09 Maret 2010

INGATKAN JIKA AKU SALAH


Ketika Cinta Tak Berbuah Surga

Di saat sang mentari mulai kembali ke peraduannya dan orang-orang pun juga mulai kembali ke tempatnya masing-masing. Begitu juga denganku yang sedang duduk di antara puluhan orang-orang di angkutan Bus Rapid Trans Palembang. Tujuanku tentunya ke rumah yang begitu kurindukan. Tidak hanya udaranya dan suasana yang masih natural akan tetapi orang-orang yang ada di rumah tersebut yang lebih-lebih aku rindukan.
Diperjalanan aku mendapatkan SMS dari seorang sahabat yang mau ”curhat”. Sedikit kaget memang karena sangat jarang ia mau menceritakan persoalan pribadinya Ia bercerita bahwa dirinya ditandai pada sebuah catatan jejaring sosial facebook. Mulanya aku menganggap biasa saja. Tapi lama-kelamaan sepertinya cerita temanku tersebut cukup serius.
Sebut saja namanya Fateeh (bukan nama sebenarnya). Dirinya mengenal seseorang yang bernama Zahrah dan anehnya mereka tak pernah bertemu hingga saat ini, padahal bisa dibilang mereka sangat ”akrab”. Entah apakah itu perasaan pribadi Fateeh ataukah memang itulah yang sebenarnya. Perkenalan mereka berawal dari sebuah sms yang dikirimkan oleh Fateeh kepada Zahrah untuk mencoba mendekati seorang adik kelas Fateeh waktu SMA yang sekarang sedang belajar di kota Y, sebut saja namanya Dini. Memang permintaan ini benar-benar tulus karena Dini sekarang sedang terserang virus Liberalisme yang sedang menggerogoti dirinya padahal dia tahu Dini itu adalah seorang yang potensial. Dinilah yang menggantikan fateeh untuk mengurus OSIS dan Rohis ketika Fateeh telah selesai dari SMA.
Sebenarnya Fateeh bukanlah pribadi yang istimewa, bila dibandingkan dengan Zahrah tentu ia tak ada apa-apanya. Dari segi fisik dan tampang sangat biasa-biasa saja. Ekonomi juga biasa saja dan pas-pasan. Kepintaran apalagi. Hanya satu yang punya, semangat dan cita-cita. Semangatnya bukan warna merah karena merah akan membakar tapi semangatnya adalah semangat biru yang menaungi dan menyejukkan. Menaungi seperti langit dan menyejukkan seperti air. Cita-citanya pun cita-cita biru, menjadi salah satu bagian dari pembangun peradaban.
Intensitas komunikasi ternyata membawa persoalan lain. Lama-kelamaan karena pembicaraan bukan hanya sekedar bagaimana ”merehabilitasi” Dini, tapi juga sampai pada hal yang bisa dianggap tidak penting bagi orang lain tapi sebenarnya penting bagi Fateeh karena ia sendiri tak ada tempat untuk menceritakan semuanya. Walaupun ia punya segudang teman, tapi itulah dirinya. Teman berceritanya paling juga jalanan kota Palembang yang panjang, panasnya terik mentari di bawah garis khatulistiwa ini, atau juga bisingnya suara bus-bus yang terus menderum dan kejam dengan asap knalpotnya yang sering membuat paru-paru terganggu dan terbatuk-batuk.
Ternyata, Zahrah merasa tak nyaman dengan kondisi itu. Sebenarnya Fateeh menyadari persoalan itu. Hanya saja ia tetap berdalih dia butuh teman tempatnya bercerita semuanya.
Aku sedikit tersenyum mendengar kisah tersebut. Ternyata komunikasi intens yang selama ini terjadi membawa persoalan yang tak sepele. Persoalan yang bisa jadi akan mengganggu hubungan persaudaraan keduanya. Dasar Fateeh yang keras kepala, dari awal dia sebenarnya sudah menyadari hal itu, hanya saja ia menganggap itu biasa-biasa saja.
Tapi, memang benar apa yang dikatakan Zahrah bahwa syaiton bisa masuk pada cela-cela manapun bahkan keburukan bisa tumbuh di ladang-ladang kebaikan seperti benalu kecil yang tanpa sadar tumbuh di sebatang pohon besar yang dapat menaungi dan tempat berteduh orang-orang yang lewat sehingga lama-kelamaan pohon rindang dan besar tersebut dapat mati akibat benalu yang selalu merampas makanannya. Kira-kira seperti itulah analogi sederhananya. Bisa jadi niat yang semulanya baik tanpa disadari tumbuh benih-benih keburukan yang ditiupkan oleh syaiton sehingga ia terus menggerogoti kebaikan itu yang pada akhirnya akan berubah menjadi kejahatan. Kejahatan yang terselubung, atau istilah Zahrah kemaksiatan yang berbaju da’wah. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Pada paragraf akhir dalam catatan tersebut, Zahrah meminta kepada Fateeh untuk menjaga dirinya dari tipu daya syaiton dalam artian jangan sampai komunikasi yang sering dilakukan menjadi celah untuk syaiton menyusup dan merusak hati. Bukankah syaiton sanagat licik, ia meniupkan kejelakan dengan rupa kebaikan sehingga kita tanpa sengaja dan mengangap itu baik meneruskan langkah syaiton tersebut. Sebaliknya syaiton menakut-nakuti kita ketika hendak berbuat kebaikan sehingga kita ragus dan bisa jadi meninggalkan perbuatan baik tersebut. Wallahu a’lamu bishowwab...
Terakhir yang ingin disampaikan Fateeh, ”Engkau tetap saudariku, maafkanlah segala khilaf dan salahku dan terima kasih atas koreksinya. Insya Allah kita akan sama-sama menjaga semoga tidak tertipu daya syaiton. Agar persaudaraan ini tetap terjaga maka senantiasa senandungkanlah do’a perekat yang telah diajarkan kepada kita semua. Semoga tetap istiqamah....!!

Banyuasin, 6 Maret 2010

Mohon maaf apabila ada kesamaan nama. Kisah ini seperti diceritakan dan disetujui oleh Fateeh kepada Elly Sumantri