Imaginasi saya terhenti ketika harus menyaksikan realita yang ada. Imajinasi saya selalu menuntun pada hal-hal yang ideal, indah dan sempurna bahkan lebih dari itu sangat luar biasa. Begitu juga saya yakin yang terjadi pada Anda. Ketika berfikir tentang kehidupan pribadi, kita berfikir dan mengkhayal semua tentang keindahan, tanpa pernah terfikirkan hal-hal buruk. Itu khayalan. Berbeda dengan kebalikan dari khayalan adalah kekhawatiran, yang terfikir adalah kesulitan-kesulitan, kesusahan dan semua yang berkaitan dengan halangan dan rintangan.
Dalam konteks dunia pendidikan, kadangkala kita terlalu terbuai dengan hal-hal yang terlalu ideal. Mengkhayalkan pendidikan negeri kita yang begitu sempurna. Ada banyak terobosan baru dalam pelaksanaan pembelajaran, media pembelajaran yang semakin canggih, tenaga pengajar yang terus ditingkatkan kemampuan dan jenjang strata pendidikannya. Bayangkan saja, kalau dulu orang tamatan SMA bisa mengajar SMA, sarjana bisa mengajar calon sarjana, tapi sekarang guru SD sudah disyaratkan minimal sarjana, jenjang selanjutnya tentu akan terus menyesuaikan. Itu adalah kemajuan-kemajuan dunia pendidikan kita yang harus terus kita dukung dan tingkatkan tentunya.
Tapi, pernahkah kita coba berhenti sejenak mengkhayal. Bermimpi indah terus, walaupun mimpi indah itu yang memang harus terus kita jaga. Sesekali kita khawatir. Khawatir terhadap kondisi yang tidak ideal ternyata pada tataran realita. Seperti pada acara reality show yang baru saja saya saksikan di salah satu televisi swasta. Ada seorang bocah berusia kira-kira delapan tahun, sebut saja namanya Wulan yang terpaksa harus “dikarbit” menjadi dewasa. Pikiran-pikirannya pun mirip orang dewasa, punya keinginan kuat untuk mengenyam pendidikan tapi apa lacur karena orang tua tak punya biaya ia harus berjualan makanan ringan di pinggir jalanan kota. Sebenarnya bukan salah dirinya, orang tuanya juga seharusnya bertanggung jawab, tapi lagi-lagi apa daya kalau orang tua juga tak punya apa-apa dan tidak punya skill dalam hidup.
Menyedihkan memang. Itulah realita yang membuat saya terhenti untuk berimajinasi. Saya harap Anda juga ikut berhenti berimajinasi sejenak. Kita coba untuk berkhawatir durja. Tidak hanya satu orang seperti yang saya yang contohkan di atas. Ada begitu banyak Wulan-wulan lain yang berada disekitar kita. Khawatir terhadap nasib mereka, jangan terpikir di benak kita itu bukan siapa-siapa kita, mengapa kita harus peduli. Dari sisi kemanusiaan, maka sesungguhnya kita telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena membiarkan mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi kaum terdidik, padahal kita mengetahui kondisi mereka. Dari segi agama, bagi ummat Islam ada satu prinsip yang harus dipegang yang berasal dari sebuah hadits Rasulullah yang intinya adalah apabila kita terbangun di pagi hari tanpa terpikirkan kondisi ummat Islam termasuk dalam hal seperti di atas maka dia bukan bagian dari ummat ini. Secara tegas Rasulullah menolak orang yang hanya berucap di mulut sebagai ummatnya tetapi tidak peduli dengan kondisi ummat.
Kita berheneti sejenak untuk mengkhayal indah ria mencoba untuk khawatir sebab bagaimana bangsa ini akan bangkit kalau begitu banyak orang-orang yang tersisihkan padahal mereka begitu potensial. Mereka adalah anak-anak bangsa. Apakah kita tidak takut kelak meninggalkan generasi yang lemah, bukan hanya fisik tapi juga dari aspek pengetahuan dan keilmuannya. Sejenak berkhawatir untuk kembali hidup tapi tidak dengan khayalan, kita akan hidup dengan mimpi indah dan terbaik. Bermimpi bagaimana mereka yang tersisihkan ini nantinya akan menjadi orang-orang yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini. Bermimpi bagaimana anak-anak yang kurang beruntung ini mampu menjadi penggerak ekonomi negeri karena mereka belajar dari kesulitan yang mereka alami.
Saya teringat dengan sebuah sub judul buku “Menjadi Bangsa Pintar” buah pemikiran Heppy Trenggono. “Mengapa bodoh berkelanjutan?” jawabnya simple sekali karena kita mau dibodohi. Sebagian besar kita mengidap penyakit mental indolence, yaitu kondisi mental bangsa yang berfikir dan bersikap atas sesuatu masalah dengan cara meniru pada kebiasaan-kebiasaan sebagaimana yang dilihat, dan akhirnya membentuk mindset. Maka, saran beliau kita harus berubah. Kita harus menanamkan mentalitas PEMENANG. Kalau tidak, maka selamanya kita akan menjadi bodoh dan bodoh. Atau cocok juga bila diketengahkan sebuah lagu kepada kita:
Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk membohongi
Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu
Kita berhenti sejenak. Kita mulai fikirkan bagaimana kita jadi pemenang. Karena hak untuk menjadi pemenang juga hak kita, hak bangsa Indonesia. menjadi bangsa pemenang harus dari masyarakat yang cerdas. Membentuk masyarakat cerdas merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau sebelas tahun yang lalu musuh bersama kita adalah orde baru yang korup dan bertangan besi maka musuh kita sekarang, di tahun 2010 ini dan seterusnya adalah kebijakan pemerintah yang tidak berpijak kepada rakyat dan tindakan yang terus membodoh-bodohi rakyat. Kita lawan kebodohan.
-Elly Sumantri-
Rumah Edukasi
Diantara bangunan-bangunan imajinasi yang bernama kesibukan. Entah apakah kita benar-benar sibuk atau hanya sekedar berpura-pura sibuk untuk tidak melihat sejenak realita yang terjadi.
Dalam konteks dunia pendidikan, kadangkala kita terlalu terbuai dengan hal-hal yang terlalu ideal. Mengkhayalkan pendidikan negeri kita yang begitu sempurna. Ada banyak terobosan baru dalam pelaksanaan pembelajaran, media pembelajaran yang semakin canggih, tenaga pengajar yang terus ditingkatkan kemampuan dan jenjang strata pendidikannya. Bayangkan saja, kalau dulu orang tamatan SMA bisa mengajar SMA, sarjana bisa mengajar calon sarjana, tapi sekarang guru SD sudah disyaratkan minimal sarjana, jenjang selanjutnya tentu akan terus menyesuaikan. Itu adalah kemajuan-kemajuan dunia pendidikan kita yang harus terus kita dukung dan tingkatkan tentunya.
Tapi, pernahkah kita coba berhenti sejenak mengkhayal. Bermimpi indah terus, walaupun mimpi indah itu yang memang harus terus kita jaga. Sesekali kita khawatir. Khawatir terhadap kondisi yang tidak ideal ternyata pada tataran realita. Seperti pada acara reality show yang baru saja saya saksikan di salah satu televisi swasta. Ada seorang bocah berusia kira-kira delapan tahun, sebut saja namanya Wulan yang terpaksa harus “dikarbit” menjadi dewasa. Pikiran-pikirannya pun mirip orang dewasa, punya keinginan kuat untuk mengenyam pendidikan tapi apa lacur karena orang tua tak punya biaya ia harus berjualan makanan ringan di pinggir jalanan kota. Sebenarnya bukan salah dirinya, orang tuanya juga seharusnya bertanggung jawab, tapi lagi-lagi apa daya kalau orang tua juga tak punya apa-apa dan tidak punya skill dalam hidup.
Menyedihkan memang. Itulah realita yang membuat saya terhenti untuk berimajinasi. Saya harap Anda juga ikut berhenti berimajinasi sejenak. Kita coba untuk berkhawatir durja. Tidak hanya satu orang seperti yang saya yang contohkan di atas. Ada begitu banyak Wulan-wulan lain yang berada disekitar kita. Khawatir terhadap nasib mereka, jangan terpikir di benak kita itu bukan siapa-siapa kita, mengapa kita harus peduli. Dari sisi kemanusiaan, maka sesungguhnya kita telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena membiarkan mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi kaum terdidik, padahal kita mengetahui kondisi mereka. Dari segi agama, bagi ummat Islam ada satu prinsip yang harus dipegang yang berasal dari sebuah hadits Rasulullah yang intinya adalah apabila kita terbangun di pagi hari tanpa terpikirkan kondisi ummat Islam termasuk dalam hal seperti di atas maka dia bukan bagian dari ummat ini. Secara tegas Rasulullah menolak orang yang hanya berucap di mulut sebagai ummatnya tetapi tidak peduli dengan kondisi ummat.
Kita berheneti sejenak untuk mengkhayal indah ria mencoba untuk khawatir sebab bagaimana bangsa ini akan bangkit kalau begitu banyak orang-orang yang tersisihkan padahal mereka begitu potensial. Mereka adalah anak-anak bangsa. Apakah kita tidak takut kelak meninggalkan generasi yang lemah, bukan hanya fisik tapi juga dari aspek pengetahuan dan keilmuannya. Sejenak berkhawatir untuk kembali hidup tapi tidak dengan khayalan, kita akan hidup dengan mimpi indah dan terbaik. Bermimpi bagaimana mereka yang tersisihkan ini nantinya akan menjadi orang-orang yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini. Bermimpi bagaimana anak-anak yang kurang beruntung ini mampu menjadi penggerak ekonomi negeri karena mereka belajar dari kesulitan yang mereka alami.
Saya teringat dengan sebuah sub judul buku “Menjadi Bangsa Pintar” buah pemikiran Heppy Trenggono. “Mengapa bodoh berkelanjutan?” jawabnya simple sekali karena kita mau dibodohi. Sebagian besar kita mengidap penyakit mental indolence, yaitu kondisi mental bangsa yang berfikir dan bersikap atas sesuatu masalah dengan cara meniru pada kebiasaan-kebiasaan sebagaimana yang dilihat, dan akhirnya membentuk mindset. Maka, saran beliau kita harus berubah. Kita harus menanamkan mentalitas PEMENANG. Kalau tidak, maka selamanya kita akan menjadi bodoh dan bodoh. Atau cocok juga bila diketengahkan sebuah lagu kepada kita:
Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk membohongi
Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu
Kita berhenti sejenak. Kita mulai fikirkan bagaimana kita jadi pemenang. Karena hak untuk menjadi pemenang juga hak kita, hak bangsa Indonesia. menjadi bangsa pemenang harus dari masyarakat yang cerdas. Membentuk masyarakat cerdas merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau sebelas tahun yang lalu musuh bersama kita adalah orde baru yang korup dan bertangan besi maka musuh kita sekarang, di tahun 2010 ini dan seterusnya adalah kebijakan pemerintah yang tidak berpijak kepada rakyat dan tindakan yang terus membodoh-bodohi rakyat. Kita lawan kebodohan.
-Elly Sumantri-
Rumah Edukasi
Diantara bangunan-bangunan imajinasi yang bernama kesibukan. Entah apakah kita benar-benar sibuk atau hanya sekedar berpura-pura sibuk untuk tidak melihat sejenak realita yang terjadi.