06 April 2010

Apa pun Profesi Anda, Teruslah Berjuang!!!

Kesempatan yang diberikan kepada setiap manusia berbeda-beda. Tidak ada yang tahu kapan Allah akan memberikan kesempatan kepada kita. Kesempatan seringkali kali dating di saat kita tidak siap atau ketika kita siap ternyata kesempatan tak kunjung tiba. Ksemepatan menjadi salah satu rahasia Allah yang harus selalu kita persiapkan. Misalkan, kesempatan sakit, ada banyak orang yang tidak siap dalam menghadapi kesempatan sakitnya dan seringkali mengeluh dengan penyakit-penyakit itu. Sakit yang seharusnya menjadi kesempatan kita untuk melunturkan dosa ternyata menjadi tambahan dosa. Duh, alagkah kasihannya seseorang yang sudah menanggung beban penyakit ditambah lagi dengan beban dosa karena tidak sabar dengan sakitnya.
Atau seseorang yang sudah lama menantikan rezeki dari Allah, berharap menjadi orang yang kaya raya tetapi Allah belum juga mengabulkan permohonannya. Mungkin usahanya masih kurang, atau memang Allah ingin mengujinya dan masih rindu mendengar do’a-do’anya. Penilaian kesiapan sesungguhnya hanyalah milik Allah. Kadangkala kita merasa siap tapi Allah menilai kita belum siap dan memang Dia lebih mengetahui semua itu.
Berkaitan dengan kesempatan di atas maka begitu juga halnya dengan kesempatan berkarya. Kesempatan berkarya maksudnya adalah kesempatan untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan diri semaksimal mungkin sehingga mengahsilkan sesuatu yang bermanfaat bagi siapa saja. Terlepas hasil karya itu besar atau kecil karena Allah tak melihat besar atau kecilnya tapi menilai niat dan prosesnya. Tah, orang yang berniat baik Allah telah menacatatnya dan memberinya empat pahala kebaikan dan sebaliknya orang yang berniat jahat tidak akan Allah catat sebagai satu dosa kejahatan sampai ia benar-benar melaksanakan niatnya tersebut. Itulah keadilan Allah terhadap balasan niat.
Kembali ke persoalan kesempatan dan karya maka kita akan diingatkan dimana posisi kita saat ini. Posisi yang saya maksud bisa jadi pekerjaan, jabatan, organisasi dan lain-lain. Tapi saya akan lebih menekankan pada para professional artinya adalah orang-orang yang sudah bekerja dan menggeluti profesi tertentu. Ada banyak jenis profesi. Kalau orang-orang pendidikan mengatakan hanya ada dua profesi di dunia ini, Profesi Guru dan Profesi Non Guru. Para dokter pun juga mengatakan hanya ada dua profesi, Profesi Dokter dan Non Dokter, dan sebagainya.
Saya akan membaginya lebih luas dan lebih adil menurut saya, juga tetap sama dibagi dua. Profesi Kebaikan dan Profesi Kejahatan. Adil kan?? Apakah dia mau jadi guru, dokter, hakim, pengacara, polisi, tentara, pengusaha, pekerja pabrik, petani, pedagang, nelayan dan banyak lagi selagi dia melakukan kebaikan maka ia digolongkan ke dalam profesi kebaikan. Sebaliknya bila orang-orang yang bergerak pada pekerjaan di atas bekerja untuk kejahatan dan kerusakan maka ia digolongkan ke dalam profesi kejahatan. Simple dan jelas bukan??
Saya teringat pada kisah seorang dokter yang ditempatkan pada suatu daerah yang amat terpencil. Belum ada penerangan listrik. Ditambah sang isteri yang berasal dari keluarga yang berkecukupan yang tidak terbiasa dengan kondisi apa adanya dan bisa digolongkan masih sangat tertinggal seperti itu. Tapi lambat laun mereka dapat menyesuaikan diri dan terbiasa. Sang Dokter pun mampu menjadi pelopor membuka keterisolasian daerah tersebut dan pada akhirnya berkat perjuangannya daerah tersebut terus berkembang dan menjadi daerah yang maju. Apa ibroh yang bisa kita petik dari kisah di atas?? Dokter tersebut tidak hanya melaksanakan kewajibannya sebagai tenaga medis di daerah tersebut tapi ia juga berjuang menjadikan daerah tersebut maju dan keluar dari keterisolasian. Semestinya itulah yang harus kita lakukan sebagai para professional. Para professional kejahatan dan kerusakan saja tekun menjalankan misi mereka apalagi seharusnya kita yang punya tujuan yang jelas untuk kebaikan. Semestinya juga serius dan bekerja lebih.
Setidaknya pertahankanlah prinsip-prinsip yang kita pegang. Kalau dulu semasa mahasiswa kita sering berteriak dan beretorika tentang idealisme, maka peganglah prinsip idealisme itu dan sesuiakan dengan kondisi dimana kita berada karena idealis juga butuh seni. Bukan idealisme buta yang menjadikan orang-orang menjauh dari kita. Kalau kita mampu menularkan sikap idealisme itu kepada orang lain kenapa tidak. Maka itulah yang dimaksud dengan karya nyata. Karya yang bukan dalam bentuk fisik tapi dalam bentuk pemikiran. Bahkan bisa jadi hal itu menjadi lebih baik dari karya fisik.
Saya akan berikan satu contoh lagi, lagi-lagi yang saya jadikan contoh adalah dokter (mohon maaf yach para dokter) karena memang saya lebih banyak berinteraksi dengan para pejuang pendidikan (guru) dan para pejuang kesehatan (tenaga medis) yang ditempatkan di daerah-daerah. Ini kisah seorang dokter yang berusaha menjaga prinsip hidupnya. Beliau juga ditempatkan sebagai dokter Puskesmas pada suatu daerah terpencil. Satu tahun menjadi CPNS maka tibalah saatnya untuk menjalani pra jabatan (prajab). Ada salah satu peraturan dari panitia prajab bahwa setiap wanita berjilbab yang mengikuti prajab harus memasukkan jilbabnya ke dalam kemeja. Karena dirasa aneh dan bertentangan dengan prinsip serta apa yang ia dapat selama ini maka sang dokter wanita ini mengajukan protes. Ia tidak mau mematuhi satu peraturan ini. Perdebatan panjang terjadi, dan akhirnya dia dapat dispensasi dengan syarat tidak mengajak yang lain. Di tengah perjalanan prajab sang dokter masih ternyat masih tetap berusaha mengajak yang lain untuk melakukan hal sama seperti apa yang dia lakukan.
Apa hikmah yang dapat kita petik dari cerita di atas?? Mempertahankan prinsip, memahamkan orang lain tentang suatu kebaikan dan berusaha mengajak orang lain untuk menjalankan kebaikan tersebut. Itulah makna perjuangan yang sesungguhnya.
Menjadi seorang professional bukan berarti membuat kita menjadi stagnan. Justeru menjadi seorang profesinal seharusnya menjadikan kita lebih mudah bergerak karena kita berhubungan langsung dengan manusia lain. Terjuan langsung dan mendengarkan keluh kesah, harapan-harapan, serta banyak hal lain dari mereka. Kontribusi nyata itu adalah saat kita bisa bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka.
Para guru dapat memberikan pendidikan terbaik bagi anak didiknya dengan dimasukkan nilai-nilai da’wah di dalamnya. Tenaga medis dapat memberikan pencerdasan dan melakukan da’wah melalui ilmu-ilmunya. Para hakim dan jaksa dapat menyelesaikan kasus dengan adil dan bijaksana. Pengusaha dan pedagang harus bekerja dan berusaha secara jujur. Terapkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Menjadi polisi haruslah menjadi polisi harapan masyarakat dan benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Seorang tentara harus meniatkan dirinya berjihad di medan pertempuran dan bercita-cita mati sebagai syahid, serta ratusan profesi lainnya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dalam niat dan bingkai kebaikan. Insya Allah akan diberikan kemudahan. Kalau dulu kita belajar maka saat ini kita mempraktekan ilmu yang kita dapat. Dulu kita jadi aktivis mahasiswa atau Aktivis Da’wah Kampus (ADK) maka saat ini kita menjadi Aktivis Da’wah Kota/Kampung (ADK). Wallaahu a’lamu bishowwab.
Teruslah berjuang saudara-saudaraku!!

Kekuatan Cita-cita…

Seorang sahabat dengan gagahnya mneghunus pedangnya menyongsong sepasukan tentara Romawi. Motivasinya terlecut karena perkataan seorang yang mulia. Hanya dengan kata-kata “…suatu saat pasukan Romawi akan dikalahkan di suatu tempat yang paling rendah di muka bumi ini. Tentaranya adalah tentara terbaik dan pemimpinnya adalah pemimpin yang terbaik pula.” Kata-kata yang ternyata baru terwujud tujuh abad kemudian. Tetapi satu hal yangperlu digaris bawahi. Kekuatan cita-cita.
Sama halnya ketika orang-orang muslim sedang dilanda suasana mencekam, lapar, serta cuaca musim dingin kota Madinah yang menusuk menjelang perang Ahzab. Rasulullah melalui pukulan cangkulnya ke batu yang tidak mampu dipecahkan oleh para sahabat memberikan harapan yang begitu kuat kepada kaum muslimin. “Allahu Akbar!!” Pekik takbir Rasulullah hingga tiga kali. Para sahabat pun keheranan dan bertanya, “ada apakah wahai Rasulullah?” Sang Rasul menjawab, “saat aku memukulkan cangkulku ke batu maka terperciklah bunga api, dari sana Allah memperlihatkan kepadaku pintu-pintu kerajaan Romawi, kunci istana Persia serta istana-istna putih kota San’a.” samapai akhirnya para sahabat mematrikan perkataan Rasulullah ini di hati sanubari mereka.
Tak lama kemudian kurang dari kurun waktu seratus tahun semua wilayah Arab dapat dibebaskan. Persia menjadi satu wilayah resmi pemerintahan Islam setelah dibebaskan pada masa Umar bin Khattab. Sebagian wilayah Romawi juga dapat ditaklukkan sehingga Palestina sebagai kota suci ketiga ummat Islam juga ikut dibebaskan. Bahkan pasukan muslimin di bawah kepemimpinan Gubernur Mesir Musa bin Nushair dan Panglimanya yang terkenal Thariq bin Ziyad mampu membawa panji Islam hingga ke benua gelapa Eropa yaitu wilayah Andalusia. Panaklukan spektakuler lainnya sepanjang sejarah adalah perebutan wilayah Konstantinopel (Turki) sebagai basis terakhir kekaisaran Romawi Timur di bawah komando Panglima terbaik Sultan Muhammad Alfatih Murad sesuai hadits Rasulullah. Dengan begitu habislah kekuatan kekaisaran Romawi Timur. Sisanya tinggal Romawi Barat yang berada di Eropa (Vatikan) hingga saat ini. Hal yang paling menarik adalah bahwa kebiasaan setiap bangsa penakluk akan berlaku sewenang-wenang kepada rakyat taklukannya, tapi ini tidak terjadi pada penaklukan kaum muslimin. Rakyat dapat hidup tenang dan terjamin keamanan, jiwa dan hartanya serta agamanya. Itulah perbedaannya. Sampai ada seorang wanita yang melakukan perjalanan sendiri melewati gurun pasir tandus dengan jarak tempuh yang juga sangat jauh tapi ia aman dalam perjalanan itu. Bahkan, seekor anjing pun akan mendapatkan haknya. Itulah keadilan pemerintahan Islam.
Itu semua terjadi karena kekuatan cita-cita. Cita-cita menjadi sebuah tangga untuk mencapai kenyataan sebenarnya. Pepatah popular mengatakan, “Gantungkanlah cita-cita setinggi langit,” itu berarti bahwa setiap orang harus punya cita-cita dan teruslah untuk mengejarnya. Islam pun mengatur soal cita-cita, bahkan cita-cita tertinggi itu adalah mati di jalan Allah. Sebuah tuntunan yang begitu mulia. Ketika kita menjadi seorang pendidik, maka dedikasikan semuanya hanya untuk Allah sehingga jalan yang kita ambil adalah jalan-Nya Allah. Atau sebagai seorang pengusaha, jadilah pengusaha yang menerapkan nilai-nilai Islam dalam menjalankan usahanya. Jadi seorang dokter atau tenaga medis, maka ambillah setiap ibroh dari yang kita dapat dalam praktek-praktek kita. Jadilah dokter yang berjuang untuk Allah walaupun misi lainnya untuk kemanusiaan.
Namun, ada juga yang perlu diperhatikan. Ada perbedaan yang mendasar antara cita-cita dan angan-angan. Cita-cita menjadi ruh dalam setiap aktivitas kita. Motivasi kita biasanya berdasarkan atas niat dan harapan-harapan kita. Cita-cita bukan hanya dibayangkan kemudian bermimpi tanpa ada upaya untuk mencapainya. Suatu cita-cita dibutuhkan plan jangka panjang, kemudian grand desainnya seperti apa? Prosesnya bagaimana?? Tujuan akhirnya apa?? Pada akhirnya akan ada peta konkrit dari cita-cita besar kita.
Berbeda dengan angan-angan atau khayalan. Sungguh khayalan atau angan-angan sangatlah berbahaya. Bahkan Rasulullah mengingatkan untuk tidak memanjangkan angan-angan.” Angan-angan yang dimaksud adalah memikirkan sesuatu yang tidak mungkin ada, ditambah lagi dengan memang tidak ada upaya untuk merealisasikannya. Tidak ada pijakan yang jelas dalam melaksanakannya sehingga diibaratkan orang yang berkhayal atau berangan-angan itu bagaikan mimpi disiang bolong.


Cita-cita sebagai Ruh
Tentu yang saya maksudkan di sini bukanlah ruh dalam pengertian yang sebenarnya. Akan tetapi cita-cita akan menjadi motivasi terkuat seseorang mengerjakan segala aktivitasnya. Apabila seseorang cita-cita tertingginya adalah untuk menggapai ridho Allah maka itulah ruh aktivitasnya. Atau cita-cita karena riya’ dan sum’ah maka ruhnya tentu untuk pamer.
Ruh, ia adalah energy yang menggerakkan raga makhluk hidup. Tanpa ruh seseorang tidak akan dapat hidup. Seseorang punya wujud yaitu jasad tapi apabila ruhnya dicabut maka jasad tiada arti karena ia tak akan berfungsi. Begitu juga dalam hidup ini cita-cita menjadi ruh. Tanpa cita-cita manusia bagai tanpa ruh. Manusia berkehendak karena memiliki cita-cita. Manusia belajar, bekerja dan bergerak Karen aia punya harapan. Manusia membentuk sebuah keluarga karena memiliki cita-cita. Semuanya berkaitan erat dengan cita-cita. Tanpa cita-cita manusia adalah mayat hidup.

Cita-cita sebagau sumber energy
Energy solar menjadi salah satu energy yang menggerakkan kehidupan di bumi. Tentu itu semua atas izin Allah dan memang sudah ketetapannya. Tanpa adanya energy matahari atau sebualn saja matahari berhenti dari aktivitasnya maka akan terjadi kehancuran di jagat raya ini. Satu benda di jagat raya ini bermasalah maka semuanya akan terguncang karena akan terjadi ketidak stabilan.
Begitu juga dengan cita-cita, ia bagaikan matahari yang menjadi sumber energy kehidupan. Cita-cita bagaikan makanan pokok bagi aktivitas kita. Ketika motivasi untuk menggapai cita-cita itu melemah maka secara otomatis energy kita dalam menjalankan aktivitas kita juga akan melemah.

Cita-cita adalah eksistensi hidup
Cita-cita adalah ciri dan karakter hidup. Sebagaimana pada poin sebelumnya saya tuliskan bahwa orang yang tidak memiliki cita-cita bagaikan mayat hidup. Namun pada poin ini akan lebih menekankan pada pengakukan dari orang lain. Sejak kecil kita sudah diajarkan dan ditanya ingin bercita-cita sebagai apa. Maka itulah pengakuan lugu dari kita ketika itu. Setelah dapat berfikir lebih maka kita akan memilih cita-cita yang realistis. Orang-orang akan kembali mempertanyakan itu. Sekarang adalah apakan kita akan dengan menjawab apa cita-cita kita. Karena sesungguhnya jawaban kita di waktu kecil dengan jawaban kita saat ini memiliki arti yang berbeda. Jawaban kita saat ini adalah bagian dari pengakuan orang lain terhadap diri kita.

Cita-cita Menutup Ruang Ketidak Produktifan
Produktifitas sangatlah dipengaruhi oleh isi dalam hati manusia. Manusia yang produktif adalah manusia yang punya visi dan misi hidup yang jelas. Visi dan misi itu akan sangat erat kaitannya dengan cita-cita hidup. Ketiganya adalah adalah sesuatu yang tidak akan penah dipisahkan. Seseorang yang tidak punya cita-cita hidup dapat dipastikan tidak punya visi dan misi. Atau sebaliknya orang yang tidak punya visi akan kebingungan apa cita-citanya.
Ketika visi dan cita-cita hidup seseorang jelas. Maka alamatnya adalah misi yang diturunkan juga akan konkrit. Apa yang yang akan dilakukan tentu sudah dipikirkan. Misi itulah yang akan jadi acuannya dalam hidup. Misi yang baik akan membawa pada tujuan yang baik, sebaliknya misi yang kurang baik atau dijalankan setengah-setengah bisa jadi membawa kegagalan atau sampai pada tujuan tapi tidak baik dan tidak sempurna. Maka yang dibutuhkan adalah produktifitas penuh. Tutup semua celah ketidak produktifan dalam hidup dengan visi, cita-cita dan misi hidup yang jelas. Jadilah manusia yang visioner.
Terakhir, jadikan cita-cita dan visi hidup sebagai tujuan akhir kita. Dengan begitu kita akan terpacu untuk mencapainya. Tujuan akhir seorang muslim adalah Allah SWT. Wallahu a’lamu bishowwab.