07 Juli 2011

TKI, Pahlawan atau Budak Devisa

Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dikejutkan oleh berita dieksekusi matinya seorang Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai Tenaga Kerja Wanita di Arab Saudi. Pengadilan Arab Saudi menjatuhkan vonis mati kepada Ruyati binti Satubi karena telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Berita ini cukup memberi pukulan yang menyakitkan bagi Bangsa Indonesia, bukan karena putusan pengadilannya tapi karena kurang responnya pemerintah terhadap permasalahan ini. Kabar eksekusi mati tersebut pun baru diketahui setelah eksekusinya selesai.
Namun, ternyata tak hanya Ruyati yang mengalami hal tersebut. Sebelum ini kita mendengar ada Darsem yang juga divonis hukuman mati. Darsem divonis mati karenadituduh telah membunuh majikannya, akan tetapi Darsem mendapatkan pemaafan dari ahli waris korban sehingga dapat selamat dari jeratan hukuman pancung. Akan tetapi, Darsem harus membayar Diyat Rp 4, 72 Milyar dan batas tenggang waktu pembayaran Diyat tersebut berakhir pada 7 Juli 2011 yang akan datang. Selain Ruyati yang telah divonis dan Darsem yang masih di bawah bayang-bayang hukuman pancung, masih ada 27 orang WNI lagi yang terancam hukuman mati. Entah mereka sudah terbukti bersalah, atau masih belum jelas kebenarannya.
Sebenarnya, pembunuhan memanglah suatu perkara berat. Dalam hukum negara manapun, pembunuhan akan medapatkan hukuman yang cukup berat. Indonesia saja, kasus pembunuhan akan banyak sekali ancaman vonisnya tergantung dari motif dan sudut pandang pihak pengambil keputusan dalam hal ini pengadilan. Dalam hukum Arab Saudi yang menerapkan hukum Islam, ada tiga macam kasus pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Pertama, pembunuhan disengaja yaitu pembunuhan yang dilakukan secara sadar dan memang ada niat untuk membunuh. Kedua, pembunuhan tidak disengaja, yaitu kejadian insidental yang berada di luar keinginan pelaku seperti kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Ketiga, pembunuhan menyerupai sengaja yaitu penghilangan nyawa orang lain karena suatu peristiwa yang tidak sengaja tapi menyerupai kesengajaan, misal kegagalan dalam operasi oleh seorang dokter yang menyebabkan pasiennya meninggal dunia.
Setiap kasus penghilangan nyawa tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda-beda. Dalam kasus pembunuhan secara sengaja, ada hukuman qishash yaitu membunuh dibalas dengan hukuman mati. Atau pelaku bisa bebas dari jeratan hukuman mati apabila mendapatkan pemaafan dari ahli waris korban. Akan tetapi pemaafan tersebut akan mendapat konsekuensi lain yaitu kewajiban membayar diyat (denda). Besar nominal diyat disesusaikan dengan harga onta. Sebab diyat bagi pembunuhan yang disengaja adalah 100 ekor onta. Saat ini harga onta di pasar ukaz sekitar 3.000 riyal untuk onta berumur 3 tahun yang menjadi patokan pembayaran diyat. Berbeda dengan kasus yang tidak disengaja, maka akan ada keringanan pembayaran diyat dan apabila yang terbunuh adalah seorang wanita maka diyat yang dibayarkan hanya separuh.
Itulah hukum yang berlaku di Arab Saudi. Wilayah hukum suatu negara tidak bisa diintervensi oleh hukum negara lain. Bahkan, kedudukan Hukum Internasional akan lemah bila berhadapan dengan hukum nasional suatu negara. Begitu juga hukum nasional, akan lemah bila berhadapan dengan hukum adat yang berlaku di suatu wilayah dalam negara tersebut. Kaidah hukum ini sudah menjadi ketentuan yang tidak bisa terbantahkan. Jadi pada dasarnya, sehebat apapun ahli hukum Indonesia tidak akan bisa mengintervensi wilayah hukum Arab Saudi.
Sejarah pengiriman WNI ke luar negeri menjadi tenaga kerja sebenarnya sudah cukup lama. Tercatat sejak 1890, pemerintah Hindia Belanda telah mengirimkan orang-orang Indonesia ke luar negeri untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang berada di Suriname, Amerika Selatan. Mereka banyak berasal dari Jawa, Madura, Sunda dan Batak dan berstatus sebagai buruh kontrak. Pengiriman tenaga kerja ini bertujuan untuk menggantikan budak-budak Afrika yang telah dibebaskan sejak 1 Juli 1863 sebagai akibat dari kebijakan politik penghapusan perbudakan. Para budak tersebut diberikan kebebasan untuk memilih pekerjaan yang layak. Maka dari itu, penggantinya adalah rakyat dari negeri jajahan. Pasca kemerdekaan Suriname, para imigran dari Indonesia tersebut menetap di sana dan menjadi warga negara resmi negara tersebut sampai ke anak cucu mereka saat ini.
Di Indonesia sendiri, setelah proklamasi kemerdekaan dengan semangat nasionalisme dan membangun bangsa sendiri yang masih sangat besar menyebabkan tidak banyak orang Indonesia yang mencari pekerjaan ke luar negeri. Dua puluh tahun kemudian, seiring bergantinya rezim yang berkuasa, gelombang TKI yang ingin bekerja ke luar negeri mengalami peningkatan hingga akhirnya pemerintah Orde Baru melegalkan hal ini dan memberikan tanggung jawab ini kepada Kementerian Tenaga Kerja. Mulai saat itulah gelombang TKI ke luar negeri mengalami kenaikan yang sangat drastis.
Saat ini, jumlah TKI di luar negeri lebih kurang mencapai 3 juta jiwa dan memberikan masukan terhadap negara sekitar Rp 24 Triliun. Sebuah angka fantastis yang dihasilkan oleh para tenaga kerja yang sebagian besar mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tapi, sayang jumlah yang sangat besar dan luar biasa tersebut tidak diimbangi dengan upaya perlindungan yang memadai terhadap mereka dari pemerintah. Banyak TKI yang mendapatkan penyiksaan, penganiayaan, dll. tapi tidak diperdulikan oleh pemerintah dan perusahaan penyalur TKI.
Peristiwa yang menimpa Ruyati dan Darsem diharapkan menjadi titik tolak penghentian pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri atau minimal pengurangan dan pemberlakuan standar ketat bagi WNI yang akan bekerja di luar negeri. Apabila, tidak diimbangi dengan perhatian yang serius apa bedanya pengiriman TKI ke luar negeri dengan bisnis perdagangan manusia atau lebih kasarnya lagi sebagai jual-beli budak.
Perlu adanya upaya nyata dalam melindungi para TKI di luar negeri. Secara tekstual, Presiden RI telah mengesahkan Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penepatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. BAB V Bagian Kedua dalam Undang-Undang ini secara rinci diatur proses perekrutan, pra penempatan, saat penempatan, syarat kompetensi. Jadi jelas, undang-undang sudah mengatur pelaksanaan pengiriman TKI ke luar negeri termasuk soal perusahaan penyalur. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah standar dan aturan yang telah ditetapkan tersebut sudah dipenuhi, baik oleh pemerintah sendiri ataukah oleh perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri. Di dalam pasal 77 disebutkan bahwa perlindungan terhadap TKI dimulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan.
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun juga mengatur soal perlindungan tenaga kerja. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan/majikan tidak semena-mena terhadap para pekerja/buruh. Peraturan perudangan yang berlapir ini seharusnya sudah cukup memberikan penguatan bagi pemerintah dan perusahaan penyalur tenaga kerja untuk bekerja secara teliti dan hati-hati. Misalkan pada proses seleksi, perusahaan tidak secara mudah mengeluarkan sertifikat kompetensi kerja. Permasalahan terbesar yang dihadapi oleh kebanyakan TKI di luar negeri terutama di Arab Saudi adalah permasalalan komunikasi. Banyak TKI yang berangkat ke sana dengan modal ‘0’ secara bahasa. Bagaimana komunikasi dengan majikan akan berjalan dengan baik apabila tidak menguasai bahasa Arab?
Persepektif yang lain adalah harga diri bangsa. Sudah cukup lama bangsa ini menjadi bangsa ‘babu’. Lebih dari 40 tahun adalah waktu yang tidak pendek. Indonesia telah ikut terlibat dalam penanda tanganan berbagai fakta kesefahaman perdagangan bebas, misalnya Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (ACFTA), perdagangan bebas dunia, dll. Kondisi ini harus memaksa Indonesia menyetarakan diri dengan bangsa-bangsa lain dunia agar tidak menjadi penonton di negeri sendiri. Upaya pembinaan masyarakat dalam membangun ekonomi dan industri rumah tangga harus ditingkatkan sehingga masyarakat kita memiliki daya saing. Bukan dengan jalan mengekspor manusia secara besar-besaran ke luar negeri. Pada krisis global yang telah menerpa negara-negara di Eropa dan Amerika dan juga berimbas ke Asia bahkan ASEAN, perekonomisn Indonesia tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi tersebut. Serta merta pemerintah merasa bangga dan berhasil membangun perekonomian, padahal yang menyelamatkan Indonesia ketika itu adalah sektor mikro. Pada sektor makro, banyak juga perusahaan besar yang terseok-seok menghadapi krisis global tersebut. Tapi, tetap saja sepertinya pemerintah belum menyadari hal ini. Itu adalah salah satu cara untuk mengurangi angka pengangguran dan ekspor manusia ke luar negeri.
Kita akan menjadi bangsa yang besar dan dihormati apabila kita mampu lepas dari predikat sebagai bangsa ‘babu’. Dinasti Mamalik yang bangsa budak saja bisa terhormat dan mendirikan kerajaan besar di Mesir, apalagi kita bangsa Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam melawan ketidak adilan dan penjajahan. Pengalaman sejarah selama dijajah cukuplah menjadi pengalaman berharga dan sekali dalam seumur bangsa Indonesia ini.
Pemerintah berjanji akan mengehentikan pengiriman TKI ke luar negeri pada 2017, sungguh suatu ironi sebenarnya ketika pemerintah masih saja menunda pemberhentian pengiriman TKI ini. Selama enam tahun menunggu, entah akan berapa banyak lagi korban yang akan jatuh, entah berapa banyak lagi orang-orang yang terlantar, kecelakaan atau sengaja dicelakakan dalam angkutan kepulangan mereka pasca deportasi. Belum lagi ketika pemerintahan berganti, apakah akan ada jaminan pemberhentian itu akan dilaksanakan oleh pemerintah selanjutnya.
Memang, penyetopan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri tersebut akan memiliki akibat. Ketakutan pemerintah akan makin meningkatnya angka pengangguran. Tapi apakah ia, pengiriman TKI ke luar negeri adalah satu-satunya solusi mengurangi angka pengangguran. Sebetulnya, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan stimulasi kepada masyarakat untuk dapat mandiri, menciptakan lapangan kerja sendiri. Selain itu, masyarakat juga perlu jaminan demi keamanan dalam menjalankan usahanya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. Dengan begitu, permasalahan pelik yang dihadapi oleh pemerintah akan terselasaikan. Kita belajar pada negara Turki yang selama ini megalami potret buram pasca sekulerisasi oleh Mustafa Kamal. Bahkan potret buram itu masih terasa pada tahun 2002. Tapi kini lihatlah Turki, negara itu bisa bangkit dari keterpurukannya dengan menggandeng para pengusaha muda mereka yang komitmen serta pemberdayaan masyarakat mereka secara serius oleh pemerintah.

0 komentar:

Posting Komentar