13 Juli 2009

Tarbiyah Siyasiyah: Baina Ad Da’wah was Siyasah

Seri Taujihat Pekanan

Mukadimah

Akhi fillah,
Allah SWT telah menurunkan Risalah terakhir yang merangkum seluruh risalah nabi-nabi sebelumnya. Risalah yang bersifat “syaamilah mutakaamilah” (komprehensif dan integral).
Risalah yang tidak ada satupun dimensi kehidupan kecuali ia mengaturnya secara sistemik baik secara global maupun secara spesifik.
Oleh karenanya, Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Al-Baqarah/2: 208)
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu merekadengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kami terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (AL-Ma’idah/5: 48)
Akhi fillah,
Risalah Islam ini sesungguhnya “Risalah Nabawiyah” yang terakhir yang sengaja diturunkan sebagai “way of life” (cara hidup) bagi seluruh manusia. Oleh karenanya ia bicara tentang seluruh dimensi kehidupan manusia. Baik dimensi aqidah, ibadah dan maupun dimensi akhlak. Danyang termasuk dalam tiga dimensi ini adalah masalah ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan. Di sini, tidak boleh ada yang melakukan dikotomi dalam ajaran Islam. Tidak ada yang mengatakan: “Islam Yes, No”. atau mengatakan: “yang penting adalah aqidah, yang lain nngak penting.”
Selanjutnya bagaimana kita memilki pemahaman yang komprehensif ini dan memperjuangkannya dalam kehidupan kita. Yang akhirnya lahirlah pencerahan dan perbaikan dalam dunia ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang berimpact kepada kebaikan dan maslahat ummat.

Tarbiyah Siyasiyah
Akhi fillah’
Tarbiyah siyaiyah yang bermakna pendidikan dan pembinaan politik adalah sangat urgent dipahami oleh setiap kita sebagai kader Partai Da’wah. Karena pemahaman politik yang kita inginkan bukan seperti yang kita pahami dalam ilmu politik secara umum, yaitu berpolitik yang dimaksudakan hanya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi kita berpolitik untuk menegakan nilai-nilai kebenaran Ilahiyah dan memperjuangkan kepentingan serta maslahat masyarakat. Berkuasa untuk melayani ummat dan memimpin untuk memperbaiki system yang tidak berpihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Oleh karenanya, segala aktifitas yang berkaitan dengan gerakan berpartai dan berpolitik, kita sebut dengan “Jihad Siyasi” (Perjuangan Politik). Dan bahasa Asy-Syahid, Hasan al-Banna, perjuangan ini dikategorikan dalam marhalah “rukun amal” yang disebut “Ishlahul Hukumah” (Perbaikan Pemerintahan) sampai marhalah “Ustadziyatul Ala” (Soko guru Dunia).
Akhi filah,
Keberhasilan dan kesuksesan berpolitik atau jihad siyasi harus berimpact kepada dimensi kehidupan yang lain. Harus berimpact kepada dunia pendidikan dan da’wah. Yang berujung kepada pencerdasan anak bangsa dan pencetakan generasi rabbani. Harus berimpact kepada dunia ekonomi dan sosial budaya. Yang berakhir kepada pemeliharaan asset-aset Negara dan pendayagunaan kepada masyarakat yang lebih luas. Begitu juga mampu memelihara identitas atau jati diri bangsa yang bertumpu pada pondasi spiritual dalam aspek sosial budaya.
Akhi fillah,
Seruan dan anjuran kepada para kader Partai Da’wah untuk kembali ke barak atau ke dunia da’wah saja dengan pemahaman yang sempit karena alasan bahwa dunia politik adalah dunia “rawan dan beranjau”, dunia yang sarat dengan kebohongan, ketidak jujuran, khianat, gunjing-menggunjing, halal menjadi haram, haram menjadi halal, adalah sebuah seruan kemunduran dalam berda’wah. Bukankah seruan ini seperti orang yang mengatakan dulu: “Islam Yes, Politik No”, sebuah adigium yang dulu meruapakan musuh bersama para da’I yang mengajak manusia kembali kepada Islam secara kaffah/komprehensif.
Akhi fillah,
Dan bila ada sebagian kader yang tergelincir dan terjerumus dalam permainan system yang destruktif negative, maka tugas struktur Patai Da’wah adalah bagaimana menyiapkan sarana dan prasarana bagi para kader yang melakukan jihad siyasi dan yang terjun di dunia politik agar tetap istiqamah dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya dan tetap menjaga integritas diri.

Baina Ad-Da’wah was Siyasah
Apakah ada pertentangan antara da’wah dan siyasah? Jawaban pertanyaan ini akan menyelesaikan kerisauan dan kegamangan kita dalam melakukan kerja-kerja da’wah selanjutnya yang bersinggungan dengan dunia politik dan langkah meraih kemenangan “Jihad Siyasi” dalam setiap perhetan baik pemilu maupun pilkada.
Akhi fillah,
Ayat di atas dan pengertian Islam yang didefinisikan oleh Asy-Syahid di bawah ini adalah dalil yang menunjukan tentang titik temunya amal da’awi dan amal siyasi dalam bingkai keislaman. Jadi tidak ada sama sekali pertentangan antara dunia da’wah dengan dunia politik. Coba kita renungkan pernyataan beliau dalam “Risalah Ta’lim”:
“Islam adalah nizham (aturan) komprehensif yang memuat seluruh dimensi kehidupan. Ia adalah daulah dan tanah air atau pemerintahan dan ummat, ia adalah akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan. Ia adalah tsaqafah (wawasan) dan qanun (perundang-undangan) atau keilmuan dan peradilan, ia adalah materi dan kesejahteraan atau profesi dan kekayaan. Ia adalah jihad dan da’wah atau militer dan fikrah, sebagaimana ia aqidah yang benar dan ibadah yang shahih (benar).”
Akhi fillah,
Da’wah yang bertujuan menyeru manusia untuk kembali kepada nilai-nilai Islam secara komprehensif bisa dilakukan oleh kader di manapun ia berada dan apapun profesinya. Apakah ia seorang ekonom, pengusaha, pendidik, teknikrat, birokrat, petani, buruh dan politikus (aleg) jadi da’wah bukan suatu yang antagonis dengan dunia politik, akan tetapi dunia politik merupakan salah satu lahan da’wah.
Akhi fillah,
Semoga catatan singkat ini mampu memberi energi baru dan gelora semangat bagi kita kader Partai Da’wah untuk menguatkan soliditas dan beramal jama’I dalam proses menuju tahapan-tahapan “rukun amal” da’wah. Allahu Akbar Walillah al-hamdu.

Pentingnya Kredibilitas Keilmuan

Seri Taujihat Pekanan

Dalam rubrik tanya jawab di sebuah media online berbahasa arab, seorang aktifis da’wah menanyakan sebuah fenomena yang menurutnya telah terjadi perubahan dalam sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah sehingga membuat para kader da’wah tidak tsiqah lagi kepada mereka. Dalam jawabannya yang panjang lebar, pengasuh rubric tersebut menyelipkan sebuah pertanyaan untuk membantu penanya merenung dan menemukan jawaban dengan mengajaknya melihat masalah tersebut dari sudut pandang berbeda; “apakah ketidaktsiqahan kader tersebut disebabkan karena para qiyadah sudah berubah atau disebabkan kapasitas keilmuan para kader yang terbatas dan tidak mampu memahami sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah?”
Pertanyaan balik yang dilontarkan pengasuh rubrik tersebut mengajarkan kepada kita semua untuk melihat, menilai dan mencemati suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Melihat dan menilai suatu masalah dari berbagai sisi, tentu akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dibandingkan bila kita melihatnya hanya dari satu sisi. Demikian halnya ketika kita melihatnya dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu tentu akan menghasilkan penilaian yang berebeda dibandingkan bila kita melihatnya hanya dengan satu sisiplin ilmu saja. Karena untuk bisa memahami perkembangan dan kebijakan da’wah para era jahriyah jamahiriyah, dan agar mampu mengelola da’wah yang telah memasuki mihwar muassasi ini, memerlukan kedalaman ilmu dan peningkatan kapasitas keilmuan. Keterbatasan kapasitas keilmuan atau ketidakmampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang hanya akan membuat kita terkungkung dengan asumsi-asumsi atau kesimpulan yang menyesatkan.
Ketika ada berita bahwa Tim Pemenangan Pilkada salah satu DPW melakukan kerjasama dengan seorang non muslim, ada seorang kader yang sangat gelisah dan menulis protes keras disebuah majalah dengan mengatakan:
Tak satu pun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi saw mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan menolaknya dengan mengatakan, “Aku tidak akan pernah meminta bantuan kepada musyrik.” Kenapa sensitifitas terhadap halal dan haram ini terus melemah?”
Menyimpulkan bahwa tidak satupun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah menerima bantuan dari kaum kafir adalah kesimpulan yang sangat naïf. Bukankah Rasulullah saw pernah melakukan hal-hal berikut?:
1. Bersama Abu Bakar ra, Rasulullah saw meminta bantuan seorang musyrik dari Bani Ad Diil untuk menjadi oenunjuk jalan saat mereka hijrah menuju Madinah dan orang itu pun memberikan dua kuda tunggangannya kepada Rasulullah saw dan Abu Bakar. (Shahih Bukhahri, Jilid 8, hal. 280-282)
2. Pada peristiwa Hudaibiyah Rasulullah saw meminta bantuan seorang kafir dari Khuza’ah untuk memata-matai apa yang dilakukan orang-orang Quraisy. (Zadul Ma’add, Jilid 2, hal. 127)
3. Pada saat perang Hunain Rasullah saw mwminta bantuan tenaga salah satu tokoh kafir Quraisy yang bernama Shafwan bin Umayyah dan meminjam sejumlah baju perang (bantuan harta). (Nashbu Rayah, jilid 3, hal. 377 dan Zadul Ma’ad, jilid 2, hal. 190)
Telepas dari adanya persayaratan-persyaratan tertentu usng dibuat oleh sebagian ulama sehingga diperbolehkan menerima atau meminta bantuan kepada orang non muslim, yang jelas masih banyak lagi dalil yang menunjukan bahwa Rasulullah saw menerima dan meminta bantuan kepada orang kafir dan beretentangan dengan kesimpulan saudara di atas. Oleh karenanya hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw tidak meminta bantuan kepada orang musyrik tidak bisa dilihat dari sisi tekstualnya saja, harus dilihat juga dari kontekstualnya atau asbabul wurudnya. Dalam riwayat Imam al-Hakim disebutkan bahwa orang musyrik tersebut adalah bagian dari pasukan kaum Yahudi Bani Qainuqa’ yang menjadi sahabat tokoh munafik Abdullah bin Ubay sehingga sangat mungkin penolakan Rasulullah saw tersebut disebabkan adanya kekhawatiran akan terjadi pengkhianatan dan mereka nerbalik menyerang kaum muslimin. (lihat Syarhu as Sair al Kabir, jilid 4, hal. 1423)
Untuk dapat memahami perkembangan da’wahdan problematikanya saat ini, menuntut adanya kredibilitas keilmuan. Kredibilitas tersebut tidak cukup hanya mengandalkan keilmuan yang bersumber dari literature saja, tetapi juga keilmuan yang didapat dari interaksi langsung dengan realita da’wah, keilmuan yang berasal dari interaksi langsung dengan dinamika kehidupan.
Seorang kader yang berkiprah langsung dalam da’wah siyasiyah akan memahami betapa sangat strategisnya kekuatan politik untuk melakukan perubahan dalam masyarakat dan karenanya harus terlibat dalam proses politik meskipun keterlibatan tersebut baru sebagai sarana belajar, tentunya dengan kesadaran penuh akan kemungkinan adanya dampak negatif yang mungkin mempengaruhi perilaku dan kepribadian seorang kader yang berinteraksi dengan dunia yang bergetah ini.
Sebaliknya, bagi kader yang melihat dunia da’wah siyasiyah dari kejauhan, akan cenderung menyoroti sisi kemubadziran proses politik yang memerlukan biaya mahal, cenderung hanya melihat dari sisi dampak negatif yang mungkin timbul dan karenanya mengajak kita meninggalkan dunia politik, cenderung mengikuti pikiran pribadinya dan menyeru agar kita tidak memaksakan diri terlibat dalam dunia pemilu atau pilkada, meskipun kebijakan tersebut diambil melalui proses syuro’ yang panjang. Ketika menyampaikan seruan tersebut mungkin tidak lagi mau menimbang-nimbang mudharat yang timbul bila orang-orang shalih ini tidak mau memasuki dunia abu-abu tersebut. Agar kita mampu menimbang masalah ini dengan timbangan yang benar, penting bagi kita untuk menyimak hadits Rasulullah saw. berikut:
“Orang mu’min yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan (dampak negatif) mereka, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah).
Bila ada kader yang gelisah dan bingung dalam memahami perkembangan da’wah dan sepak terjang aktofosnya, gelisah karena ijtihad, qiyas dan mashlahat dijadikan dasar dalam mengambil sikap atau kebijakan-kebijakan da’wah dan mengatakan: “Terkadang untuk men-justifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah kaidah-kaidah fiqh secara berani dan tidak proporsional… Sementara di zaman sekarang, anak-anak muda menjawab dengan berani terhadap masalah apa saja yang diajukan kepada mereka denga dalih ijtihad dan mashlahat”, ternyata kegelisahan dan kebingungan yang diungkapkan dengan kata-kata yang sama telah dinukil oleh Muhammad Ahmad Ar Rasyid dalam bukunya “manhajiyatul ifta’ wal ijtihad”. Namun beliau menepis kebingungan tersebut setelah menemukan ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib ra:
Setiap kaum, merekalah yang paling mengetahu urusan mereka dan paling memahami apa yang bisa memberikan mashlahah kepada diri mereka, mereka berhak mencibir orang lain yang tidak memahami mereka, kebenaran dapat diketahui dengan qiyas bagi mereka yang memiliki akal.
Ali bin Abi Thalib ra telah menjelaskan dengan gambling bahwa menggunakan qiyas dan mashlahat dalam mengambil kebijakan politik, kebikana da;wah dan muamalah merupakan manhaj yang benar. Hal ini akan menghilangkan keraguan dalam berijtihad dan bahkan mendorong untuk berani berijtihad, tentunya dalam masalah-masalah fiqh da’wah, politik dan muamalah.
Dari pemaparan masalah di atas ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi:
1. Pentingnya meningkatkan kredibilitas dan kapasitas keilmuan untuk bisa memahami, menyikapi bahkan mengelola da’wah di mihwar muassasi. Peningkatan kredibilitas dan kapasitas keilmuan bukan hanya dengan menguasai ilmu alat yang didapat dari belajar dan membaca buku, tetapi juga dengan berinteraksi lansung dengan realita kehidupan sehingga kita dapat memahami dan menyikapi suatu fenomena atau problema da’wah dengan benar, dapat mengelola kerja-kerja da’wah ini dengan produktifitas yang tinggi.
2. Kredibilitas keilmuan menuntut adanya kredibilitas dan integritas personal. Kredibilitas dan integritas personal inilah yang akan menghadirkan keikhlasan dalam berbicara dan bertindak, dalam mengkritik dan menilai, mendorong kita menjadi orang yang adil dan objektif meskipun terhadap diri sendiri, memacu kita untuk dapat memberikan kontribusi riil yang sebesar-besarnya demi perbaikan dan pengembangan da’wah ini dan bukan sekedar berbicara, menilai dan mengkritik. Kalaulah harus menilai dan mengkritik, kita tahu kapan, dimana dan bagaimana cara mengkritik yang benar. Apalagi bila yang dikritik itu adalah sebuah kebijakan yang dihasilkan melalui syura’. Bagaimana hasil syura’ itu lebih baik dan lebih berkah dari pada pendapat dan pikiran pribadi.
3. kredibilitas keilmuan menuntut kita senantiasa memiliki pandangan positif terhadap perbedaan dan keragaman (sunnatu tanawwu’), apapun perbedaan dan keragaman tersebut. Dengan adanya sunnatu tanawwu’ kehidupan ini akan semakin dinamis. Kekurangan yang terjadi pada saudara kita berarti peluang ibadah. Allah memberi peluang kita untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kekritisan saudara kita akan menjadikan kehidupan ini menjadi seimbang. Hanya saja kekritisan tersebut tidak boleh menjadi faktor yang mempengaruhi soliditas kehidupan berjamaah ini, atau bahkan menjadi pintu masuknya pihak-pihak yang ingin memporak-porandakan shaf kita. Wallah a’lam..

Ushul al-‘Isyrin

Manhaj Islah Kontemporer

Setelah Kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924 M muncullah banyak gerakan penyadaran untuk kemabali memperbaiki keadaan ummat. Namun sayang gencarnya semangat penyadaran itu dibarengi juga oleh berbagai konflik dan kekisruhan pemikiran.

Kondisi berbagai jama’ah Islam di Mesir (dan dunia Islam pada umumnya) menampakkan gejala p”pasialisasi Islam” dalam gerakan da’wah mereka. Masing-masing hanya memperhatikan satu aspek tertentu saja dari risalah Islam, menitikberatkan kepada yang satu dengan meninggalkan yang lainnya.
Ada yang hanya memperhatikan aspek aqidah saja, atau aspek ibadah saja, atau aspek cultural saja, dalam ajaran Islam. Ada pula tarekat-tarekat sufi yang hidup di sudut-sudut sempit dari lingkup Islam yang besar, yang hanya mementingkan aspek rohani yang bersifat ritual dan menyendiri atau aspek sosial yang sempit dalam batas-batas tareqat. Dan ada pula jama’ah-jama’ah politik atau partai politik yang umumnya berorientasi “Nasionalisme-Sekulerisme” yang para pemimpinnya terdiri atas orang-orang berlatar belakang pendidikan Barat yang sekuler. Di antara jama’ah-jama’ah tersebut ada yang menganggap jelekorang-orang yang sibuk memperhatikan dan menekankan aspek-aspek lainnya.
Dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi yang melanda gerakan-gerakan Ishlah (reformasi) inilah Imam Hasan al-Banna berhasil mengidentifikasi persoalan yang dihadapi ummat ini dengan sangat jelas. Didasari oleh realitas inilah maka Syahid Imam Hasan al-Banna memformulasikan kerangka berfikir untuk menyatukan semua gerakan penyadaran ummat ini untuk kerja bahu membahu.
Di antara berbagai kekeliruan dan penyimpangan baik dalam pemikiran maupun dalam tindakan ummat Islam ditangkap dan dipetakan dengan amat cerdas oleh beliau, khusunya di Mesir ketika itu adalah sebagai berikut:
1. Pemisahan urusan politik, kekuasaan, agama dan Negara.
2. Pengertian akhlaq yang sesunggunya dipisahkan dengan keperluan menggunakan kekuatan dalam mengukuhkan kedudukan Islam di muka bumi. Pemahaman ini menekankan seolah-olah kekuatan dalam pengertiannya yang luas bertentngan dengan nilai akhlaq yang mulia.
3. Kegagalan dalam mengkorelasikan keunggulan ilmu-ilmu Islam dan peranannya sebagai dasar hukum dan perundang-undangan bagi penegakan hukum dan penyelesaian perselisihan di antara manusia.
4. Kekeliruan anatara memuliakan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai symbol-simbol yang bersifat bathiniyah dan tidak dapat difahami dengan menjadikan keduanya sebagai sumber pegangan hidup dan asas atas segala ilmu dan amal.
5. Pengamalan perkara-perkara yang dapat mengandung unsur syirik seperti tangkal, jampi dan sebagainya dengan mengatasnamakan ajaran agama.
6. Tidak dapat membedakan antara bolehnya berpegang kepada pendapat imam-imam madzhab dengan tuntutan berpegang kepada hujjah-hujjah yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
7. Tidak dapat melakukan pemisahan antara perkara-perkara ta’abbud denga perkara-perkara yang bersifat adapt.
8. Tidak dapat membedakan mana perkara yang ushul dan mana perkara yang cabang dalam Islam, sehingga persolan furu’ dalam masalah fiqh menjadi sebab perselisihan dan perpecahan.
9. Gagal dalam mengidentifikasi masalah ummat Islam sehingga terjebak menghabiskan banyak waktu dan tenaga dalam perdebatan hokum-hukum yang tidak berlaku.
10. Gagal dalam membedakan antara mentauhidkan Allah dengan terbawa-bawa dalam perselisihan ulama terkait penafsiran dan penta’wilan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah.
11. Gagal dalam membedakan antara amalan-amalan biasa yang telah meluas dalam masyarakat dengan pengertian bid’ah menurut Islam.
12. Tidak dapat membedakan antara bolehnya mengasihi dan mencintai para shalihin dengan mengkultuskan mereka dan tidak dapat membedakan antara asas-asas iman dengan natijah-natijah iman yang shahih.
13. Mencampur adukan amalan-amalan sunnat dengan amalan-amalan yang dapat membawa kepada syirik seperti meminta-minta kepada orang mati, menyeru orang mati dan lain-lain ketika menziarahi kubur,sedangkan menziarahi kubur itu sendiri adalah sunnat.
14. Tidak dapat membedakan bertawassul sebagai kaifiat do’a dengan bertawassul sebagai unsur utama dalam berdo’a.
15. Tidak dapat membedakan antara ‘uruf-‘uruf yang diterima oleh syara’ dengan ‘uruf-‘uruf yang bertentangan dengan syara’.
16. Tidak dapat meletakan keseimbangan antara amal-amal lahir dengan amal-amal bathin.
17. Gagal dalam mendudukan akal sehingga terdapat satu pihak yang enggan menggunakan akal karena takut menyalahi nash, sedangkan terdapat pula satu pihak yang menggunakan akal secara bebas sehingga meminggirkan nash.
18. Terbawa-bawa dalam mengkafirkan kaum muslimin karena kesalahan dan dosa-dosanya.
Hasan al-Banna brhasil mendamaikan konflik di antara berbagai aliran pemikiran yang ada saat itu. Dalam persimpangan inilah Hasan al-Banna menggariskan jalan pertengahan yang sahihi dan tepat bagi bagi mengembalikan ummat Islam untuk memahami risalah Islam yang asli. Hasan al-Banna menggariskan dua puluh prinsip berkaitan dengan permasalahan ini yang dinamakan dengan Ushul ‘Isyrin. Secara ringkas, Ushul ‘Isyrin menggariskan perkara-perkara berikut:
1. Islam adalah ad-Dien yang syamil
2. Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber utama kehidupan
3. Iman adalah asas utama sedangkan natijah-natijah iman seperti kasyaf, mimpi, ilham dan sebagainya tidak menjadi matlamat ibadah dan tidak boleh menjadi hujjah
4. Jampi-jampi yang berdasarkan nash-nash saja yang diterima sedangkan selain itu batal dan ditolak
5. Pendapat imam dapat diterima seandainya tidak berlawanan dengan kaidah-kaidah syari’at Islam
6. Perkataan siapa saja dapat diterima atau ditolak kecuali perkataan rasulullah saw.
7. Muslim yang belum mencapai peringkat ilmu yang tinggi dapat mengikuti pendapat salah satu imam madzhab, tetapi harus berusaha untuk terus meningkatkan ilmunya
8. Perselisihan dalam perkara-perkara furu’ tidak boleh menjadi sebab terjadinya perpecahan
9. Membicarakan perkara-perkara yang tidak waqi’i adalah memberat-beratkan dan mesti ditinggalkan
10. Sifat-sifat Allah adalah bersih dari ta’wil-ta’wil yang salah
11. Bidh’ah yang jelas bertentangan dengan nash adalah dhalalah
12. Bidh’ah dalam ibadah mutlak adalah termasuk masalah khilafiayyah
13. Mengasihi para shalihin adalah untuk tujuan taqarrub kepada Allah
14. Amalan ziarah kubur hendaklah dilakukan berpedoman kepada sunnah
15. Tawassul adalah masalah khilafiyyah dalam kaifiat berdo’a
16. ‘Uruf yang salah tidak mengubah hakikat lafadz syari’ah
17. Aqidah adalah asas kepada amal, amal hati lebih penting daripada amal zahir, tetapi mencapai kesempurnaan dalam kedua-duanya adalah tuntutan syara’
18. Islam menempatkan akal di satu tempat yang mulia
19. Dalam perkara yang qath’i, syariat dan akal tidak bertentangan
20. Tidak boleh mengkafirkan orang yang mengucapkan syahadatain karena maksiat yang dilakukannya.
Pemikir Islam dari Syiria Said Hawwa menyatakan bahwa: “Kedua puluh dasar yang disebutkan okeh Hasan al-Banna ini merupakan hasil dari pandangan yang tafshili (teliti) terhadap kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya saw. Ia juga sebagai hasil dari penelitian yang luas terhadap kitab-kita ushul fiqh dan aqidah. Ia juga sebagai hasil dari pemahaman yang mendalam terhadap realitas ummat Islam dan juga pengetahuan yang tinggi dalam membedakan mana yang baik dan yang buruk di antara perkara-perkara yang telah diwariskan oleh ummat Islam.”
Namun cara penyajian ushul-ushul tersebut dan kedudukan utama ke-20 prinsip tersebut sebagai asas pemikiran tajdid al-Banna adalah sesuatu yang penting. Ini karena Ushul ‘Isyrin bukan hanya sebagai panduan-panduan yang bersifat ilmu, tetapi Ushul ‘Isyrin adalah satu ijtihad dalam menentukan suatu pendekatan untuk mengemukakan Islam sebagai satu dasar hidup yang syumul. Manhaj seperti nii sangat penting bagi masyarakat Islam yang berhadapan dengan serangan pembaratan. Manhaj yang mendamaikan banyak kekeliruan ini sedemikian penting dalam membersihkan keserabutan pemikiran di kalangan masyarakat Islam di masa itu.
Apa yang terdapat dalam Ushul ‘Isyrin mungkin merupakan persoalan badihiyyat (aksiomati) pada hari ini. Tetapi pada saat pertama kali hal ini dikemukakan keadaannya tidak seperti itu. Perkara-perkara yang terkandung dalam Ushul ‘Isyrin menjadi badihiyyat pada saat ini setelah asy-Syahid Hasan al-Banna menegaskan dan menekankannya kepada para anggota ikhwan di dalam jama’ahnya. Kemudia, mereka inilah melalui amal, ceramah-ceramah, kuliah-kuliah dan khususnya penulisan-penulisan, telah mempopulerkan manhaj tersebut kepada ummat Islam ke seluruh dunia pada abad kedua puluh ini.
Dengan demikian nyatalah bahwa Ushul ‘Isyrin sebagai “Manhaj Ishlah” juga dapat dianggap sebagai satu ijtihad karena kedudukannya yang istimewa sebagai asa pertama dalam pembinaan para tentar da’wah yang multazim. Melalui asas al-Fahmu sebagai arkanul asyarah yang pertama, maka gerakan tajdid dalam memahami Islam dilakukan dalam abad ini melalui Ushul ‘Isyrin.
Hasan al-Banna memperbaharui pendekatan terhadap metode bagaimana ummat Islam memahami Islam yang asli. Hal ini membuat “melek” ummat Islam yang berpuluh-puluh tahun berada di bawah dominasi penjajahan barat.
Risalah ini termasuk risalah yang terpenting yang ditulis oleh asy-Syahid. Bahkan Ustadz Abdul halim Mahmud menganggapnya sebagai puncak dan intisari dari semua risalah yang beliau tulis.
Risalah ini berisi strategi jamaah Ikhwan dalam tarbiyah dan pembentukan kader. Juga berisi tentang tujuan-tujuan da’wah dan perangkat untuk mencapai tujuan tersebut. Asy-Syahid menulis risalah ini untuk anggota Ikhwan yang tulus, para mujahid atau yang disebut dengan kader inti Ikhwan. Dimana gaya bahasa yang dipakai adalah gaya bahasa instruksi untuk beramal, bukan sekedar pembicaraan.
Teori reformasi yang diusulkan asy-Syahid Hasan al-Banna adalah sebuah sintesa atas berbagai visi dan orientasi sebagai “modus bersama” yang menghimpun berbagai kecenderungannya, menyatukan persepsi fundamental mereka mengenai persoalan-persoalan global dan masalah-masalah besar, meski dalam masalah-masalah furu’ yang kecil mereka tetap memiliki perbedaan, dan agar Ushul ‘Isyrin dapat menjadi poros tempat bertemunya berbagai gerakan ishlah.
“Sesungguhnya terapi bagi keterpurukan, perpecahan kata, kehancuran dan kemunduran peradaban ummat Islam tidak bisa dilakukan dengan terapi tunggal, ia harus dengan terapi komprehensif. Begitu juga manhaj reformasi untuk membebaskan ummat Islam dari keterpurukannya haruslah komprehensif tanpa memprioritaskan manhaj salah satu reformis, tetapi harus mencakup seluruh unsru reformasi. Dengan itulah semua kondisi ummat Islam akan membaik, “begitulah yang ditulis asy-Syahid Hasan al-Banna menjelaskan gagasan reformasinya.

Editorial Risalah Tarbawiyah

Politik adalah bagian dari kehidupan manusia. Sehingga berlaku ketentuan Allah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam.: (QS 6:162)
Spirit beribadah inilah yang telah menuntun gerakan da’wah dan aktifisnya untuk membumikan Islam dalam realitas sosial, hukum, budaya, politik dan birokrasi.
Reformasi Politik di negeri ni memberikan angina segar bagi gerakan da’wah untuk berkiprah lebih luas dan memberikan sumbangsihnya bagi tatanan masyarakat, negara dan bangsa. Masalah tidak harmonisnya hubungan antara Islam, politik dan Negara, beserta akibat-akibatnya yang dirasakan oleh gerakan da’wah dan para aktifisnya selama ini, perlahan-lahan dapat diatasi dengan pelibatan secara langsung dalam urusan utama proses-proses politik dan birokrasi Negara.
Alasan yang mendasari asumsi ini adalah bahwa; pertama, pendekatan ini tidak menempatkan Islam dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan Negara, bahkan mengharuskan adanya peninjauan kembali terhadap cita-cita politik Islam sebelumnya.
Harus diyakini bahwa yang harus diperjuangkan adalah berlangsungnya tatanan sosial-politik Negara, sehingga ummat Islam dapat menjalankan ajaran-ajaran agama mereka dengan bebas. Sejalan dengan itu perjuangan Islam dalam perpolitikan Indonesia kontemporer tidak lagi menekankan corak ideologinya yang formal.
Kedua, berkaca pada sejarah, gerakan da’wah tidak pernah memainkan peranan penting dalam lembaga-lembaga Negara dan kantor-kantor birokrasi. Fenomena ini dapat menjelaskan bukan saja posisi pinggiran para aktifis Islam di lembaga-lembaga Negara dan kantor-kantor birokrasi, melainkan juga sikap dan langkah yang relative mengambil jarak dari Negara, padahal secara sosiologis sebenarnya ada keharusan intrinsic dari gerakan da’wah ini untuk memainkan kebijaksanaan di Indonesia.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka gerakan da’wah dapat memberikan angina segar bagi pembaruan politik dan partisipasi birokratis akan dapat mengatasi hubungan yang tidak harmonis antara Islam dan Negara.

Da’wah, Amal Tarbawi dan Amal Siyasi

Dalam Islam apa yang disebut amal siyasi (aktivitas politik) merupakan bagian integral dari amal Islami. Sedangkan aktivitas politik yang dilakukan seorang muslim hendaknya selalu melekat (inheren) dengan aktivitas keislamannya. Kenyataan ini semakin memperjelas pentingnya amal siyasi bagi setiap Muslim dan setiap pergerakan Islam.
Sehubungan dengan ini, Hasan al-Banna menegaskan, Ikhwan tidak pernah melewatkan satu hari pun dari aktivitas politik. “Kita adalah para politikus, dengan pengertian bahwa kita memperjuangkan urusan bangsa kita.” Pada bagian lain beliau menyatakan: “Seorang Muslim tidak akan sempurna keislamannya kecuali apabila menjadi seorang politikus yang memiliki wawasan luas dalam memikirkan urusan bangsanya, menaruh perhatian besar kepada kepentingan mereka dan mempunyai rasa kepekaan terhadap kehormatan mereka.”
Kendati demikian, Hasan al-Banna mengingatkan. Ikhwan harus tetap konsern pada kesatuan dan dinamika ummat. Karena itu ia harus tetap menempatkan posisinya sebagai ruh baru yang mengalir di tubuh ummat.
Lebih jauh Asy-Syahid mengatakan, “Politik adalah hal memikirkan tentang persoalan-persoalan internal maupun eksternal ummat.”
Internal politik adalah “mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritik jika mereka melakukan kekeliruan.”
Sedangkan yang dimaksud dengan eksternal politik adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkannya mencapai tujuan yang akanmenempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya.” Baik internal maupun eksternal politik, sama-sama mencakup ajakan kepada kebaikan, seruan berbuat ma’ruf dan pencegahan dari kezaliman, yang selama ini menjadi wilayah kerja da’wah.
Menurut Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Adabu al-Dunya wa al-Dien tercapainya cita-cita sosial politikmanusia sangat tergantung sejauh mana ia mampu mewujudkan dua syarat. Syarat yang pertama ialah yang berkaitan dengan sistem yang mengatur urusan publik, yaitu terwujudnya suatu tatanan politik yang baik. Syarat kedua ialah yang berkaitan dengan sesuatu yang dapat mewujudkan keshalihan setiap warga, yakni menyangkut masalah nilai-nilai moral yang dapat membentuk individu-individu shalih.
Perspektif al-Mawardi di atas menunjukan bahwa persoalan politik (amal siyasi) sama pentingnya dengan dengan persoalan pembinaan pribadi (amal tarbawi) dalam upaya manusia mencapai cita-cita politiknya, yaitu kesejahteraan hidup lahir dan batin. Tentang urgensi politik ini terlihat pula pada ungkapan hukama, seperti dikutip al-Mawardi, “adab (rule) itu ada dua macam: adab syari’ah dan adab siyasah. Adab syari’ah adalah segala aturan yang berkaitan dengan penerapan kewajiban.
Sedangkan adab siyasah ialah aturan-aturan yang berkaitan dengan pemakmuran bumi. Keduanya harus bermuara pada keadilan.” Sedangkan menurut al-Mawardi, “keselamatan penguasa (sulthan) dan kemakmuran negeri tergantung sejauh mana berjalannya keadilan ini.
Semoga dengan uraian di atas dapat menghilangkan keterbelahan pemahaman bahwa da’wah dengan politik atau amal siyasi dengan amal tarbawi adalah sesuatu yang kontra, dan tidak dapat disatukan dalam satu aktivitas. Semoga pula dapat “menggoda” kita untuk menanam saham kebaikan dalam rangka membangun peradaban dunia, yang sesuai kehendak Allah, melalui aktivitas da’wah dan politik. Akan tetapi dari mana kita memulai?
Pertama, membangun kembali pemahaman keagamaan kita, bahwaagama Islam itu agama yang syamil, mencakup seluruh aspek kehidupan; bahwa agam Islam itu asasnya aqidah, batangnya amal ibadah dan buahnya adalah akhlak; bahwa agama Islam itu diamalkan di dunia dan pahalanya diperoleh di akhirat; bahwa agama Islam itu diturunkan Allah untuk semua manusia, dan seterusnya. Pemahaman ini harus dibangun melalui proses belajar mengajar. Islam mengajarkan bahwa belajar dilakukan denga dua hal: Satu, dengan membaca fenomena-fenomena alam dan literatur-literatur; dan dua, dengan belajar melalui guru. Kedua metode tersebut harus dilakukan oleh setiap muslim, tidak boleh hanya salah satunya. Sebab dengan membaca saja seseorang dapat tersesat, atau denga melalui guru saja, seseorang memiliki wawasan yang sempit. Karena dengan demikian, kita sebagai kader da’wah dapat mengamalkan Islam penuh tanggung jawab, tidak berdasarkan hawa nafsu.
Kedua, membangun kembali kebersamaan kita, bahwa kita itu bersaudara, tidak dipisahkan oleh bnatasan darah, suku dan bangsa, apalagi hanya dibatasi oleh perbedaan organisasi keagamaan atau perbedaan madzhab; bahwa kita itu pelu kerjasama dan berjamaah, karena memang setiap amalan dalam Islam sangat dianjurkan dilakukan dalam berjamaah; bahwa kita tidak dapat merealisasikan sebagian besar ajaran agama Islam kecuali dengan bersama-sama. Kebersamaan dapat dibangun dengan kemampuan kita melepaskan egoisme individu masing-masing kita, sehingga kita dapat menerima dan memberi nasehat orang lain, serta mampu bersabar atas kekurangan dan perbedaan dalam kebersamaan. Sehingga kebersamaan ini membuat da’wah menjadi kuat dan dapat segera mencapai cita-citanya.
Ketiga, mengenal kembali potensi dan kelebihan diri kita; bahwa masing-masing kita memiliki kelebihan yang berbeda dengan orang lain; bahwa kelebihan kita dapat menjadi keunggulan yang dapat menutupi kekurangna orang lain; bahwa keunggulan kit adapt menghapus kelemahan kita. Yang penting, dengan keunggulan itu dapat kita jadikan sebagai sarana yang memanjangkan umur pahala kita. Sehingga kita menumbuhkannya secara terus dan menjadi kader da’wah melalui keunggulan tersebut.
Keempat, memahami kembali realitas kehidupan kita; bahwa kita hidup pada hari ni, bukan hari kemarin sangat mungkin kulturnya jauh berbeda dengan hari ini; bahwa kehidupan itu penuh denga dinamika, sehingga kita kader da’wah dituntut memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan ajaran Islam, dalam bentuk saran, metode dan cara sesuai zaman, tanpa harus keluar dari frame dasar agam ini.
Akhirnya, telah menjadi harapan kami, semoga kita dapat menjadi kader da’wah yang mempelopori pelaksanaan ajaran Islam, secara bersama-sama, berangkat dari keunggulan kita masing-masing, dalam nuansa memperhatikan keadaan, perubahan dan dinamika zaman, yang pada gilirannya Islam tidak hanya tertulis dalam Al-Qur’am tergambar dalan Sunnah dan tertarjamah dalam buku-buku, tapi menjadi kenyataan di muka bumi. Atau tidak hanya menjadi gambar dan maket, tapi dapat menjadi bangunan yang kokoh, yang semua orang dan makhluk dapat bernaung dan tinggal dengan damai dalam bangunan tersebut.

02 Juli 2009

MERANCANG HARI ESOK

Masa depan adalah suatu kepastian bagi setiap orang. Hari esok adalah masa depan bahkan satu detik yang akan datang adalah masa depan. Masa depan dibangun dari penggalan-penggalan aktivitas. Kumpulan-kumpulan aktivtas dari yang terkecil hingga yang besar menjadi komponen yang sangat penting dalam membentuk masa depan. Masa depan yang baik akan terbangun apabila komponen-komponen pembentuknya juga baik, baik niat dan baik pula prosesnya walaupun harus menempuh kepayahan atau kesusahan. Sebaliknya apabila niat dan prosesnya salah masih ada peluang untuk memperbaikinya. Itulah arifnya kehidupan.
Masa depan. Kata-kata yang senantiasa menjadi pemikiran kita. Orang-orang besar akan memikirkan masa depan yang kecil pula. Tetapi orang-orang kecil dan berfikiran kerdil juga akan berfikiran kecil terhadap masa depannya. Rasulullah saw. pun memberikan tuntunan tentang bagaimana merancang masa depan,
”Apabila engkau berharap surga maka mintalah kepada Allah syrga yang tertinggi yaitu surga Firdaus.”
Begitu tingginya cita-cita. Surga Firdaus adalah surganya para nabi dan rasul. Tetapi dalam kehidupan ini sangat banyak orang yang terlalu kecil menargetkan masa depannya. “Cukup deterima menjadi PNS saja sudah cukup” atau “aku mau bekerja dan dapat uang itu sudah cukup.” Itu dalam konteks kehidupan di dunia.
Merancang masa depan seharusnya tidak boleh terlepas dari konteks ”syukur”. Syukur bukan berarti qanaah. Bedakan antara bersyukur dengan merasa cukup. Allah swt. berfirman:
“dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, apabila engaku bersyukur (terhadap nikmat-Ku) maka akan Kutambah tapi apabila engkau kufur maka azabku sangat pedih. (Q.S. Ibrahim: 7)
Ayat di atas adalah tuntunan bagaiman seharusnya seseorang bersyukur. Tujuan syukur adalah mengharap lebih dari Allah. Itu berarti, menuntut kita untuk lebih dekat kepada Allah dan terus berupaya meningkatkan kinerja. Bukannya stagnan tapi lebih dinamis dan produktif. Setidaknya itulah yang dituliskan oleh Salim A. Fillah dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang.
Dalam kaitannya merancang masa depan adalah bahwa rasa syukur akan menjadi faktor pendorong tercapainya targeta-targetan masa depan kita. Mulai dari hal-hal kecil kemudian bersyukur dengan berharap lebih dari Allah yaitu penambahan nikmat. Meningkatkan produktifitas diri dan terus berbuat kebaikan. Kemudian bersyukur kembali. Itulah siklusnya. Pada akhirnya targetan tertinggi masa depan akan menemukan capaiannya.
Namun harus diingat pula, Allah tentu memberikan ujian-ujian sebagai bentuk cinta-Nya kepada hamba-Nya yang bertaqwa. Tujuannya adalah untuk menaikan hamba-Nya kepada tingkatan lain dalam strata ketaqwaan. Sebab Allah beriman: sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa.”
Jadi, mulailah merancang masa depan Anda sejak dari sekarang. dari sebuah cita-cita besar. Diawali dari langkah kecil dan terus menerus. Insya Allah akan sampai kepada targetan-targetannya.
Wallaahu a’lamu bi shawwab.

Kasus Korupsi di UNSRI, Tamparan Keras Bagi Kami

Satu lagi sebuah tamparan keras bagi Civitas Akademika Universitas Sriwijaya. Lusa (25/6) Kejaksanaan Tinggi Sumatera Selatan telah menetapkan status Dekan Fakultas Pertanian UNSRI, Prof. Dr. Imron Zuhri sebagai tersangka kasus korupsi penyelewengan dana pengadaan kebun percontohan di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim. Kasus ini memang telah lama mengusik mahasiswa, hanya saja sebelumnya kasus ini seperti ditutup-tutupi oleh rektorat bahkan hingga kini pihak rektorat masih terus berdalih.

Terkuaknya kasus ini menjadi sebuah bukti kebusukan di dalam tubuh kampus terbesar dan ikon pendidikan di Sumatera Selatan ini. Di tengah gencar-gencarnya UNSRI untuk menjadi World Class University dan Badan Hukum Pendidikan ternyata terjadi kasus yang memalukan ini dan tentunya mencoreng wajah dunia pendidikan Indonesia secara umum. Bagaimana nanti ketika sudah menjadi BHP...?? Tentu peluang penyelewengan akan lebih besar lagi sebab pengelolaan kampus secara mandiri memberi cela untuk itu.

UNSRI saat ini terbagi dalam dua kelompok besar. Mahasiswa di satu pihak yang menginginkan penuntasan kasus ini bahkan meminta audit seluruh keuangan di UNSRI baik dekanat maupun rektorat. Pada sisi yang lain pihak rektorat berusaha menutup-nutupi masalah ini dengan alasan menjaga nama baik UNSRI. Setidaknya itulah hasil konfirmasi BEM UNSRI pada pertemuan dengan Rektor UNSRI kemarin (Jumat, 26/6). Tapi memang sewajarnya sudah mahasiswa menuntut demikian karena landasan berfikirnya adalah kebenaran. Sudah terlalu banyak kasus di UNSRI, FK terkait dana pendidikan yang cukup besar tapi ternyata tidak disetor ke negara, FH terkait penyelewengan dana pengadaan mobil dinas, kedua kasus ini tinggal menunggu dinaikannya status. Ada yg masih tahap penyelidikan dan penyidikan.

Dari beberapa kasus di atas tidak menutup kemungkinan sederet nama terkait. Atau juga Fakultas lain yang kebusukannya lebih besar akan terbongkar. Ingat wahai birokrat bermasalah, sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga...

Secara tegas BEM UNSRI menyatakan beberapa pernyataannya. Setidaknya ada Tiga Tuntutan Mahasiswa (Trituma) yang telah di sounding ke media massa dan via opini, yaitu:
Pertama, segera non aktifkan Dekan Fakultas Pertanian UNSRI saat ini sebab mahasiswa tidak ingin ada pimpinan UNSRI yang berstatus tersangka masih duduk pada jabatan strategis,
Kedua, usut tuntas seluruh kasus korupsi yang ada di UNSRI dan audit keuangan seluruh dekanat bahkan rektortat UNSRI,
Ketiga, segera lakukan reformasi birokrasi dalam tubuh UNSRI dalam hal komitmen, kejujuran, dan pelayanan.

Bagi mahasiswa UNSRI, apakah kita akan tetap diam setelah nyata kebusukan di depan mata kita...??

Seruan Aksi: Senin, 29 Juni 2009 di Rektorat UNSRI pukul 10.00 WIB. Isu: selesaikan kasus korupsi di UNSRI dengan tiga tuntutan di atas.

Hidup Mahasiswa...!!