pada kebiasaan-kebiasaan sebagaimana yang dilihat, dan akhirnya membentuk mindset. Maka, saran beliau kita harus berubah. Kita harus menanamkan mentalitas PEMENANG. Kalau tidak, maka selamanya kita akan menjadi bodoh dan bodoh. Atau cocok juga bila diketengahkan sebuah lagu kepada kita:
Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk membohongi
Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu
Kita berhenti sejenak. Kita mulai fikirkan bagaimana kita jadi pemenang. Karena hak untuk menjadi pemenang juga hak kita, hak bangsa Indonesia. menjadi bangsa pemenang harus dari masyarakat yang cerdas. Membentuk masyarakat cerdas merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau sebelas tahun yang lalu musuh bersama kita adalah orde baru yang korup dan bertangan besi maka musuh kita sekarang, di tahun 2010 ini dan seterusnya adalah kebijakan pemerintah yang tidak berpijak kepada rakyat dan tindakan yang terus membodoh-bodohi rakyat. Kita lawan kebodohan.

-Elly Sumantri-
Rumah Edukasi
Diantara bangunan-bangunan imajinasi yang bernama kesibukan. Entah apakah kita benar-benar sibuk atau hanya sekedar berpura-pura sibuk untuk tidak melihat sejenak realita yang terjadi.

11 Juni 2010

Sekolah Islam Terpadu: Fenomena Pendidikan Indonesia

Sejarah pendidikan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan modern saat ini yang banyak menggabungkan beberapa unsur sesungguhnya adalah bentuk pengembangan dari sitem pendidikan Indonesia zaman dahulu. Model pendidikan yang sampai saat ini tetap diterapkan sebagaimana aslinya, kemudian ada juga yang mengalami perkembangan yaitu pembauran antara model pendidikan tradisional dengan model pendidikan modern.
Pesantren yang lebih mengedepankan pendidikan Islam adalah model pendidikan tertua di Indonesia sekaligus sebagai cikal bakal model pendidikan modern juga. Sejarah pesantren, seperti yang saya sebutkan di atas tidak adapat dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai perjuangan. Jauh sebelum bangsa Eropa masuk dan menjajah nusantara (Indonesia, Malaysia, Pilifina) pesantren telah ada dan menjadi satu-satunya sistem pendidikan saat itu dan memang disupport oleh pemerintahan Islam saat itu yaitu kesultanan-kesultanan yang berkuasa di daerah-daerah.
Ketika penjajah mulai menduduki beberapa wilayah nusantara, pesantren tidak hanya menjadi tempat mencari ilmu, pesantern juga menjadi tempa pengkaderan para pejuang-pejuang yang akan membebaskan negerinya dari tangan penjajah. Jadilah pesantren dengan masjid sebagai pusatnya menjadi barak-barak militer. Hal ini terus berlanjut ketika sampai Indonesia merdeka. Bahkan laskar-laskar rakyat yang turut berjuang sesungguhnya berasal dari kaum santri dengan semangat jihad fii sabiilillah dan salah satunya adalah Panglima Besar TNI yang pertama yaitu Jenderal Soedirman.
Pada saat itu telah berdiri pula lembaga-lembaga pendidikan lain yang mengadopsi sistem pendidikan Barat. Lembaga pendidikan seperti taman siswa dan lainnya juga menjadi salah satu pencetak generasi pejuang. Hanya saja, karena mengadopsi sistem Barat maka tentunya hawa sekulerisme juga terasa. Dikotomi antara pendidikan agama (Islam) dengan pendidikan umum diberlakukan di sekolah-seklah tersebut sehingga tidak sedikit juga melahirkan tokoh-tokoh pergerakan yang sekuler. Fenomena ini terus berlangsung hingga saat ini karena memang sistem pendidikan kita membedakan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama. Belum ada regulasi untuk mengintegrasikan keduanya.
Akan tetapi, akhir-akhir ini kita begitu terperangah dengan sebuah fenomena yang begitu mencengangkan. Sekolah Islam berdiri dimana-mana. Mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak bahkan Play Group hingga Perguruan Tinggi Islam. Fenomena ini muncul menjelang awal tahun 2000-an, hingga sekarang bagaikan jamur di musim hujan. Yang luar biasa adalah ternyata para peminat sekolah-sekolah Islam ini begitu banyak. Ada apa sebenarnya dengan sekolah-sekolah Islam yang sering disebut dengan Sekolah Islam Terpadu ini? Ada banyak misalkan TK Islam Terpadu (TK IT), Sekolah Dasar Terpadu (SD IT), SMP IT, SMA IT. Apakah ini sebuah bentuk kebosanan masyarakat kita terhadap sistem pendidikan konvensional yang terkesan sekuler dan mendikotomi antara pendidikan umum dengan pendidikan agama? Apakah ini tanda bahwa masyarakat kita sudah sadar bahwa sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang lebih modern dan manusiawi? Ada begitu banyak pertanyaan yang menggelayuti fikiran kita.
Akan tetapi, saya menilai ada beberapa hal yang menjadikan Sekolah Islam Terpadu menjadi sebuah fenomena dalam pendidikan kita. Pertama, secara historis memang bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai religius yang menjadi sumber dan daya kekuatan bangsa ini. Sesungguhnya yang memperjuangkan bangsa ini di garis depan adalah kaum santri yang siap berjuang dan berperang. Tapi, tidak semua ternyata memegang senjata, ada diplomat ulung seperti K.H. Agus Salim, Guru dari para Founding Fathers kita HOS. Cokroaminoto, dua pendidir Ormas besar yang bertujuan untuk kemerdekaan bangsa, K.H. Hasyim As’arie (pendiri NU) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), negarawan seperti M. Natsir atau seorang tokoh militer bintang lima seperti Jenderal Soedirman dan begitu banyak lagi. Mereka adalah para tokoh pesantren dan santri yang berjuang berdasarkan kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Kedua, pada dasarnya manusia selalu ingin kembali kepada fitrahnya. Allah SWT. telah menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik diantara makhluk-makhluknya yang lain yang mampu berfikir. Kecenderungan manusia mempengaruhi apa pilihannya. Setelah sekian lama manusia Indonesia dicekoki dengan sistem sekuler walau disamarkan membuat jiwa bangsa ini memberontak. Upaya-upaya untuk mencerabut bangsa ini dari akar budayanya ternyata tidak berhasil. Masyarakat bosan dengan Sistem Pendidikan Nasional dan model pendidikan umum yang terus memisahkan antara pendidikan agama (Islam) dengan pendidikan umum. Itulah fitrah manusia yang ingin memenuhi relung jiwanya dengan cahaya Allah.
Ketiga, Sekolah Islam Terpadu menawarkan hal yang lebih dibandingkan dengan pendidikan umum. Selain mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, Sekolah Islam Terpadu juga memberikan siswanya skill sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain itu, pola pembelajarannya juga sedikit berbeda dan memang mengakomodir hak-hak siswa sebagai penuntut ilmu. Hal ini sebenarnya mencoba menjawab tantangan zaman yang ke depan akan masuk para era globalisasi dan perdagangan bebas. Anak-anak Indonesia harus sudah dibekali cara-cara manajerial, skill dan sebagainya yang menunjang dirinya untuk mampu bersaing. Tentunya membentuk karakter mereka bukan untuk menjadi tenaga kerja tetapi yang membuka lapangan kerja.
Ketiga hal itulah yang membuat Sekolah Islam Terpadu sangat diminati oleh sekian banyak masyarakat Indonesia saat ini. Semoga kehadiran sekolah-sekolah ini akan memberikan dampak positif bagi ummat untuk kembali sadar bahwa kita harus kembali fitrah kita.Wallahu a’lamu bishshawwab.

Ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang bermaksiat.
Tidak ada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum sebab semuanya adalah ilmu yang berasal dari Allah.