Oleh: Elly Sumantri
(Menteri Aksi dan Propaganda BEM Universitas Sriwijaya)
Pendidikan tak ubahnya seperti sebuah energi bagi suatu bangsa untuk terus bergerak dan bangkit. Pendidikan pula yang dijadikan sebagai parameter tingkat peradaban suatu bangsa. Maka, sudah barang tentu pendidikan manjadi hal yang absolut untuk dijadikan perhatian utama dalam melaksanakan segala aktifitas kebangsaan. Hal itu jelas, apalagi di Indonesia, melalui konstitusinya UUD 1945, pendidikan menjadi perhatian utama dan dijadikan salah satu tujuan bangsa yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” maka sudah sepatutnya pendidikan itu memang benar-benar diperhatikan sesuai amanah konstitusi tersebut.
Harapan akan dunia pendidikan yang lebih baik bukanlah berasal dari segelintir orang saja tapi dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Betapa tidak, mulai dari kaum terpelajar banyak yang menuliskan harapan-harapannya melalui berbagai media. Pada masyarakat awam, harapan itu tersirat dari upaya keras mereka menyekolahkan anak-anak mereka dan upaya agar anak-anak mereka mendapatkan yang terbaik.
Untuk mewujudkan harapan itu tentu tak dapat hanya dengan upaya dari perorangan. Harus ada blue print pemerintah tentang arah pendidikan Indonesia ke depan. Apakah pendidikan menjadi fokus utama untuk perbaikan bangsa ataukah ia akan kembali dikesampingkan sehingga bangsa ini akan terus terpuruk.
Saya cukup tersentil dengan sebuah tulisan Kristianto Purnomo di dalam Harian Kompas yang bertajuk “Tanpa Revolusi Pendidikan, Indonesia Bisa Terpuruk”. Ia mengutip kata-kata seorang pengamat pendidikan Darmaningtyas yang mengatakan, perlu revolusi cara berfikir tentang pendidikan. Kata-kata revolusi yang membuat saya tertarik, bagaimana dengan reformasi 1998? Ternyata dunia pendidikan masih banyak tidak tersentuh dan masih perlu sebuah revolusi besar.
Sudah sewajarnyalah berbagai wacana, masukan dan ide-ide oleh para tokoh, pengamat dan insan pendidikan termasuk mahasiswa karena memang pendidikan Indonesia butuh perubahan. Perubahan ke arah yang lebih baik tentunya. Perubahan yang membawa dampak besar bagi perbaikan negeri ini. Sebuah rekayasa besar untuk membangun pendidikan Indonesia harus segera dibuat.
PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA MEMANUSIAKAN MANUSIA
Secara filosofis saya yakin setiap tahu dan mengerti bahwa pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Ini berarti ada upaya untuk membangun suatu peradaban. Upaya memanusiakan manusia bukanlah berarti manusia saat ini tidaklah penting atau manusia layaknya robot, akan tetapi bagaimana menggali segala potensi manusia tersebut dan mengoptimal segala potensi yang ada pada dirinya sehingga ia mampu berbuat yang terbaik. Tidak mengubah karakter asli seseorang tapi mengarahkannya kepada yang positif. Itulah memanusiakan manusia.
Kalau keberhasilah hanya diukur dari prestasi-prestasi dan prestasi hanya diukur dari seberapa banyak tulisan yang masuk jurnal, berapa banyak penemuan telah didapat atau seberapa banyak paten yang telah dibuat maka itulah kesalahan paradigma kita tentang pendidikan. Tujuannya untuk memanusiakan manusia ternyata belum terpenuhi. Yang ada adalah “merobotkan” manusia.
PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PERUBAHAN
Selain itu juga pendidikan seharusnya memang benar-benar menjadi sarana perubahan. “The Agent of Change” dalam bahasa aktivis mahasiswa tersebut harus benar-benar terwujud. Secara sederhana, seorang anak petani, atau seorang anak buruh penambang pasir dapat lepas dari tradisi keluarga yang memiliki profesi seperti orang tuanya dan memang itulah yang diharapkan oleh setiap orang tua.
Atau makna perubahan di sini dapat juga diartikan sebagai motor penggerak dari setiap perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Namun, untuk saat ini nampaknya masih cukup sulit, masih terlalu banyak pendidikan di Indonesia yang mahal. Jangankan perguruan tinggi, Sekolah Menengah Atas pun sudah pandai mematok “harga” untuk menjadi bagian dari sekolah tersebut. Bagaimana anak-anak orang miskin dapat mengikuti pendidikan secara adil dan wajar? Saat ini yang menjadi parameter berkualitas adalah sekolah mahal sebab dengan sekolah mahal sarana akan terpenuhi.
Perubahan, itulah inti dari harapan masyarakat luas saat ini. Perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak ada orang yang ingin berubah ke yang lebih buruk. Atau berubah agar lebih terpuruk.
MENATAP WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA SAAT INI
Menurut sebagian besar orang wajah pendidikan Indonesia saat ini buram. Sebagian yang lain, mengatakan cukup baik. Tapi dalam sistem demokrasi, suara terbanyaklah yang menjadi pemenangnya dan dijadikan acuan. Berarti, apabila sebagian besar masrarakat mengatakan wajah pendidikan Indonesia buram, maka itulah adanya.
Ada banyak hal yang perlu menjadi evaluasi bagi dunia pendidikan dan menjadi masukan bagi pemerintah Indonesia mendatang. Permasalahan Badan Hukum Pendidikan yang dikhawatirkan akan membawa lembaga pendidikan pada sebuah budaya baru yaitu budaya bisnis. Pendidikan menjadi sebuah komoditas dagang yang nantinya tidak ubahnya seperti barang-barang pasar. Siapa yang punya uang dialah yang akan mendapatkan barang tersebut.
Permasalahan lainnya adalah program Sekolah Gratis pemerintah yang ternyata membawa banyak polemik. Ada banyak kegiatan kreatifitas siswa dan program unggulan sekolah harus dibatalkan karena permasalahan sekolah gratis tersebut. Bukan salah pihak sekolahnya dan bukan salah sekolah gratisnya tapi ini adalah kesalahan minimnya anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang sudah kritis tambah diperparah dengan ulah oknum-oknum mafia pendidikan yang menghisap dana anggaran tersebut.
Di beberapa daerah Sekolah Gratis dijadikan sebagai komoditas politik. Ketika kampanye kepala daerah banyak sekali janji-janji yang terucap akan mewujudkan sekolah gratis tapi ternyata itu semua adalah kebohongan belaka. Sebagai contoh di Palembang, pemerintah Propinsi Sumatera Selatan mengadakan Program Sekolah Gratis untuk semua Sekolah Menengah Atas. Akan tetapi ternyata yang menjalankan Sekolah Gratis hanya empat SMA saja. Benarkah gratis…???
Ujian Nasional yang dijadikan sebagai standar kelulusan siswa menjadi permasalahan yang cukup serius. Seharusnya yang menentukan standar kelulusan tersebut adalah pendidik, tapi yang terjadi justeru pemerintah ikut campur menentukan standar dengan memberlakukan Ujian Nasional. Bahayanya adalah adanya perubahan orientasi pada siswa. Siswa yang seharusnya berorientasi pada proses dijadikan berorientasi pada hasil. Siswa berusaha mengejar hasil tersebut dengan segala cara termasuk kecurangan (membeli soal, mencontek, dll). Guru pun seperti dikejar-kejar disebabkan mengejar target 100% kelulusan siswanya. Ada yang memberikan jawaban kepada siswa, ada juga yang mengubah jawaban siswa, dan masih banyak sekali kecurangan-kecurangan yang dilakukan. Setidaknya itulah penemuan yang didapatkan oleh Tim Pemantau Independen Ujian Nasional. Selain itu, sungguh sangat menyedihkan ketika beberapa waktu yang lalu ada begitu banyak siswa yang tidak lulus hanya dikarenakan kesalahan-kesalahan teknis.
Banyak terjadinya kebocoran dana dalam dunia pendidikan juga ternyata terkait dengan bobroknya Sumber Daya Manusia dalam instansi penyelenggara pendidikan. hal ini disebabkann karena ketidak tegasannya pimpinan dalam dunia pendidikan untuk melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi adalah sebuah keharusan dalam dunia pendidikan kita.
Kalau ingin disandarkan pada laporan UNESCO pada November 2008 ternyata Indonesia menempati peringkat 71 dari 129 negara. Padahal sebelumnya Indonesia menempati urutan ke 62 dari 130 negara dan pada 2006 menempati peringkat 58. Ini berarti terjadi penurunan dari tahun ke tahun.
HARAPAN AKAN PENDIDIKAN INDONESIA YANG BERMARTABAT
Ternyata, dibalik keprihatinan, dibalik penilaian masyarakat ada sebuah harapan. Sebagaimana di awal tadi saya telah mengatakan bahwa masyarakat menginginkan perubahan. Masyarakat ingin yang lebih baik.
Pendidikan yang seperti apakah yang diinginkan oleh masyarakat??? Tentu pendidikan yang sesuai dengan tujuannya. Secara filosofis tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Lebih konkrit lagi pendidikan yang bermartabat. Tidak hanya menjadi juara-juara olimpiade internasional sebab itu hanya sebagian kecil dan itu pun dari kelompok yang sangat eksklusif tetapi bagaimana anak bangsa mampu bersaing secara adil baik ketika akan mengikuti pendidikan, saat proses dan ketika lulus pun semuanya mendapatkan keadilan.
Ditinjau dari konstitusi maka tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan pendidikan. Pengertiannya adalah bahwa setiap lini kehidupan di dalam berbangsa harus cerdas. Cerdas pun dalam segala hal. Tidak hanya intelektual, tapi juga cerdas emosional, cerdas spiritual dan cerdas hati.
PENDIDIKAN INDONESIA YANG BERMARTABAT, SEBUAH GRAND DESIGN KEMANDIRIAN BANGSA
Dari sekian banyak yang telah dipaparkan maka muaranya pada sebuah harapan besar yaitu pendidikan Indonesia yang bermartabat yang tidak berorientasi pada hasil semata atau lebih parah lagi berorientasi pada materi. Pendidikan yang bermartabat adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan, dengan demikian manusia akan semakin bernilai dan berharga.
Menurut Driyakarya dalam Setiawan (2008:84) pendidikan adalah pilar kemandirian bangsa. Artinya pendidikan merupakan solusi tepat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tanah air. Malik Fadjar (2005:103) berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa dan Negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 mengatakan, “Tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, negara miskin pun bangkit, tanpa sumber daya alam yang melimpah asalahkan negara melakukan investasinya yang cukup dalam hal sumber daya manusia.
Dari ketiga pendapat di atas, semuanya mengarah kepada kemandirian, perubahan dan menjadi lebih bermartabat. Tidak lain dan tidak bukan caranya adalah dengan memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan.
(Menteri Aksi dan Propaganda BEM Universitas Sriwijaya)
Pendidikan tak ubahnya seperti sebuah energi bagi suatu bangsa untuk terus bergerak dan bangkit. Pendidikan pula yang dijadikan sebagai parameter tingkat peradaban suatu bangsa. Maka, sudah barang tentu pendidikan manjadi hal yang absolut untuk dijadikan perhatian utama dalam melaksanakan segala aktifitas kebangsaan. Hal itu jelas, apalagi di Indonesia, melalui konstitusinya UUD 1945, pendidikan menjadi perhatian utama dan dijadikan salah satu tujuan bangsa yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” maka sudah sepatutnya pendidikan itu memang benar-benar diperhatikan sesuai amanah konstitusi tersebut.
Harapan akan dunia pendidikan yang lebih baik bukanlah berasal dari segelintir orang saja tapi dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Betapa tidak, mulai dari kaum terpelajar banyak yang menuliskan harapan-harapannya melalui berbagai media. Pada masyarakat awam, harapan itu tersirat dari upaya keras mereka menyekolahkan anak-anak mereka dan upaya agar anak-anak mereka mendapatkan yang terbaik.
Untuk mewujudkan harapan itu tentu tak dapat hanya dengan upaya dari perorangan. Harus ada blue print pemerintah tentang arah pendidikan Indonesia ke depan. Apakah pendidikan menjadi fokus utama untuk perbaikan bangsa ataukah ia akan kembali dikesampingkan sehingga bangsa ini akan terus terpuruk.
Saya cukup tersentil dengan sebuah tulisan Kristianto Purnomo di dalam Harian Kompas yang bertajuk “Tanpa Revolusi Pendidikan, Indonesia Bisa Terpuruk”. Ia mengutip kata-kata seorang pengamat pendidikan Darmaningtyas yang mengatakan, perlu revolusi cara berfikir tentang pendidikan. Kata-kata revolusi yang membuat saya tertarik, bagaimana dengan reformasi 1998? Ternyata dunia pendidikan masih banyak tidak tersentuh dan masih perlu sebuah revolusi besar.
Sudah sewajarnyalah berbagai wacana, masukan dan ide-ide oleh para tokoh, pengamat dan insan pendidikan termasuk mahasiswa karena memang pendidikan Indonesia butuh perubahan. Perubahan ke arah yang lebih baik tentunya. Perubahan yang membawa dampak besar bagi perbaikan negeri ini. Sebuah rekayasa besar untuk membangun pendidikan Indonesia harus segera dibuat.
PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA MEMANUSIAKAN MANUSIA
Secara filosofis saya yakin setiap tahu dan mengerti bahwa pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Ini berarti ada upaya untuk membangun suatu peradaban. Upaya memanusiakan manusia bukanlah berarti manusia saat ini tidaklah penting atau manusia layaknya robot, akan tetapi bagaimana menggali segala potensi manusia tersebut dan mengoptimal segala potensi yang ada pada dirinya sehingga ia mampu berbuat yang terbaik. Tidak mengubah karakter asli seseorang tapi mengarahkannya kepada yang positif. Itulah memanusiakan manusia.
Kalau keberhasilah hanya diukur dari prestasi-prestasi dan prestasi hanya diukur dari seberapa banyak tulisan yang masuk jurnal, berapa banyak penemuan telah didapat atau seberapa banyak paten yang telah dibuat maka itulah kesalahan paradigma kita tentang pendidikan. Tujuannya untuk memanusiakan manusia ternyata belum terpenuhi. Yang ada adalah “merobotkan” manusia.
PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PERUBAHAN
Selain itu juga pendidikan seharusnya memang benar-benar menjadi sarana perubahan. “The Agent of Change” dalam bahasa aktivis mahasiswa tersebut harus benar-benar terwujud. Secara sederhana, seorang anak petani, atau seorang anak buruh penambang pasir dapat lepas dari tradisi keluarga yang memiliki profesi seperti orang tuanya dan memang itulah yang diharapkan oleh setiap orang tua.
Atau makna perubahan di sini dapat juga diartikan sebagai motor penggerak dari setiap perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Namun, untuk saat ini nampaknya masih cukup sulit, masih terlalu banyak pendidikan di Indonesia yang mahal. Jangankan perguruan tinggi, Sekolah Menengah Atas pun sudah pandai mematok “harga” untuk menjadi bagian dari sekolah tersebut. Bagaimana anak-anak orang miskin dapat mengikuti pendidikan secara adil dan wajar? Saat ini yang menjadi parameter berkualitas adalah sekolah mahal sebab dengan sekolah mahal sarana akan terpenuhi.
Perubahan, itulah inti dari harapan masyarakat luas saat ini. Perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak ada orang yang ingin berubah ke yang lebih buruk. Atau berubah agar lebih terpuruk.
MENATAP WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA SAAT INI
Menurut sebagian besar orang wajah pendidikan Indonesia saat ini buram. Sebagian yang lain, mengatakan cukup baik. Tapi dalam sistem demokrasi, suara terbanyaklah yang menjadi pemenangnya dan dijadikan acuan. Berarti, apabila sebagian besar masrarakat mengatakan wajah pendidikan Indonesia buram, maka itulah adanya.
Ada banyak hal yang perlu menjadi evaluasi bagi dunia pendidikan dan menjadi masukan bagi pemerintah Indonesia mendatang. Permasalahan Badan Hukum Pendidikan yang dikhawatirkan akan membawa lembaga pendidikan pada sebuah budaya baru yaitu budaya bisnis. Pendidikan menjadi sebuah komoditas dagang yang nantinya tidak ubahnya seperti barang-barang pasar. Siapa yang punya uang dialah yang akan mendapatkan barang tersebut.
Permasalahan lainnya adalah program Sekolah Gratis pemerintah yang ternyata membawa banyak polemik. Ada banyak kegiatan kreatifitas siswa dan program unggulan sekolah harus dibatalkan karena permasalahan sekolah gratis tersebut. Bukan salah pihak sekolahnya dan bukan salah sekolah gratisnya tapi ini adalah kesalahan minimnya anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang sudah kritis tambah diperparah dengan ulah oknum-oknum mafia pendidikan yang menghisap dana anggaran tersebut.
Di beberapa daerah Sekolah Gratis dijadikan sebagai komoditas politik. Ketika kampanye kepala daerah banyak sekali janji-janji yang terucap akan mewujudkan sekolah gratis tapi ternyata itu semua adalah kebohongan belaka. Sebagai contoh di Palembang, pemerintah Propinsi Sumatera Selatan mengadakan Program Sekolah Gratis untuk semua Sekolah Menengah Atas. Akan tetapi ternyata yang menjalankan Sekolah Gratis hanya empat SMA saja. Benarkah gratis…???
Ujian Nasional yang dijadikan sebagai standar kelulusan siswa menjadi permasalahan yang cukup serius. Seharusnya yang menentukan standar kelulusan tersebut adalah pendidik, tapi yang terjadi justeru pemerintah ikut campur menentukan standar dengan memberlakukan Ujian Nasional. Bahayanya adalah adanya perubahan orientasi pada siswa. Siswa yang seharusnya berorientasi pada proses dijadikan berorientasi pada hasil. Siswa berusaha mengejar hasil tersebut dengan segala cara termasuk kecurangan (membeli soal, mencontek, dll). Guru pun seperti dikejar-kejar disebabkan mengejar target 100% kelulusan siswanya. Ada yang memberikan jawaban kepada siswa, ada juga yang mengubah jawaban siswa, dan masih banyak sekali kecurangan-kecurangan yang dilakukan. Setidaknya itulah penemuan yang didapatkan oleh Tim Pemantau Independen Ujian Nasional. Selain itu, sungguh sangat menyedihkan ketika beberapa waktu yang lalu ada begitu banyak siswa yang tidak lulus hanya dikarenakan kesalahan-kesalahan teknis.
Banyak terjadinya kebocoran dana dalam dunia pendidikan juga ternyata terkait dengan bobroknya Sumber Daya Manusia dalam instansi penyelenggara pendidikan. hal ini disebabkann karena ketidak tegasannya pimpinan dalam dunia pendidikan untuk melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi adalah sebuah keharusan dalam dunia pendidikan kita.
Kalau ingin disandarkan pada laporan UNESCO pada November 2008 ternyata Indonesia menempati peringkat 71 dari 129 negara. Padahal sebelumnya Indonesia menempati urutan ke 62 dari 130 negara dan pada 2006 menempati peringkat 58. Ini berarti terjadi penurunan dari tahun ke tahun.
HARAPAN AKAN PENDIDIKAN INDONESIA YANG BERMARTABAT
Ternyata, dibalik keprihatinan, dibalik penilaian masyarakat ada sebuah harapan. Sebagaimana di awal tadi saya telah mengatakan bahwa masyarakat menginginkan perubahan. Masyarakat ingin yang lebih baik.
Pendidikan yang seperti apakah yang diinginkan oleh masyarakat??? Tentu pendidikan yang sesuai dengan tujuannya. Secara filosofis tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Lebih konkrit lagi pendidikan yang bermartabat. Tidak hanya menjadi juara-juara olimpiade internasional sebab itu hanya sebagian kecil dan itu pun dari kelompok yang sangat eksklusif tetapi bagaimana anak bangsa mampu bersaing secara adil baik ketika akan mengikuti pendidikan, saat proses dan ketika lulus pun semuanya mendapatkan keadilan.
Ditinjau dari konstitusi maka tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan pendidikan. Pengertiannya adalah bahwa setiap lini kehidupan di dalam berbangsa harus cerdas. Cerdas pun dalam segala hal. Tidak hanya intelektual, tapi juga cerdas emosional, cerdas spiritual dan cerdas hati.
PENDIDIKAN INDONESIA YANG BERMARTABAT, SEBUAH GRAND DESIGN KEMANDIRIAN BANGSA
Dari sekian banyak yang telah dipaparkan maka muaranya pada sebuah harapan besar yaitu pendidikan Indonesia yang bermartabat yang tidak berorientasi pada hasil semata atau lebih parah lagi berorientasi pada materi. Pendidikan yang bermartabat adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan, dengan demikian manusia akan semakin bernilai dan berharga.
Menurut Driyakarya dalam Setiawan (2008:84) pendidikan adalah pilar kemandirian bangsa. Artinya pendidikan merupakan solusi tepat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tanah air. Malik Fadjar (2005:103) berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa dan Negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 mengatakan, “Tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, negara miskin pun bangkit, tanpa sumber daya alam yang melimpah asalahkan negara melakukan investasinya yang cukup dalam hal sumber daya manusia.
Dari ketiga pendapat di atas, semuanya mengarah kepada kemandirian, perubahan dan menjadi lebih bermartabat. Tidak lain dan tidak bukan caranya adalah dengan memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan.