23 Juli 2010

Ujian Kerja Kita

Ada keletihan yang menyelimuti di balik kerja-kerja kita. Juga ada kejenuhan yang diam-diam menelusup ke dalam hati tanpa sadar membuat kita melegalkan alasan-alasan pada diri kita untuk beristirahat. Itu pasti kawan, kita adalah manusia biasa dan memang rasa itu sangat manusiawi. Kepenatan yang datang adalah bunga-bunga dari kerja kita, ia adalah ujian. Apakah kita mampu melewatinya untuk meneruskan pekerjaan ataukah kita tergoda untuk beristirahat yang menjadikan kerja kita tertunda dan orang lain menyalibnya. Kita pun akan tertinggal sangat jauh.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, ”Sesungguhnya istirahatnya seorang muslim itu ketika kakinya sudah menginjak surga.” Kata-kata itu muncul di saat kerjanya mendapatkan ujian yang sangat besar. Betapa tidak, sang Imam dipaksa oleh penguasa saat itu untuk mengakui bahwa al-Qur’an itu sebagai makhluk bukan Kalam Allah. Di samping tekanan dan siksaan yang datang bertubi-tubi dari penguasa, beliau juga dibujuk rayu oleh para pengikutnya yang merasa kasihan kepadanya karena deraan yang tidak manusiawi tersebut. Namun dengan dengan Imam Ahmad menolaknya dengan mengucapkan kata-kata di atas. Fitnah tersebut akhirnya menjadikan beliau sakit fisik yang cukup parah sampai-sampai shalat beliau tidak mampu lagi bersedekap.
Ada lagi kisah pejuang lain yang juga mengalami ujian yang tak kalah hebatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah harus mendekam di penjara lantaran koreksi-koreksinya kepada penguasa. Di saat kondisi-kondisi negara sedang dalam keadaan darurat Ibnu Taimiyah dikeluarkan untuk menjadi pemimpin dan penyemangat jihad kaum muslimin tapi di saat kondisi negara kembali aman beliau juga kembali dipenjara. Namun itu semua tak membuat beliau menyerah dari kerja-kerjanya, banyak karya besar beliau yang dihasilkan di dalam penjara. Tanpa buku dan penanya karena dirampas, Ibnu Taimiyah menuliskan karyanya dengan arang di dinding-dinding penjara.
Ada banyak kisah-kisah lain yang memberikan kepada kita pelajaran berharga tentang betapa kerja-kerja besar itu akan banyak bunga-bunga ujiannya. Seperti contoh kedua tokoh di atas.
Sekarang, mari kita tuntaskan kerja kita. Kita tuntaskan sesuai kemapuan dan kapasitas kita. Kalau kita hanya mampu sebatas menjadi penyemangat saja, maka jadilah supporter yang gegap gempita dalam memberikan semangatnya sehingga yang lain menjadi tertular semangatnya. Namun, jangan juga yang bertugas di lapangan bekerja hanya karena ada supporternya dan ketika supportenya pergi, ia pun jadi loyo untuk bekerja. Penyemangat terbesar kita hanyalah yang Maha Pemberi Semangat. Itu kuncinya.
Kita patut belajar dari Musa bin Abdul Ghassan, seorang mujahid Granada yang tidak rela menyerah kepada orang-orang kafir dari kerajaan Spanyol yang menyerang Andalusia. Seorang diri ia songsong pasukan spanyol sampai ia mendapatkan syahidnya. ”Bagiku, mati di bawah reruntuhan tembok Granada demi membelanya, jauh lebih kucintai daripada singgasana-singgasana mewah di dalam istana Granada yang kudapat dengan menyerah kepada orang-orang kafir,” kata beliau. Seorang diri, tanpa supporter. Ia mati dalam keadaan terhormat. Syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang menyerah juga tetap dibunuh setelah dibohongi untuk diseberangkan di Afrika Utara.
Demikian ujian kerja kita. Allah ingin menguji seberapa tahan diri dengan berbagai pekerjaan yang dibebankan kepada kita. Apakah kita akan diberikan kehormatan untuk diberikan kerja yang lebih berat yang tentunya dengan ujian yang lebih berat ataukan kita masih ditempatkan pada kelas yang sama atau malah akan turun kelas karena kita belum lulus ujian.
Wallahu a’lamu bishowwab...

Seperti Apa Harusnya Sekolah Kita..??

Apa yang ada dalam benak Anda ketika saya sebutkan kata-kata sekolah? Adakah yang membayangkan suatu kegiatan yang membosankan karena setiap hari harus duduk di bangku kayu yang keras, tangan ditumpuk di atas meja? Ataukah ada juga yang membayangkan sekian banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan sepulang sekolah atau malah dikerjakan sebelum jam pelajaran dimulai secara beramai-ramai? Tentu saja banyak sekali yang kita bayangkan ketika disebutkan satu kata tersebut dan itu semua bergantung pada pengalaman belajar selama duduk di bangku sekolah dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Ketika di sekolah dasar kita diajarkan menggambar pemandangan dengan satu atau dua gunung dan ada matahari di atasnya. Tidak lupa di sekelilingnya terdapat padi dan pepohonan serta jalan raya yang menuju ke gunung tersebut. Atau menggambar seekor bebek dengan angka dua dan tentu bebeknya akan mengarah ke sebelah kiri kita. Kebiasaan itu terus kita bawa hingga saat ini, ketika kita sudah duduk di bangku kuliah, ketika menjadi guru, menjadi ibu atau seorang bapak bahkan ketika menjadi seorang pejabat sekalipun.
Kebiasaan- kebiasaan itu kembali kita tularkan kepada anak-anak, murid, adik dan siapa pun yang mencoba belajar dari kita. Itulah sebabnya sekolah dari cetakan pewarisan kebiasaan ini tidak mengalami perkembangan yang berarti. Zaman boleh maju, kita telah mengenal dunia digital sehingga hidup serba lebih mudah dan canggih, tapi sesungguhnya pemikiran kita adalah pemikiran warisan dari kebiasaan yang sebenarnya stagnan. Wajar saja kalau kita kalah bersaing dengan negara tetangga kita Malaysia dan Singapura yang dulu mengimpor guru dari negara kita.
Cobalah ketika ada yang menyebutkan kata ’sekolah’ kita fikirkan hal yang berbeda. Mas Lendonovo mencoba berfikir hal yang berbeda tentang sekolah, maka lahir dari pemikiran yang berbeda tersebut sebuah model sekolah baru di Indonesia, dikenal dengan nama ’Sekolah Alam’. Atau bentuk sekolah lain yang dibuat oleh Pak Harry Roesli, sekolah musik untuk anak-anak jalanan.
Ada seorang ayah ditanya mengapa menyekolahkan anaknya di salah satu Sekolah Alam di Bandung yang terbilang lebih mahal dan anak belajar sambil berkotor-kotor ria. ”Habisnya sekolah konvensial terlalu banyak teori tanpa ada praktek,” jawabnya mantap. Itulah penilaian, walau hanya dari satu orang dan tidak representatif tapi pernyataan beliau ada benarnya. Sekolah umum lebih banyak mengajarkan teori dan anak dijejali dengan ratusan ribu kata setiap harinya, tapi sesungguhnya hal tersebut tidak memenuhi semua aspek yang diharapkan. Dengan penjelasan teori-teori, maka yang ada adalah pemenuhan aspek kognitifnya saja sedangkan aspek afektif dan psikomotoriknya terabaikan. Misalkan, pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan teori-teori tentang kekeluargaan, tapi benarkah kekeluargaan telah terbangun kekeluargaan di antara siswa?
Saya tidak menyatakan bahwa pemberian teori itu tidak penting, akan tetapi itu hanya sebagai acuan untuk mempraktekkan dan mengaktualisasikan diri. Sehingga ketika waktunya kelak para siswa tersebut telah masuk dalam dunia sebenarnya mereka tidak ’No Action Talk Only(NATO) alias omong doank. Sedangkan praktek tanpa teori toh juga salah, ibarat seseorang yang berjalan di tengah gelapnya malam tanpa bantuan penerangan bisa-bisa ia tersesat. Begitu pentingnya keduanya antara teori dan praktek sehingga semuanya harus berjalan seiring.
Kita bisa belajar dari Rasulullah saw. dan beberapa rasul sebelumnya, bagaimana mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan memberi pelajaran serta peringatan bagi masing-masing ummatnya. Untuk mendidik mereka sengaja Allah memberikan ujian yang cukup, misalkan untuk memimpin ummat para utusan Allah tersebut lebih dahulu belajar menggembalakan domba. Domba-domba yang susah diatur tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi mereka kelak dalam mengendalikan ummat. Apalagi nabi Musa yang diturunkan kepada Bani Israil yang terkenal sangat bebal dan susah diatur. Contoh lainnya, dalam berniaga Rasulullah saw. selain diajarkan oleh pamannya teori-teori bisnis dan marketing beliau juga mempraktekkannya langsung sejak usia 12 tahun dan pada akhirnya dipercaya untuk menjalankan barang perniagaan Siti Khadijah dengan kejujuran dan hasilnya mendapatkan keuntungan yang luar biasa.
Mengapa masalah bangsa sampai dengan hari ini tidak dapat terselasaikan?? Itu berawal dari pendidikan kita. Pendidikan pewarisan yang sampai dengan saat ini masih mendominasi di negeri ini menjadi penghalang negeri kita untuk maju. Seorang siswa yang berfikir berbeda pada sebuah sekolah akan dicap bersalah oleh gurunya. Coba saja kita sedikit menghargai pemikiran-pemikiran berbeda mereka, siapa tahu dari pemikiran berbeda itu akan memberikan masukan yang berharga bagi kita. Selian itu permasalahan bangsa ini tidak pernah terselesaikan karena kita terlalu banyak komentator ketimbang yang mau bekerja. Itu juga akibat dari pendidikan kita, terlalu banyak dijejali dengan teori-teori tanpa ia coba dengan praktek sesungguhnya. Praktek saat ini baru dijadikan ajang pelajaran bukan praktek yang sebenarnya sebab pelajaran praktek tidak pernah diajarkan di bangku sekolah atau kuliah.

Sekolah Kita…

Beberapa bulan yang lalu dunia pendidikan kita disibukkan dengan rutinitas Ujian Nasional, kemudian disibukkan kembali dengan ‘semarak’nya pengumuman kelulusan siswa. Banyak yang menyambutnya dengan keceriaan serta tidak sedikit juga yang menyambutnya dengan kesedihan dan kemeranaan. Bagi yang lulus, kelulusannya adalah sebuah prestasi yang luar biasa, entah apaun caranya. Tapi bagi yang tidak lulus, hal tersebut merupakan kemalangan yang tidak terelakkan sebab selain dinyatakan gagal juga akan menanggung rasa malu baik di mata teman-temannya juga di mata masyarakat sekitarnya. Namun segala problematika Ujian Nasional tersebut akan menjadi PR kita bersama untuk memperjuangkannya agar siswa-siswa kita tidak menjadi korban ’pemaksaan’ sistem lagi.
Saudaraku, saya sangat trenyuh saat melihat pemberitaan di salah satu stasiun televisi swasta bahwa ada anak-anak sebuah Sekolah Dasar di Sukabumi Jawa Barat terpaksa harus belajar di bawah naungan atap langit dan berdindingkan pepohonan. Bukan karena mereka belajar di sekolah alam atau sedang melakukan kegiatan belajar out door akan tetapi seperti itulah keseharian sekolah mereka. Jangankan sarana praktek sebagai penunjang belajar, gedung pun tidak ada. Gedung sekolah yang seharusnya mereka pakai untuk kegiatan belajar mengajar sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Bangunannya sudah hampir roboh. Ketika ditanyakan kepada kepala sekolah, ternyata memang tidak ada bantuan dari pemerintah atau para dermawan untuk memeperbaiki kons\disi bangunan sekolah tersebut. Namun, ada sedikit kegembiraan di hati saya ketika melihat tanyangan anak-anak lugu (para siswa) yang mereka masih sangat bersemangat untuk bersekolah. Semangat dan kegembiraan itu terpancar jelas di sorot mata mereka.
Kondisi sekolah kita di Sukabumi Jawa Barat di atas hanya salah satu contoh yang sangat kecil. Banyak sekolah-sekolah lain yang juga sama parahnya bahkan lebih menyedihkan kondisinya. Ruangan kelas hanya layak disebut sebagai kandang kambing masih bertebaran di pelosok negeri ini. Saya teringat ketika pemutaran perdana film ’Laskar Pelangi’ yang ketika itu sang penulis novel Andrea Hirata bersama-sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Sang novelis memberikan sentilan kecil kepada bapak presiden, ”Inilah kondisi pendidikan kita.” Presiden hanya menaggapi santai sentilan tersebut, ”Itukan dulu, sekarang sudah tidak lagi.” Tapi nyatanya kondisi sekolah kita tidak lebih baik dibandingkan dahulu.
Saya tidak akan mengatakan itu sekolah Anda, sekolah di kota Anda, atau sekolah di propinsi Anda tapi saya katakan itu adalah kondisi sekolah saya, sekolah Anda dan sekolah kita semua. Mengapa saya katakan demikian karena kondisi ini terjadi dalam sebuah bingkai ’INDONESIA’.
Kita boleh berceloteh soal sistem. Tidak ada larangan bagi kita untuk mengkritik sistem pendidikan kita yang memang tidak mendidik. Kita juga sangat boleh mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait masalah pendidikan tetapi janagan juga kita lupakan soal pembangunan fisiknya. Bagaimana mungkin siswa-siswa kita akan nyaman belajar ketika panas terik menerpa mereka kepanasan hingga keringat bercucuran? Atau di saat hujan turun mereka harus berlarian mencari tempat bernaung, bagi yang terlambat maka basah kuyuplah ia atau buku-bukunya yang akan jadi korban kebasahan. Akan lebih sangat mengerikan seandainya gedung-gedung tak layak pakai tersebut masih saja dibiarkan dan terus digunakan apabila suatu hari ternyata gedung-gedung tersebut roboh dan anak-anak sedang belajar di bawahnya.
Saudaraku, Heppy Trenggono mengatakan, ”Bangsa Pintar Dipimpin oleh Pemimpin yang Membangun Bangsanya, Bangsa Bodoh Dipimpin Oleh Pemimpin yang Membangun Dirinya.” Jelas bukan?? Kalau kita ingin pintar, menjadi bangsa yang pintar dan cerdas kita harus dipimpin oleh pemimpin yang membangun bangsa bukan pemimpin yang membangun kelompoknya atau malah lebih parah membangun dirinya sendiri. Tapi saya rasa bukan hanya pemerinah, para pengusaha kita juga harus bertanggung jawab. Betapa banyak mereka telah meraup keuntungan dari bangsa ini, betapa banyak juga mereka juga telah merugikan negeri ini. Toh, korupsi bukan hanya oleh pemerintah tapi juga oleh para pemilik korporasi. Dana CSR perusahaan yang cukup besar akan jauh lebih dan sangat bermanfaat bila digunakan untuk kepentingan publik. Misal dengan membangunkan sarana pendidikan, sarana bermain anak-anak dan juga sarana ibadah. Para kepala sekolah tak perlu lagi berkeliling mengajukan proposal kepada pemerintah dan pengusaha meminta kerendahan hati mereka untuk membangunkan sarana prasaranabelajar akan tetapi pemerintah dan pengusahalah yang harus perhatian kepada nasib pendidikan kita. Marilah kita coba kalau pendidikan kita ingin lebih baik.

11 Juli 2010

Sekolah untuk Kebodohan

Bani Israil menjadi contoh para pembelajar bebal yang banyak sekali Allah ceritakan di dalam Al-Qur’an. Bahkan hingga hari ini para pembelajar bebal itu juga masih sangat banyak dan terus menyebarkan kebebalan-kebebalannya kepada setiap orang tak terkecuali diri kita. Kebebalan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa banyak yang tidak mau belajar dari orang lain, sejarah, binatang bahkan segenap alam semesta. Kebebalan semacam ini sudah banyak merasuki diri kita.
Dalam lingkup pendidikan formal, ada banyak kebebalan yang ditanamkan ke dalam kurikulum pendidikan kita. Jangankan kurikulum, bahkan sistem besarnya juga sudah bebal. Bagaimana turunan yang lebih kecil jika sistem terbesarnya saja sudah bebal?
Masih segar dalam ingatan kita tentang seorang anak SMP bunuh diri gara-gara tidak lulus Ujian Nasional. Ada juga yang karena ketakutan yang begitu besar kahirnya ia mengakhiri hidupnya padahal waktu pengumuman belumlah tiba. Saya tidak akan membenarkan sikap yang diambil oleh para anak-anak tersebut. Tapi ada satu hal yang perlu kita fahami bahwa ternyata sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang memaksa. Selain itu kegagalan-kegagalan dalam pendidikan sangat kentara terlihat. Bagaimana mungkin seorang anak akan melakukan sebuah perbuatan picik dengan bunuh diri kalau pendidikan itu dilaksanakan dengan baik?? Belum lagi yang mengalami depresi jumlahnya sudah tidak terhitung. Yang ada dalam sistem pendidikan kita bukan mendidik tapi ’memaksa
Kalau dulu tawuran itu hanya dikenal pada anak-anak sekolah menengah (SMP dan SMA) sekarang sudah merambah ke kelompok yang lebih ’elit’ lagi. Tawuran menjadi sebuah tingkah para mahasiswa. Kenapa saya katakan tingkah sebab ini adalah penyimpangan watak. Sikap tidak dewasa. Berani kepada sesama yang didominasi oleh egoisme atau berani kepada junior pada saat ospek dengan alasan balas dendam.
Sekolah untuk jadi bodoh seperti yang diungkapkan oleh Ustadz Rahmat Abdullah merupakan sebuah tradisi mengulang kejelekan pendahulu. Sangat baik kalau yang diulang merupakan hal yang mulia dan terpuji akan tetapi yang diulang justeru kejelekan-kejelekan. Kalau dulu para koruptor merampok uang negara secara sembunyi-sembunyi dibalik ketiak penguasa. Sekarang koruptor sudah tidak malu-malu lagi berkomentar di media padahal sudah terbukti bersalah. ”toh kami hanya mengikuti para pendahulu kami, kami hanya ingin mengambil hak kami yang dulu dirampas oleh mereka walau harus merampok uang rkayat juga,” itu barangkali fikir mereka. Walaupun keduanya tetaplah salah, sama-sama mencuri. Pepatah Arab ”rahimallahu assarariqal awwal”(semoga Allah mengasihi pencuri terdahulu) sesungguhnya tidak berlaku di sini.
Seorang Abul Hasan Ali Annadawi, ulama besar India mengatakan terkait dengan buah dari dana besar ummat di negeri-negeri maupun swasta. ”Itu bukan pembangunan, tetapi penghancuran,” Mengapa beliau sampai mengatakan hal seperti ini?? Karena bila ummat Islam yang punya aqidah dan prinsip, da’wah dan risalah, direkayasa sejak kecil untuk menghirup nyawa hidup dari dunia lain yang materialistik, hedonik, kering dan munafik, maka pengkhianatan telah terjadi. di sebagian besar negara-negara Islam, jangankan mendapatkan pendidikan keislaman yang cukup, sekedar memasukkan Sirah Nabawiyah Rasulullah dalam kurikulum sangat dilarang. Alasannya, agar tidak ada tindakan ekstrem dalam beragama. Padahal rujukan harakiyah dan inspirasi perjuangan ummat Islam sesungguhnya dari sejarah Rasulullah dan para sahabat tersebut. Termasuk negeri ini. Kalaupun ada itu masih dalam sekup formal dan sangat dibatasi.
Sesungguhnya sebuah agenda dari rekayasa telah merasuki sistem kita. Dimulai dari para penjajah yang dahulu membagi-bagi negeri muslim ke dalam wilayah jajahan mereka. Sistem itu tertanam. Walaupun kemerdekaan telah diraih namun pendidikan yang diperoleh dari para pendiri negeri ini juga hasil indoktrinasi penjajah. Kita merdeka secara fisik namun belum merdeka secara pemikiran. Sesungguhnya sekolah yang kita jalani saat ini adalah sekolah kebodohan. Perlu tatanan baru dalam pengelolaan dan muatan pendidikan kita. Agar tidak lagi ada korban-korban berjatuhan akibat pembodohan-pembodohan tersebut.
Menurut Muhammad Quthb dalam Manhaj Tarbiyah Islamiyah, pendidikan adalah ’Seni Membentuk Manusia(fannu tasykiilil insaan). Untuk membentuk manusia maka ada dimensi-dimensi yang harus selalu dibentuk yaitu akal, hati dan badan, dengan kata lain pendidikan adalah bagaimana membentuk semua elemen yang menjadi ciri kehidupan seorang manusia kemudian berusaha mengaktualisasikan. Aktualisasi itu sendiri merupakan proses dari pendidikan.
Di negeri ini sudah sangat banyak orang yang pintar secara intelektual namun ternyata yang terbentuk hanya pada dimensi akal saja. Ia tetap bebal seperti halnya Bani Israil yang tetap bebal walaupun Allah telah menunjukkan berbagai kekuasaannya dan menjanjikan kemenangan kepada mereka. Mereka telah mengatakan sebuah hal yang sangat fatal ”pergilah engkau (Musa) berperang bersama Tuhanmu (Allah),” sehingga mereka pun dihukum tersesat pada sebuah padang selama empat puluh tahun. Selama dalam masa hukuman Allah masih tidak menyia-nyiakan mereka, Allah masih sangat bermurah hati dengan menaungi mereka dengan awan sehingga mereka tidak kepanasan, diberi makanan langit ”manna dan salwa”. Namun karena kebebalan mereka masih saja protes, ”wahai Musa, mana mungkin kami bisa hidup dengan makanan yang hanya satu tipe tanpa variasi, cobalah mintakan kepada Tuhanmu jenis makanan yang lain dari buah-buahan dan sayuran yang tumbuh dari bumi.”
Belajar dari kebebalan-kebebalan di atas, maka kita diharapkan untuk tidak ikut menjadi makhluk yang bebal. Sama seperti Hudzaifah bin Yaman yang bertanya bayak hal tentang keburukan kepada Rasulullah bukan untuk berbuat keburukan tapi untuk menghindarinya. Belajar dari sumber inspirasi kita Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Sirah Rasulullah dan Sahabat serta orang –orang shaleh sungguh tidak akan pernah habis. Mereka para pembelajar cerdas, cepat dan ikhlas sepanjang masa.