02 April 2011

MENUJU KESIAPAN PERNIKAHAN, BENARKAH HARUS KAYA TERLEBIH DAHULU??

Sebenarnya cukup sulit bagi saya untuk menuliskan ini sebab saya belum pernah merasakannya. Hanya saja sedang berusaha mewujudkannya. Menikah. Satu kata yang di satu sisi membuat fikiran kita seakan-akan melayang indah dan di sisi lainnya tidak jarang menjadi seperti hantu yang begitu menakutkan. Apa sebab?? Mari sama-sama kita telaah.
Pernikahan adalah salah satu sunnah Rasulullah. Ada banyak ayat Al-Qur’an dan hadits nabi yang menyatakan hal ini. Seperti di dalam Surat An-Nisa’ ayat 3:
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (jika kamu mengawininya) maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(An-Nisa’:3)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadaNya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum: 21)
Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu di antara kalian hendaklah melaksanakan pernikahan, karena ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah berpuasa, karena ia menjadi benteng perlindungan. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Barangsiapa telah mempunyai kemampuan untuk menikah kemudian dia tidak menikah maka dia bukan termasuk ummatku. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Menikah adalah sunnahku, maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, ia bukan termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku akan membanggakan jumlahmu yang banyak di hari akhir nanti. (HR. Ibnu Majah dari Aisyah r.a.)
Bahkan, mati yang paling terhina adalah mati dalam keadaan membujang. Maka tidak ada kata lain kecuali kita harus menikah. Islam tidak membenarkan cara-cara kependetaan yang tidak menikah sebab dengan tidak menikah bukannya akan membuat kita fokus untuk beribadah kepada Allah melainkan justeru akan menjadikan kita terjerumus kepada dosa besar yaitu zina. Lagi pula Rasulullah sebagai teladan kita telah mencontohkan bahwa dia menikah, berpuasa tapi juga berbuka, shalat malam tapi juga tidur dan istirahat dan memberikan hak isteri-isteri beliau. Padahal Rasulullah adalah orang yang paling bertakwa di antara sekalian manusia.
Baiklah, setelah sekian banyak dalil tentang pernikahan di atas masihkah kita ragu?? Kalau masih dalam keragu-raguan, mari kita masuk lebih dalam lagi.
Dalam pernikahan itu sendiri memiliki beberapa hukum. Ada lima hukum dalam pernikahan. Nikah dapat menjadi wajib, dapat pula, sunnah, bahkan menjadi haram, di samping makruh dan mubah. Kapan ia menjadi berhukum wajib?? Apabila seseorang telah mampu untuk menikah dan berkeyakinan akan jatuh pada perzinaan apabila tidak menikah. Sedangkan perzinaan itu adalah sesuatu yang haram. Maka, tak lain cara menghindarinya adalah dengan jalan menikah.
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Orang yang mampu menikah yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya dan agama jika ia membujang, yang kekhawatiran itu dapat hilang melainkan dengan menikah, maka tidak ada lagi perselisihan tentang wajib menikah baginya.”
Pernikahan dapat berakibat hukum sunnah apabila nafsu seseorang telah mendesak dan ia mampu untuk menikah akan tetapi ia masih mampu menahan diri dari perbuatan zina maka ia sunnat untuk menikah. Itu berarti ia akan mendapatkan keutamaan sunnah dalam menjalani ibadahnya tersebut.
Akan tetapi, posisi sunnah untuk menikah ini tidaklah bersifat panjang dalam hal waktu. Dari hukum sunnah tentu ia akan berangsur-angsur kepada hukum wajib. Maka tentu saja kita harus tetap mempersiapkannya. Rentang waktu sunnah ini menjadi pilihan yang bijan kepada kita apakah akan mengambil keutamaan-keutamaan tersebut. Rasulullah menikah pada usia 25 tahun, maka kalau kita ingin mengikuti Rasulullah dan memang seyogyanya seperti itu bahwa batas sunnah itu pada usia 25 tahun. Setelah itu kita telah masuk pada masa wajib menikah. Bahkan para sahabat banyak yang menikah di usia yang sangat muda.
Hukum ketiga adalah hukum pernikahan haram. Bagaimanakah pernikahan yang berakibat hukum haram tersebut?? Apabila seseorang menyadari tidak dapat memberikan nafkah dan hak-hak isterinya atau tidak dapat memberikan mahar karean kemiskinan yang sangat sedangkan kebutuhan menikahnya tidak mendesak. Maka, orang yang seperti ini tidak boleh menikah sebelum ia berterus terang kepada calon isterinya tentang keadaannya atau tiba saatnya ia mampu memenuhi hak-hak isterinya.
Pernikahan menjadi haram dapat pula disebabkan karena tujuan pernikahan tersebut telah melenceng dari yang sebenarnya. Misalkan karena ingin menguasai harta warisan sang wanita, atau juga salah satu dari pria atau wanita tersebut memiliki penyakit menular melalui pergaulan suami isteri tersebut sehingga menyebabkan pasangannya juga terjangkit penyakit yang sama.
Hukum selanjutnya adalah makruh apabila seseorang mengidap lemah syahwat sehingga tidak dapat memenuhi hak-hak isterinya walaupun secara finansial sang suami kaya. Akan bertambah makruh apabila karena penyakitnya tersebut menyebabkan ia berhenti dari melakukan suatu ibadah atau menuntut ilmu.
Terakhir adalah hukum pernikahan yang mubah berlaku bagi seorang pria yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera menikah, atau karena alasan-alasan yang mengharamkan nikah.
Itulah lima hukum dalam pernikahan. Dari pengertian di atas maka kita dapat menyimpulkan sendiri kita masuk pada kelompok yang mana, wajib, sunnah, mubah, makruh atau bahkan haramkah??
Masih juga ada alasan lainnya?? Karena masih belum punya pekerjaan, rumah, kendaraan atau yang lainnya??
Alasan yang paling klasik dan mayoritas para pemuda tidak mau menikah adalah masalah pekerjaan, merasa belum siap karena belum mapan secara ekonomi. Ada juga yang sudah punya pekerjaan tapi tak kunjung menikah karena belum memiliki tempat tinggal sendiri, atau belum punya kendaraan untuk menunjang pekerjaannya tersebut.
Ketika alasan-alasan di atas menjadi hambatan kita maka sesungguhnya kita telah terjebak. Kita telah menciptakan kesulitan kita sendiri dengan mengatasnakan “materi” sehingga jadilah ia berhala yang bernama materialisme. Hidup dihitung secara matematis, biaya-biaya hidup dianggap linear, kalau biasa kita sendiri hidup menghabiskan uang satu setengah juta dalam sebulan berarti jika ditambah isteri menjadi tiga juta, belum lagi ditambah anak-anak misalkan tiga orang anak berarti 7,5 juta sebulan. Alangkah malangnya seseorang yang berfikir seperti ini.
Itulah kondisi masyarakat kita saat ini. Dalam menjalani kehidupan segalanya diukur dengan serbamateri. Parameter utama kesuksesan atau kegagalan juga materi. Perbincangan publik juga berkisar tak jauh dari masalah ekonomi dan materi. Maka, jadilah masyarakat kita masyarakat yang materialistis tapi celakanya tak banyak yang mengakuinya dan bahkan masih banyak yang berkilah. Di pedesaan, apabila seseorang memberikan mahar yang kecil kepada calon isterinya ia menjadi perbincangan yang serius, perbincangan yang mencemooh. Padahal Rasulullah sebagai teladan kita yang harus dicontoh dan diikuti telah menyampaikan:
Sungguh sebaik-baik kaum perempuan adalah yang paling ringan tuntutan maharnya. (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Abbas).
Di perintahkannya para wanita untuk meringankan mahar bukanlah untuk meremehkan kaum perempuan, tetapi beliau tidak menginginkan dalam proses pernikahan. Umar pun pernah berpesan, “Janganlah berlebihan dalam memberikan mahar kepada perempuan, sebab Rasulullah saw. Menikah dan menikahkan puterinya tidak lebih dari mahar empat ratus dirham. Seandainya meninggikan nilai mahar ada manfaat dan kemuliaan perempuan di dunia atau menambah ketakwaannya, tentu Rasulullah saw. adalah orang yan pertama kali melakukan.”
Mahar pada dasarnya diberikan oleh seorang laki-laki kepada calon isterinya sesuai dengan kemampuan sang laki-laki. Banyak kisah para sahabat yang merupakan generasi pertama yang dibina oleh Rasulullah saw. sekaligus juga merupakan ummat terbaik dalam hal pernikahan dan pemberian mahar seperti pada kisah Abdurrahman bin Auf. Kita ketahui bahwa Abdurahman bin Auf ketika hijrah ke Madinah tak membawa harta apapun, tapi berkat kepiawaian dan kejujurannya dalam berdagang dalam beberapa bulan saja ia mampu menjadi pengusaha yang sukses. Diceritakan oleh Anas bahwa Rasulullah saw. melihat ada bekas warna kekuningan pada Abdurrahman bin Auf, lalu beliau bertanya, Apa ini?” Dia menjawab, “Saya menikah dengan seorang wanita dengan mahar emas sebesar biji kurma.” Beliau saw. bersabda, “Mudah-mudahan Allah memberi berkah kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun pernah suatu saat yang lain Rasul juga pernah menikahkan seorang laki-laki fakir yang tidak memiliki harta, dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an. “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk mahar?” Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, tidak punya wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Pergilah ke rumah keluargamu dan lihatlah barangkali engkau dapat memperoleh sesuatu.” Lalu ia pergi dan kembali lagi sambil berkata, “Tidak ada wahai Rasulullah, saya tidak mendapatkan sesuatu apa pun.”
Beliau saw. bersabda lagi, “Lihatlah, walaupun hanya sebentuk cincin besi.” Lalu dia pergi dan kembali lagi sembari berkata, “Tidak ada wahai Rasulullah, bahkan cincin besipun tidak ada. Hanya ini izar –pakaian untuk menutup separuh tubuh bagian bawah.” Sahl bin Sa’ad As-Sa’di berkata, “Dia tidak memiliki rida’ –pakaian utnuk menutup separuh bagian atas untuk setengahnya.”
Rasulullah saw. bersabda, “apa yang akan kau lakukan dengan izarmu? Jika engkau pakai maka dia tidak mendapatkan apa-apa, dan jika dia pakai maka kamu tidak mengenakan apa-apa.” Maka duduklah laki-laki itu dalam waktu yang cukup lama. Kemudian dia pergi dan Rasulullah melihatnya, lalu menyuruh agar dia dipanggil. Setelah dia datang, beliau bertanya, “Apa yang engkau hafal dari Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Saya hafal surat ini dan surat ini” sambil menghitung-hitung surat itu.
Rasulullah bertanya, “Apakah engkau dapat membacakan kepadanya dengan hafalan?” Dia menjawab, “Bisa.” Beliau bersabda, “Pergilah, aku telah mengawinkanmu dengannya dengan mahar ayat Al-Qur’an yang ada padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Abbas menceritakan, ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah saw. berkata kepada Ali, “Berikanlah sesuatu (mahar) kepadanya.” Ali menjawab, “Saya tidak punya apa-apa.” Beliau bertanya, “Mana baju besi huthamiyah punyamu?” Ali menjawab, “Dia ada padaku.” Sabda Nabi, “Berikanlah kepadanya.” (HR. Nasa’i).
Ada sebuah kisah tentang Umar terkait dengan urusan mahar ini. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah pernah menganjurkan kepada para wanita muslimah untuk meninggikan mahar. Tapi hal ini justeru di tentang oleh para muslimah ketika itu hingga akhirnya Umar mengurungkan niatnya dan mencabut anjurannya itu.
Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Mari kita simak dan fahami ayat berikut:
Dan nikahkanlah orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layaknikah di antara hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya, dan Allah Maha Luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui. (An-Nur: 32).
Ayat ini akan mementahkan semua logika dan hitung-hitungan matematis yg selama ini dipakai. Ini adalah janji Allah yang suatu kemustahilan Allah mengingkari janjiNya. Asalkan kita percaya dan yakin bahwa Dia akan menolong hambaNya. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa satu dari tiga golongan yang layak mendapatkan pertolongan Allah adalah orang yang menikah karena ingin menghindarkan diri dari perbuatan haram (Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim dari Abu Hurairah).
Gambaran praktis dari Rasulullah untuk menjawab kekhawatiran sebagian masyarakat yang merasa rezekinya tidak mencukupi untuk makan berdua bersama isteri. Nabi saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:
Makanan dua orang dapat mencukupi tiga orang, dan makan tiga orang dapat mencukupi empat orang. (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, kalau selama lajang bisa makan untuk diri sendiri, maka ketahuilah bahwa makanan Anda bisa mencukupi utnuk Anda sendiri bersama isteri. Jabir r.a. juga meriwayatkan bahwa Nabi saw. telah bersabda:
Makanan seorang cukup untuk dua orang, dan makanan dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang. (HR. Muslim).
Lalu, apa lagi yang masih kita ragukan? Tanyakanlah pada diri kita masing-masing. Masihkah kita sangsi dengan janji Allah di atas??
Wallahu a’lamu bishowwab.

0 komentar:

Posting Komentar