27 Januari 2009

We Will not Go Down (Song for Gaza)



(Composed by Michael Heart)
Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

terjemahan:

Cahaya putih yang membutakan mata
Menyala terang di langit Gaza malam ini
Orang-orang berlarian untuk berlindung
Tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati

Mereka datang dengan tank dan pesawat
Dengan berkobaran api yang merusak
Dan tak ada yang tersisa
Hanya suara yang terdengar di tengah asap tebal

Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini

Wanita dan anak-anak
Dibunuh dan dibantai tiap malam
Sementara para pemimpin nun jauh di sana
Berdebat tentang siapa yg salah & benar

Tapi kata-kata mereka sedang dalam kesakitan
Dan bom-bom pun berjatuhan seperti hujam asam
Tapi melalui tetes air mata dan darah serta rasa sakit
Anda masih bisa mendengar suara itu di tengah asap tebal

Kami tidak akan menyerah
Di malam hari, tanpa perlawanan
Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini

Trend Gerakan Mahasiswa Masa Lalu, Masa Kini dan Prediksi yang Akan Datang


Mahasiswa adalah elemen yang tak akan pernah terpisahkan dari perjalan peradaban sebuah bangsa. Sejarah di dunia ini, baik di Barat maupun di Timur, telah menjadi bukti idealisme, kepeloporan, pemikiran kritis, konsistensi semangat perubahan, dan pergerakannya yang melekat pada sosok mahasiswa telah banyak banyak mewarnai peradaban negeri di berbagai belahan dunia.
Tidak terkecuali Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia atas kolonialisme yang telah berlangsung hampir 3,5 abad lamanya, merupakan buah dari kerja keras para tokoh muda yang lahir dari komunitas kampus. Bung Karno, Bung Hatta, HOS Cokroaminoto, dll. adalah motor penggerak rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya.
Gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Dalam perjalanannya dari masa ke masa, bangsa ini telah mengenal beberapa dekade perjuangan mahasiswa.
Lalu bagaimakan trend gerakan mahasiswa tersebut…??
Secara garis besar terdapat lima periode yang penting yang dapat dijadikan patokan seperti apakah trend gerakan mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1966
Dikenal dengan istilah angkatan ’66, merupakan aksi pergerakan mahasiswa maengangkat isu bahaya laten komunis sebagai bahaya laten negara yang harus segera dimusnahkan dari bumi Indonesia. Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, dan Yusuf Wanandi adalah diantara aktivis mahasiswa yang bergerak lantang menentang komunisme. Dimana pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagai pengusung paham komunisme, telah cukup hebat merasuki sektor-sektor pemerintahan.
Dukungan masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa yang terbangun dibeberapa wilayah nusantara memaksa Presiden Sukarno untuk berpihak pada rakyat. Slogan NASAKOM yang dipaksakan Sukarno akhirnya runtuh dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Peristiwa ini menandai berakhirnya kepemimpinan Orde Lama (ORLA) dan memasuki era Orde Baru (ORBA) dibawah kepemimpinan Suharto.
Mahasiswa, rakyat dan militer saling bergandengan tangan dalam gerakan ini. Satu isu yang diusung cukup membuat pemerintahan Soekarno goyang. ”Bubarkan PKI,” merupakan isu sentral yang akhirnya menelurkan isu-isu yang lain sehingga lahirlah ”Tritura.” Dapatlah dikatakan bahwa trend gerakan pada masa itu merupakan gerakan yang bercirikan pada kepedulian sosial dan juga merupakan gerakan refresif mahasiswa karena melihat kondisi masyarakat yang begitu memprihatinkan dan juga gerakan ini didukung oleh kekuatan militer dibelakangnya.
Akan tetapi, saat itu beberapa aktivis ‘66 memilih menanggalkan baju idealismenya untuk mengecap kenikmatan menjadi anggota parlemen, berduyun-duyun masuk Golkar, sebuah entitas yang kemudian dikecam. Orang yang paling keras memprotes perilaku memalukan ini adalah Soe Hok Gie, aktivis ‘66 sekaligus intelektual merdeka yang mati muda. Gie marah dan kecewa menyaksikan teman-temannya sesama demonstran melebur dalam kekuasaan; tidak sabar menjadi penunggu gerbang idealisme yang selama ini digemborkan lewat aksi-aksi demonstrasinya. Gie menuduh mereka pengkhianat karena telah melacurkan diri untuk meneguhkan legitimasi rezim Orba.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1970-an
Dalam perkembangannya, pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Suharto banyak mendapatkan penentangan dari gerakan mahasiswa. Gerakan anti korupsi muncul di tahun 1970 yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komite Anti Korupsi, yang diketuai oleh Wilopo. Tahun 1972 merebak Aksi Golput menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru, karena Golkar dinilai telah berlaku curang. Gerakan melawan kebijakan penggusuran pemukiman rakyat kecil akibat pembangunan Taman Mini Indonesia Indah muncul di tahun 1972.
Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa menolak produk Jepang dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Dilatarbelakangi oleh Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya saat kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka yang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974), demonstrasi disertai dengan kerusuhan. Aktivis mahasiswa yang mencuat namanya pada masa ini diantaranya Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman Hakim.
Gerakan mahasiswa Indonesia 1978. Gerakan yang mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional pada 1977-1978 yang mengakibatkan untuk pertama kalinya kampus-kampus perguruan tinggi Indonesia diserbu dan diduduki oleh militer. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Salah satu ciri dari pemerintahan Orde Baru adalah kuatnya pengaruh militer yang mendukung pemerintahan. Maka dari itu, gerakan mahasiswa mau tidak mau harus berhadapan dengan tindakan refresif militer dalam hal ini ABRI. Berbagai aksi mahasiswa pastilah mendapatkan tekanan yang begitu besar.
Trend gerakan pada masa itu adalah sebuah gerakan bercirikan poloitik. Hal ini dapat dilihat dari penentangan terhadap kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Selain itu, kritik mahasiswa terhadap strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Secara sekilas strategi pembanguanan Orde Baru menguntungkan rakyat. Akan tetapi korban dan kerugian yang didertia oleh rakyat justeru lebih besar dari keuntungan dan manfaatnya. Misal, pembangunan sebuah sarana baik milik pemerintah, umum, ataupun perorangan dari anggota keluarga pejabat tanahnya berasal dari tanah rakyat yang dibebaskan secara paksa. Pembebasan tanah secara paksa ini tidak juga mendapatkan ganti rugi.
Rakyat tidak mampu berbuat apa-apa sebab eksekusi dilaksanakan oleh militer. Militer ketika itu seperti momok yang menakutkan bagi masyarakat. Dikenal istilah ”ABRI Masuk Desa.”

Gerakan Mahasiswa Tahun 1980-an
Pasca diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Gerakan pada era ini lebih terfokus pada perguruan tinggi dengan ciri ilmiahnya yang kental akibat pemberlakuan NKK/BKK. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1990 an
Isu yang diangkat pada Gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus /Badan Kordinasi Kampus) yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis.
Organisasi kemahasiswaan seperti ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat yang notabane-nya perpanjangan pemerintah (penguasa) lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa yang kritis dan bersuara lantang terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Di kampus intel-intel berkeliaran, pergerakan mahasiswa dimata-matai. Dan banyak intel berkedok mahasiswa. Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun termakan dengan opini ini karena OTB ini identik dengan gerakan komunis.
Pemberlakuan NKK/BKK maupun opini OTB ataupun cara-cara lain yang dihadapkan menurut versi penguasa ORBA, tidak membuat mahasiswa putus asa, karena disetiap event nasional dijadikan untuk menyampaikan penolakan dan pencabutan SK tentang pemberlakukan NKK/BKK.
Gerakan mahasiswa dekade 90-an mencapai klimaksnya pada tahun 1998, di diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997. harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa dengan agenda REFORMASI nya mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat untuk mengubah kondisi yang ada, dimana rakyat sudah jenuh dengan pemerintahan yang bercokol selama 32 tahun, alih-alih mensejahterakan rakyatnya, Suharto justru semakin memperkaya keluarga dan kroni-kroninya, yang dikenal dengan sebutan jalur ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar).

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa tahun sembilan puluhan yang ditandai tumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, pada tanggal 21 Mei 1998. Berbagai kesatuan aksi diberbagai daerah muncul untuk menentang rezim Suharto. Di Aceh terbentuk SMUR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat). Di Medan muncul DEMUD dan Agresu (Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara).
Di Bandung lahir FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung), FIM B (Front Indonesia Muda Bandung), FAMU (Front Aksi Mahasiswa Unisba), GMIP (Gerakan Mahasiswa Indonesia Untuk Perubahan), KPMB (Komite Pergerakan Mahasiswa Bandung), FAF (Front Anti Fasis), KM ITB (Keluarga Mahasiswa ITB), dan KM Unpar (Komite Mahasiswa Unpar).
Di Jakarta lahir KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta), Forkot (Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek), Famred (Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi), Front Nasional, Front Jakarta, KamTri (Kesatuan Aksi Mahasiswa Trisakti), HMI MPO, KB UI (Keluarga Besar Mahasiswa UI), FAM UI, Komrad (Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi), Gempur (Gerakan Mahasiswa untuk Perubahan), Forbes, Jarkot, LS-ADI (Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia), dan HMR (Himpunan Mahasiswa Revolusioner).
KBM-IPB (Keluarga Besar Mahasiswa - Institut Pertanian Bogor) muncul di Bogor. Di Yogyakarta ada SMKR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Kedaulatan Rakyat), KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan), FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta), PPPY (Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta), FAMPERA (Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat), dan LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta).
Di Solo, Bali, Malang, dan Surabaya juga lahir puluhan kesatuan aksi yang konsisten menentang kebijakan dan keberadaan rezim Suharto. Gerakan yang menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998 ini, harus berhadapan dengan berbagai tindakan represif yang menewaskan 4 aktivis mahasiswa Trisakti. Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung adalah bukti lainnya upaya represif Suharto untuk meredam gerakan ini.
Setelah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, pergerakan mahasiswa dihadapkan pada pluralitas gerakan yang sangat tinggi. Mahasiswa pada saat ini memiliki garis perjuangan dan agenda yang berbeda dengan mahasiswa lainnya.

Gerakan Mahasiswa saat ini
Mahasiswa Pengawal Reformasi
Peran dan fungsi mahasiswa harus kembali dipertegas. Mahasiswa harus mampu mengawasi dan mengontrol reformasi secara utuh seperti saat mereka membidani kelahirannya bulan Mei 1998. Meski demikian, sungguh bahwa mahasiswa masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia, atau setidaknya di daerahnya masing-masing.
Mahasiswa tetap dikenal masyarakat sebagai agent of change. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat terus-menerus sesuai dengan gelar yang melekat pada dirinya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dan mengambil peran untuk melakukan banyak perubahan terbaik untuk bangsanya.
Di alam demokrasi, suara lantang mahasiswa merupakan representasi dari realitas sosial di masyarakat yang sering kali dikesampingkan oleh para penguasa negeri ini. Masalah pendidikan, pengangguran, beban ekonomi, kesenjangan sosial, moralitas, dan korupsi merupakan beberapa hal yang sering kali menjadi energi bagi mahasiswa untuk terus bergerak membela dan menyuarakan jeritan rakyat.
Gerakan Mahasiswa saat ini bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari gerakan mahasiswa ’98. Ciri-ciri gerakan ’98 pun masih tetap melekat pada gerakan mahasiswa saat ini. Walaupun dilihat dari pola dan strategi yang digunakan agak berbeda karena kondisi saat ini jauh berbeda dengan kondisi 1998.
Pada tahun 1998, mahasiswa dihadapkan pada situasi yang memaksanya untuk bergerak cepat dan sedikit memaksa. Berbeda dengan situasi saat ini yang cukup dirasakan aman dan nyaman. Akan tetapi, ternyata situasi yang aman dan nyaman inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa kembali mengalami kemunduran dalam hal militansi. Kalau pada era 1998 hingga 2002, mahasiswa yang turun ke jalan hingga puluhan ribu orang, maka saat ini jumlah itu tidak akan ditemukan lagi.
Gerakan mahasiswa saat ini kembali bercirikan pada gerakan ilmiah. Suburnya kembali kelompok-kelompok diskusi dengan berbagai tema kembali menghiasi setiap kampus yang ada di Indonesia denag tetap sekali- sekali turun ke jalan untuk mengireksi berbagai kebijakan pemerintah.
Isu sentral bersamapun sangat jarang digaungkan. Ciri gerakan kedaerahan yang saat ini mulai dikedepankan. Semoga semua ini adalah sebagai awal dari pembentukan karakter dan trend lain dari pergerakan mahasiswa secara nasional.
Kalau boleh menyoroti, kebijakan pemerintah berkaitan dengan BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang saat ini sedang menjadi pembahasan DPRRI patut dan harus disikapi. Masalah ini dapat menjadi isu sentral gerakan mahasiswa secara menyeluruh di Indonesia. Kalau memang diperlukan usaha-usaha seperti yang pernah dilakukan pada tahun 1998 atau sebelumnya maka itu mesti dilakukan. Maka dapat dipastikan akan ada perpaduan ternd gerakan antara ilmiah dan politik yang langsung mengkritisi kebijakan pemerintah.
Ke depan, melihat kondisi yang terjadi sebelum dan pada saat ini, maka saya memprediksikan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah akan kembali terulang. Kalau pada tahun 1966 rakyat bersama militer menumbangkan rezim Orde Lama, maka hal itu kemungkina akan terjadi kembali. Begitu pula dengan trend gerakan tahun 70,80,90-an dan bahkan 1998 kemungkina akan terulang di masa yang akan datang datang.
Akan tetapi, sesuai dengan yang telah saya sebutkan di atas bahwa saat ini ternd gerakan mahasiswa 1998 masih tetap terasa ditambah dengan budaya ilmiah yang kembali terasa seperti pasca 1978. bisa jadi gerakan mahasiswa ke depan (akan datang) memadukan dua hal tersebut.
Yang jelas mahasiswa akan terus bergerak sepanjang zaman dengan trend yang juga sesuai dengan kondisi zaman itu. Harapan kita semua adalah ”adanya perubahan di negri Indonesia ini sehingga tercipta kehidupan yang adil, aman, dan sejahtera.
Hidup Mahasiswa Indonesia……..!!!!!

*) Penulis adalah Ketua Umum HMPPKn FKIP UNSRI yang saat ini sedang belajar di Leadership School of KM UNSRI..

MENJAWAB PERMASALAHAN GERAKAN MAHASISWA PASCA '98


Pasca tumbangnya rezim orde bru tahun 1998 membawa kita pada alam demokrasi yang memungkinkan kita “Gerakan Mahasiswa” dapat bergerak bebas. Kebebbasan inilah yang saat ini menjadi senjata ampuh setiap gerakan. Alam demokrasi membawa kita pada suatu babak baru perjuangan.
Namun ternyata, keber4hasilan mahasiswa pada 1998 tidak juga memberikan efek yang positif. Ada permasalahan yang miuncul pada gerakan mahasiswa. Permaslahan yang sebenarnya tidak perlu ada, sebab masalah ini tumbuh bukan karena disebabkan oleh hal-hal dari luar tapi lebih kepada kurang kesiapan mahasiswa untuk melanjutkan “aksi-aksi”nya.
Mahasiswa dapat dikatakan sebagai penghubung antara orang-orang yang berada pada pada posisi atas (elit) dengan rakyat (kelompok alit). Kalau seandainya digambarkan maka posis mahasiswa berada di tengah-tengah.

elit
mahasiswa
alit

Posisi inilah yang membuat mahasiswa menduduki tempat yang strategis. Ia mampu merangkul orang-orang di bawahnya serta mampu mengingatkan orang-orang yang ada di atasnya. Jadinya mahasiswa mempunyai posisi tawar di tingkatan elit serta kehormatan di kalangan alit.
Itulah sebenarnya bentuk ideal dari sebuah gerakan mahasiswa. Tetapi, masalah yang sebenarnya muncul justru berkaitan dengan hal tersebut. Pertama, gerakan mahasiswa saat ini akan gagap apabila dihadapkan pada kelompok elit,terutama apabila telah benar-benar masuk ke ranah tersebut. Kegagapan ini sendiri dapat berdampak pada terkikisnya nilai-nilai idealisme yang selama ini teriakan oleh mahasiswa.
Contoh nyata yang dapat kita lihat adlah beberapa aktivis mahasiswa angkatan ‘66 seperti Akbar Tanjung, salah satunya. Ia rela mengorbankan idelisme demi mengejar kenikmatan menjadi anggota DPR melalui sebuah institusi (partai polotik) yang bernama GOLKAR. Sampai-sampai rekan sesama aktivis seangkatan dengan yang bernama Soe Hok Gie menyebutnya sebagai pengkhianat.
Memang benar, kekuasaan, jabatan dan lainnya yang sejenis merupakan bentuk ujian kepada para pengemban amanat perjuangan. Apabila ia tidak secara teguh dan ikhlas memegang idelismenya maka ia akan tersingkir dari barisan. Selanjutnya akan menjadi musuh bersama gerakan mahasiswa hanya karena kenikmatan sesaat.
Masalah inipun tetap kita hadapi saat ini, dimana beberapa aktivis mahasiswa telah didudukan di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan ternyata kondisinya setelah itu juga tak jauh berbeda dengan kondisi para seniornya terdahulu. Dapat dilihat dari beberapa kasus yang terjadi seperti pengadaan mobnas (mobil dinas), mantan aktivis mahasiswa tersebut seperti latah menjawab tantangan tersebut dan terseret arus yang begitu besar yang menggiringnya.
Kedua, lain lagi halnya dengan kondisi pada posisi elit di atas. Pemasalahan yang muncul adalah pada masyarakat. Kelompok alit saat ini tidak begitu merespons lagi gerakan mahasiswa. Berbeda dengan tahun 1998 yang masyarakat juga turut turun ke jalan untuk memperjuangkan perubahan pada negeri ini. Walaupun tidak menapikan bahwa hal tersebut tidak terlepas dari sikap pragmatis masyarakat. Masyarakat mersa dirugikan maka ia turut serta berjuang dan mersa nyaman maka ia diam, tapi itulah fitrahnya masyarakat.
Tetapi, yang saya maksud di sini adalah betapa kita tidak mampu merangkul masyarakat. Seharusnya masyarakat tahu dengan kondisi bangsa saat ini yang tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia pada 1997 dan sesudahnya. Entah apakah cara penyampaian kita yang setengah-setengah atau karena terlalu tingginya cara penyampaian kita sehingga masyarakat tidak mampu mencernanya.
Pernah suatu kali seorang teman di atas bus yang penuh sesak. Kebetulan pada waktu itu sedang ada aksi demonstrasi oleh sekelompok mahasiswa yang ada di Palembang. Tanggapan dari orang-orang yang ada di dalam bus tersebut sebagian besar sinis. Ada yang mengatakan mengganggu ketertiban, membuat macet, tidak ada gunanya. Hal ini kan patut dipertanyakan….!!! Padahal, kota Palembang (tempat saya) walaupun tidak ada aksi demonstrasi mahasiswa atau kegiatan lain ya tetap saja macetnya luar biasa.
Kalau menurut pandangan saya, tanggapan masyarakat yang sedemikian rupa disebabkan karena pelayanan nyata kita ke masyarakat kurang dan ini mesti kita akui. Kita hanya bisa menuntut, pendidikan gratis misalnya, tetapi kita tidak berkontribusi kepada masyarakat untuk membantu mereka misal dengan ke desa-desa seminggu sekali atau membina anak-anak jalanan dengan berbagai keterampilan. Kalau demikian, akan terasa harmonisnya hubungan antara mahasiswa dengan masyarakat. Mahasiswa merasa memiliki terhadap masyarakat karena mereka juga bagian darinya dan sebaliknya masyarakat akan sayang terhadap mahasiswa karena kepeduliannya.
Ketiga, permaslahan justru terjadi di tubuh gerakan mahsiswa itu sendiri. Ketidak solidan internal gerakan atau antar gerakan menjadikan gerakan mereka berjalan sendiri-sendiri. Padahal, kemenangah terhadap suatu tujuan itu karena adanya kekuatan. Kekuatan akan lahir apabila ada persatuan yang kokoh dan persatuan akan terwujud apabila kesolidan terbangun.
Saat ini, kita seringkali terjebak pada permasalahan yang sebenarnya sepele tetapi membuat tenaga kita terkuras habis hanya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kita terus berkutat pada maslah-masalah internal yang sebenarnya masalah-masalah seperti itu akan terus ada dan lahir lebih banyak lagi. Maka, dibutuhkan kecerdasan untuk menyikapinya. Masalah internal biasanya lahir dari individu yang mersa kecewa atau terabaikan, bukan permasalahan kolektif. Maka setiap individu perlu menyadari bahwa tindakannya telah menghambat orang lain untuk bergerak. Dibutuhkan orang-orang yang berjiwa besar yang mampu menerima secara lapang dada setiap keputusan yanmg diambil.
Atau bisa jadi masalah timbul karena kurang pemberdayaan SDM sehingga ia tidak mengerti apa yang harus ia lakukan. Yang terakhir ini lebih kepada bagaimana suatu gerakan yang terwadahi pada organisasi membuat pemetaan yang lebih baik lagi, peencanaan yang matang, serta strategi ayng jitu.
Pada akhirnya, bergeraknya mahasiswa adalah sebuah keniscayaan karena mahasiswa adlah kelompok yang paling peka terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat. Mahasiswa akan terus bergerak dari waktu ke waktu. Satu hal yang perlu kita perhatikan, kita tidak ingin terkenal dan tidak mau dikenal. Tetapi kita akan terus dikenang hingga sepanjamg zaman. Berkontribusilah walaupun orang tidak melihat kontribusi kita.

Hidup Mahasiswa……………!!!!

BELAJAR MERANGKAK DARI SEJARAH


Hari itu, 1 November 1922* Turki resmi menjadi negara republic dengan tokoh yang memproklamirkannya Mustafa Kemal Attaturk. Peristiwa ini menandai berakhirnya masa kekuasaan Khilafah Turki Utsmani (Ottoman). Sejak saat itu dunia Islam (negara-negara Islam) seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Gerakan konspirasi untuk mengharcurkan khilafah dengan jargonnya “the sick man” ternyata ampuh dan Sultan Abdul Hamid ternyata benar-benar tidak mampu mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah.banyak wilayah yang akhirnya melepaskan diri dari Turki dan mendirikan negara sendiri. Padahal dulu, mereka bernaung di bawah payung khilafah termasuk kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seperti Kesultanan Samudra Pasai atau Aceh.
Akan tetapi yang berlalu biarlah berlalu. Sejarah peradaban manusia akan berulang. Kata-kata ini bukan hanya sekedar kata-kata penghibur hati pelipur lara. Tetapi inilah optimisme. Sejarah membuktikan, Rasulullah saw. pada mulanya berdakwah sendirian dengan cara sembunyi-sembunyi. Awalnya satu dua orang yang mengikutinya untuk beriman kepada Allah SWT., lama kelamaan bertambah banyak. Akibat berbagai tekanan yang dirasa sudah mencapai puncak, akhirnya dengan perintah Allah Rasulullah berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Saat itulah babak baru sejarah peradaban manusia dimulai.
Melalui tarbiyah selama kurang lebih sepuluh tahun di Makkah, sahabat Muhajirin telah teruji keimanannya, dari aspek ruhiyah, fikriyah maupun jasadiyahnya sudah tidak diragukan lagi. Begitupun sahabat Anshor melalui tangan Mush’ab bin Umair mereka mnerima cahaya Islam dengan baik. Hal ini terbukti dari jalinan persaudaraan antara Muhajirn dan Anshor. Ikatan yang ada bukan hanya sekedar tegur sapa tapi melebihi persaudaraan sedarah.
Sederet peristiwa menarik, heroik dan banyak lagi terjadi hingga masa kekhalifahan Bani Abbasiyah wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi tiga benua besar, Asia. Afrika dan Eropa. Itulah negara terbesar sepanjang sejarah di dunia, tidak sekedar kekuasaan belaka tetapi keadilan benar-benar tegak di atas muka bumi. Sampai-sampai petugas yang mengurus zakat dan shodaqoh pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkeliling benua Afrika untuk mencari orang yang berhak mendapatkan zakat dan shodaqoh tersebut namun ia tak mendapatkannya karena idak ada yang merasa berhak menerima.
Berkaca dari itu semua, kita saat ini sepertinya perlu banyak belajar dari perjuangan-perjuangan tersebut. Angin segar Islam tampaknya sudah mulai bertiup dengan sepoinya namun belum terkoordinasi dengan baik. Itulah masalahnya saat ini, tidak ada satu kesatuan untuk menuju ke sana. Masing-masing harokah masih mengedepankan egoisme kelompok. Entah ini sebagai watak asli atau warisan budaya kolonialisme yang cukup lama bercokol di negeri-negeri muslim.
Para pemikir dan dunia Barat-pun mengakui bahwa setelah Uni Sovyet runtuh, kekuatan dunia mengerucut menjadi dua ”Barat VS Islam”. Wajar kalau banyak cara dilakukan oleh Barat untuk menyerang Islam. Mulai dari proyek Imperialisme, kolonialisme, sekulerisme, serangkaian invansi dalam segala bentuk ke negara-negara muslim yang dianggap mengancam kepentingan mereka dan seabrek produk-produk lainnya.
Mereka sadar betul, bahwa Islam tidak hanya agama yang sekedar menegdepankan ritualitas semata seperti agama (ajaran) lain yang mereka kenal. Islam itu integral, universal dan komprehensif. Maka, mereka mulai kalang kabut bagaimana memadamkan cahaya Allah tersebut.
Sejarah membuktikan keterpurukan Islam tidak berlarut-larut seperti saat ini. Contoh, ketika khilafah Abbasiyah jatuh oleh pasukan Tartar sesegera mungkin orang-orang muslim mendirikan khilafah yang baru yang berpusat di Turki itulah Khilafah Turki Utsmani. Gerak cepat ini disebabkan masih berpegang teguhnya masyarakat muslim pada ajaran sunnah Rasulullah. Berbeda dengan saat ini, setelah sekian abad lamanya bangsa-bangsa muslim terjajah maka selama itu pula mereka konsumsi doktrin-doktrin penjajah yang meyebabkan mereka begitu pragmatis dan pengaruh masih tersa hingga saat ini.
Walaupun lambat laun, tapi geliat itu kini mulai terasa. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa angin segar Islam telah berhembus dengan sepoinya menyelusup ke setiap sanubari muslim. Ternyata proyek sekulerisme yang dijalankan Barattidak sepenuhnya termakan oleh masyarakat muslim. Buktinya pada tahun 1928, Ikhwanul Muslimin berdiri di Mesir dan hingga kini menjadi Gerakan Islam terbesar di dunia yang beranggotakan lebih dari tujuh puluh negara di dunia. Kekuatan ideologi yang dibangun membuatnya tetap eksis bahkan semakin meluas, diterima dengan baik oleh masyarakat. Kalau bukan ciri sebuah kebangkitan, lalu disebut apa lagi…..???
Gerakan dakwah kita berdiri di atas manhaj dakwah Rasulullah. Berangkat dari perjalanan dakwah Rasulullah saw. dari bi’tsahnya hingga berdirinya berdiri dan eksisnya negara Madinah makasudah sepatutnya kita mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Negara Madinah adalah model negara yang paling idelal di muka bumi dengan tingkat keadilan yang merata dan taraf hidup rakyat sejahtera. Bahkan kalau boleh dikatakan negara tersebut adalah negara paling demokratis sehingga setiap orang boleh angkat suara. Kalau tidak, tidak mungkin seorang Qibti Mesir yang Nashrani mampu mengadukan Gubernurnya Amr bin Al-Ash yang dianggapnya sewensng-wenang kepada sang Khalifah Umar bin Al-Khattab. Keadilan yang merata tersebut menjadikan setiap orang merindukan akan kedatangan Islam di negerinya.

Wallahu a’lamu bishowwab.
* ada juga yang menyebutkan tahun 1924.

MAKNA SEBUAH SIKAP


Kita terkadang terlalu berani mengambil resiko terjun pada arena yang kita sendiri belum tahu medannya, dan sebaliknya terlalu pengecut untuk terjun ke arena setelah kita mengetahui medan

Saat Dzul Qornain dan bala tentaranya mwmasuki sebuah gua untuk mencari mata air ‘ainul hayat, maka mereka terhenti pada sebuah tempat yang apabila tempat itu diinjak baik olek kaki manusia ataupun oleh kaki kuda ia mengeluarkan suara gemericik. Tiba-tiba terdengar suara yang mengatakan, “semua kalian yang ada di sini, saat keluar nanti kalian akan menyesal.” Mereka tidak mengerti maksud ucapan dari salah satu mereka itu yang ternyata Nabi Khidir as yang memang ketika itu bersama-sama mereka sebagai penasehat raja. Karena penasaran, sebagian mereka ada yang mengambil banyak benda gemericik tersebut, ada yang mengambil sedikit dan ada juga yang tidak mengambil sama sekali karena mereka anggap tidak ada gunanya.
Benarlah, setelah keluar dari gua tersebut mereka semua menyesal. Yang mengambil banyak menyesal tidak mengambil lebih banyak lagi, yang mengambil sedikit menyesal tidak mengambil seperti teman-teman mereka yang mengambil banyak, terlebih lagi yang tidak mengambil sama sekali. Pasalnya benda yang mengeluarkan suara gemericik apabila diinjak tersebut ternyata intan. Untuk masuk kembali ke dalam gua mereka perlu berjuang dari awal melawan hawa dingin, pengap dan gelap. Ditambah lagi raja mereka Dzul Qornain yang tidak mengetahui hal tersebut telah mengajak mereka pulang.
Beranjak dari kisah di atas terlepas dari benar atau tidaknya maka setiap kita harus memiliki sikap. Sikap biasanya muncul dari sebuah prinsip hidup dan prinsip hidup lahir dari ideology yang kuat. Kekuatan ideology menjadikan seseorang tegar dalam menghadapi tantangan hidup ini apapun yang terjadi. Apabila kekuatan ideology, ketajaman prinsip serta kematangan sikap dikombinasikan akan muncul suatu instrument besar. Instrument ini yang akan memicu kekuatan besar.
Begitu besar makna sebuah sikap sehingga tak mudah bagi kita untuk dapat menentukannya secara pas. Adakalanya kita sendiri yang melanggar prinsip-prinsip hidup kita sehingga yang menjadikan sikap kita berubah , tidak sesuai dengan hati nurani. Sebenarnya factor ideology yang seharusnya mendominasi hidup kita. Islam tidak sekedar rutinitas di masjid, Islam adalah sebuah system yang di dalamnya ada ideology, kekuatan, baik kekuatan dalam bentuk fisik maupun strategi (fikriyah). Islam mengajarkan kita akan sikap yang tegas. Sebagaimana di dalam Al Quran Surat Al Kaafiruun:

1. Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,
2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.
4. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.
6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Surat ini menggambarkan dan mengajarkan kita bagaimana sebuah sikap dan prinsip dibangun sekaligus. Sikap tidak ingin menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir begitupun sebaliknya orang-orang kafir bukanlah penyembah sesembahan orang-orang mukmin yaitu Rabb yang Esa, Allah SWT. Prinsipnya jelas “untukmu agamumu dan untukku agamaku.” Ideologynya adalah Al-Islam yang sangat kuat menghunjam ke dalam hati.
Kita tentu tidak ingin menyesal seperti para tentara Dzul Qornain dalam kisah di atas. Kita tentunya ingin keberuntungan yang selalu dilimpahkan kepada kepada kita. Tapi celakanya kita terkadang terlalu berani mengambil resiko terjun pada arena yang kita sendiri belum tahu medannya, dan sebaliknya terlalu pengecut untuk terjun ke arena setelah kita mengetahui medan karena ketakutan yang dibuat-buat.
Begitupun para penguasa negeri ini. Ketika kita baru saja merasakan nikmatnya kemerdekaan dalam beberapa decade saja, para pemimpin negeri ini telah berani mengambil resiko dengan pinjaman luar negeri jangka panjangnya, sedangkan akibatnya tidaklah terlalu dipikirkan. Akibatnya, sepanjang tahun kita harus membayar hutang tersebut yang semakin hari semakin membengkak akibat bunga dan penurunan nilai mata uang rupiah. Eksploitasi Sumber Daya Alam selama ini ternyata untuk kepentingan luar negeri saja.
Di lain sisi, pememrintah tidak berani mengambil resiko memanfaatkan SDA yang ada dengan pengelolaan sendiri. Pemerintah kurang sabar untuk memperoleh keuntungan dari eksploitasi alam. Alasannya SDM yang tidak memadai serta peralatan yang juga tidak mencukupi. Mengapa kita tidak mencontoh Malaysia? Malaysia, selama ia mengimpor tenaga pendidik dari Indonesia bersamaan dengan itu pula pemerintahnya menyekolahkan guru-guru atau calon guru mereka ke luar negeri demi kemajuan negeri mereka ke depan. Buktinya saat ini Malaysia menjadi salah satu Negara industri yang cukup pesat kemajuannya di Asia bahkan dunia. Bila kita mencontoh strategi yang dilakukan Malaysia, maka saat ini tambang-tambang kita tidaka akan dikuasai oleh pihak asing. Tambang-tambang emas kita bukan hanya sekedar terkenal dengan nama tempatnya tapi tidak akan dikuasai pleh Amerika karena SDM kita juga memadai.
Bila kita tidak ingin merugi maka cukuplah kita belajar dari Q.S. Al Ashr. Siapa mereka? Orang-orang yang beriman, beramal sholeh, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Alih-alih seperti itu, pemerintahan kita justru pemerintahan dictator anti nasehat, baik Soekarno maupun Soeharto.
Sekali lagi, ideology, prinsip dan sikap harus berjalan seiring seirama untuk memunculkan instrument besar. Instrument besar ini akan melahirkan kekuatan besar dan akhirnya keseimbangan dalam berfikir menuju suatu perubahan.

1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Wallahu a’lamu bi showab.

REFLEKSI KEPEMIMPINA KITA


Enam puluh tiga tahun lebih bangsa ini terbebas dari kekuasaan tiran penjajah namun kita masih tetap dalam kungkungan penjajahan. Ya…, kita telah dijajah oleh diri kita sendiri. Memang begitu kuatnya dampak dan pengaruh dari penjajahan yang berlangsung selama 350 tahun sehingga tanpa sadar membentuk pribadi kita seperti orang-orang terjajah selamanya. Kita tidak punya kesadaran akan kebebasan diri kita yang telah dianugerahkan kepada kita.
Begitu pula dengan sistem kepemimpinan kita. Kita tinjau lagi sejarah, bagaimana Soekarno memerintah dari tahun 1945 dan akhirnya tumbang pada tahun 1966 karena pengaruh ketidakbebasan. Soeharto, setelah 32 tahun memerintah negeri akhirnya harus mundur karena juga akibat ketidak merdekaan. Selanjutnya, pada masa-masa transisi banyak terjadi tuntutan dari masyarakat karena rakyat tidak merasa merdeka. Gus Dur “diturunkan paksa” karena ia salah satu orang yang tidak mampu memberikan kebebasan kepada rakyat. Bahkan, sampai saat ini ketidakmerdekaan itu sangat kuat dirasakan oleh masyarakat.
Inilah bahan refleksi kita untuk sistem kepemimpinan kita yang mewarisi mental penjajah. Mengapa saya katakan kita tidak merdeka…?? Jelas harus kita fahami dulu makna ”merdeka” yang sesungguhnya. Ingat apa yang dikatakan oleh salah satu tentara biasa kaum muslimin kepada Rustum sang Panglima Persia pada saat penaklukan kota Qadisiyah, ”apakah yang mendorong kalian hingga kalian datang dan ingin menguasai negeri ini…?” Rustum bertanya kepada prajurit tersebut.maka dengan bangganya sang Prajurit berkata, ”sesungguhya yang mendorong kami adalah niat untuk membebaskan (memerdekakan) manusia dari penghambaan kepada sesama manusia (makhluk) kepada penghambaan kepada Allah semata.” Sebuah ungkapan yang luar biasa yang mampu menggetarkan seantero istana Rustum dan mengendorkan semangat tentara Persia. Setelah itu babak baru dimulai di tanah asal sahabat Rasulullah saw, Salman Al Farisi tersebut.
Adakah diantara kita yang mampu mengatakan hal seperti tentara Sa’ad bin Abi Waqas di atas. Atau adakah di antara pemimpin kita yang mampu mengatakan hal seperti tentara biasa tersebut. Sekaliber tentara biasa mampu menggetarkan istana Rustum, lalu pertanyaannya adalah bagaimana dengan sang pemimpinnya…?? Panglimanya adalah Sa’ad bin Abi Waqas dan khalifahnya adalah Umar bin Khattab. Tentu akan banyak yang mengatakan, mana mungkin kami bisa menyamai Umar bin Khattab.
Permasalahannya di sini bukanlah mungkin atau tidak mungkin tapi mau atau tidak mau. Setiap orang boleh berobsesi, kita punya obsesi untuk meneladani Rasulullah, maka kita harus punya obsesi untuk mengetahui dan meniru para sahabat terlebih dahulu. Tidak ada yang jelek dari para sahabat. Yang sekarang mesti dilakukan oleh para pemimpin kita adalah berobsesi, berobesesilah untuk meniru salah satu shabat Rasulullah, tentu kita tidak akan penah mencapai derajat ”generasi terbaik” tersebut. Namun setidaknya kita dapat menjadi sang Prajurit biasanya Sa’ad bin Abi Waqas tadi. Ketika pemimpin kita sudah mampu mengatakan hal seperti yang dikatakan oleh sang Prajurit maka dijamin ketentraman, ketenangan dan kesejahteraan akan terwujud karena itulah kemerdekaan yang sesungguhnya.
Saat ini kita butuh pemimpin yang mau dan mampu mendengar. Namun sebaliknya, sekarang pemimpin kita terus berkata dan berkata tanpa bisa mendengar. Sebab, secara logika orang yang sedang berbicara itu tidak akan mau mendengarkan. Kita lihat praktik kepemimpinan dalam shalat berjamaah kita. Masjid diibaratkan sebagai sebuah wilayah yang kita sebut ”negara”. Imam adalah pemimpin kita sedangkan ma’mumnya adalah rakyat. Sudah mencukupi tiga syarat berdirinya sebuah negara. Rakyat harus taat kepada pemimpin. Namun disaat sang Imam salah ma’mum wajib mengingatkannya. Jadi ketika pemimpin melenceng, keliru, ataupun lupa maka rakyat wajib mengingatkan.
Bahkan imam dapat digantikan apabila ia batal wudhu’ dan batal shalatnya. Ini adalah sebuah isyarat berjamaah (berorganisasi). Ketika pemimpin sudah tidak mampu lagi, maka harus ada yang menggantikan.
Wallahu a’lamu bish showab.

Posted on on September 16th

KRISIS ORIENTASI



Sebuah kisah pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan yang dapat kita ambil hikmah. Selepas terbunuhnya Khalifah Umar bin Khattab, kondisi negeri muslim mengalami kekacauan. Namun setelah Khalifah Utsman diangkat sebagai amirul mu’minin, suasana dapat dikendalikan secara aman oleh sang Khalifah yang berhati lembut tersebut. Orang-orang non-muslim berduyun-duyun memeluk Islam. Salah seorang daripadanya adalah seorang pemuda Yahudi dari Yaman yang bernama Abdullah bin Saba’.
Namun ternyata Abdullah bin Saba’ mempunyai tujuan lain dibalik niatnya memeluk Islam tersebut. Ia mengharapkan Khalifah selaku penguasa negara akan memberikan kehormatan kepadanya. Dia menginginkan diberikan jabatan yang cukup tinggi dalam bidang apa saja. Tentu saja Khalifah Utsman menolaknya sebab Islam sangat melarang “meminta jabatan” dan “memberikan jabatan” kepada orang yang memintanya.
Karena penolakan tersebut, Abdullah bin Saba’ pun kecewa. Bukannya jabatan yang peroleh tapi nasehat yang cukup keras dari Khalifah. Kekecewaan ini akhirnya diluapkan dengan menyebarkan fitnah yang sangat keji di kalangan kaum muslimin. Dia mengatakan bahwa pewaris dan Khalifah yang sah adalah Saiyidina Ali bin Abi Thalib. Sebagian terpengaruh dengan hasutan tersebut sehingga mereka membentuk perkumpulan yang dipanggil Syiah Saba’iyah yakni kaum Syiah sekarang.
Bahkan yang lebih keji lagi, Abdullah bin Saba’ berani mengatakan,” “Sesungguhnya yang menjadi Nabi pilihan Allah adalah Ali bin Abi Thalib. Hanya kebetulan pada waktu itu malaikat Jibril sedang mengantuk sehingga wahyu Allah diberikan kepada Muhammad yaitu orang yang tidak berhak.” Mendengar kabar beracun itu Syaidina Ali bin Abi Thalib marah besar dan pada masa pemerintahannya beliau mengusir Abdullah bin Saba’ keluar dari Madinah.
Kisah di atas cukup memberikan gambaran kita betapa berbahayanya ketika seseorang telah mengalami disorientasi terhadap niat. Niat adalah sesuatu yang timbul
dari dalam hati sanubari yang terdalam sehingga ia sangat kuat mempengaruhi jasad dan perbuatan. Bahkan niat adalah sesuatu yang sebenarnya terbentuk secara sadar.
Para ulama sepakat bahwa unsur-unsur yang harus ada agar ia menjadi sebuah niat adalah: Pertama, orang tersebut faham dengan apa yang akan dia lakukan sehingga dituntut pengetahuan terlebih dahulu.
Kedua, sadar dengan apa yang akan dilakukannya. Orang yang sedang tidur lalu bermimpi melakukan sesuatu tidaklah dianggap sebuah niat. Kesadaran adalah faktor yang sangat menentukan dalam memulai sebuah niat sehingga orang yang sedang mabuk sangat dilarang untuk mendekati shalat tentu niatnya untuk shalat tidak akan diterima. Serta orang yang tertidur tanpa sengaja sehingga lupa untuk mengerjakan shalat mendapatkan rukhsha untuk melakukan shalat ketika ia terbangun dan ingat.
Ketiga, tahu dengan tujuan dari apa yang ia niatkan dan akan lakukan. Tahu dengan tujuan berarti ia akan tahu manfaat dan mudharat, resiko serta segala yang berkaitan dengan niat dan pekerjaan tersebut. Ketika ketiga elemen dasar ini terpenuhi maka jadilah ia niat yang sempurna.
Rasulullah saw memberikan perhatian yang sangat lebih terhadap persoalan niat sehingga Imam Nawawi meletakan hadits tentang niat ini pada urutan yang pertama dalam Hadits Arba’innya.
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
Kondisi yang terjadi saat ini sangat banyak sekali orang-orang yang mengalami disorientasi dalam berniat. Krisis tidak lagi melanda ekonomi, sosial, budaya, politik, dll., bahkan telah merambah pada bagian paling inti dari diri kita yaitu hati kita. Sesuatu yang sangat krusial ketika hati telah menjadi ranah yang terpengaruhi oleh ambisi pribadi.
Saya rasa kita perlu membaca kembali kisah Abdullah bin Saba’ di atas yang pada akhirnya berdampak sangat buruk bagi ummat. Hal ini disebabkan karena disorientasi niat. Sebenarnya masih banyak lagi di dalam Al Quran yang mengisahkan orang yang pada akhirnya binasa karena mengalami krisis orientasi. Kita mengenal nama Qarun yang kaya raya. Pada awalnya ia adalah seorang shaleh yang miskin. Tetapi setelah beberapa lama menjadi kaya raya karena Allah memperkenankannya melalui doa Nabi Musa. Tapi, apa yang terjadi pada akhirnya…?? Qarun dibenamkan Allah ke dalam bumi beserta hartanya karena niatnya telah melenceng.
Hari ini, para aktivis da’wah sudah bertebaran dimana-mana bahkan sampai ke pelosok negeri. Saya tidak pernah mengatakan bahwa semua aktivis da’wah mengalami degradasi niat. Namun, kita semua harus mawas diri, waspada terhadap semua kemungkinan. Bukan kepada orang lain tapi waspada terhadap diri kita sendiri. Tanyakan lagi kepada diri kita apa tujuan yang sebenarnya. Jangan-jangan sampai saat ini masih ada yang belum tahu tujuan dari da’wah ini. Bukankah kita mengaharapkan keridhaan Allah dan perjumpaan dengan-Nya kelak di akhirat.
Maka dari itu, perbaharui niat kita selalu. Rasulullah menganjurkan kepada kita untuk selalu memperbaharui niat sebab secara sadar ataupun tidak sadar kadang terselip “niat-niat” lain yang ikut menempel dan menjadi parasit dalam hati kita. Niat yang kecil tanpa kontrol akan terus membesar dan pada akhirnya akan berpengaruh pada pola pikir, tindakan dan yang lebih parah lagi “tujuan kita”.
Wallahu a’lamu bishshowaab.

PEMIRA, JANGAN HANYA MENJADI RITUAL TRANSFER KEPEMIMPINAN


Genderang perang itu kembali berbunyi. PEMIRA sudah di depan mata, hitungannyapun tidak lagi menggunakan hitungan bulan tetapi hari. Menuju November bukanlah waktu yang lama. Persiapanpun tentu sudah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mulai dari syarat‐syarat bakal calon, jadwal PEMIRA hingga yang paling teknis. Berbagai tulisan juga sudah banyak menghiasi papan‐papan pengumuman di setiap sudu
GEMA ASPIRASI MAHASISWA
Namun, di balik itu semua ternyata ada pertanyaan yang begitu besar dari penulis. Siapa sajakah Calon Presiden kita…?? Pertanyaan ini sekaligus menjadi kekhawatiran jangan‐jangan demokratisasi di kampus ini telah mati. Ya, sesuatu yang serba surprise ini akan membawa kita pada budaya pewarisan. Calon Presiden Mahasiswa yang akan muncul dan dominan nanti lagi‐lagi dari internal Badan Eksekutif Mahasiswa Uniniversitas Sriwijaya itu sendiri. Inilah yang saya maksudkan dengan budaya pewarisan (transfer) kekuasaan. Tidak adakah tokoh‐tokoh Mahasiswa yang berasal dari Fakultas, UKM‐UKM, atau yang punya background organisasi ekstra kampus?
Universitas Sriwijaya dengan sembilan Fakultas yang ada dan + 25.000 mahasiswanya apakah tidak ada satupun yang berpotensi menjadi seorang pemimpin dan berani untuk mengembangkan potensinya itu. Saya yakin, dalam satu fakultas itu minimal ada satu orang yang berpotensi, sembilan fakultas berarti sembilan orang yang mempunyai potensi. Mengapa kesembilannya tidak maju…? belum lagi yang punya background ekstra kampus, HMI, KAMMI, GMKI, FMN, dll.
Ingat Bung…!!! KM UNSRI bukan hanya milik segelintir orang. Institusi ini milik kita bersama. Setiap orang berhak dan boleh melakukan perubahan. Tinggal pertanyaannya adalah: BERANI ATAU TIDAK. Sama halnya dengan semboyan perjuangan bangsa pada saat mempertahankan kemerdekaan, HIDUP ATAU MATI. Dalam konteks yang berbeda dari pengertian yang sesungguhnya ”HIDUP ATAU MATI” tersebut adalah ketika kita memilih hidup berarti kita telah berani mengambil resiko untuk menjalaninya, begitupun ketika kita memilih untuk mati berarti kita tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Benarkah sekarang kita ”HIDUP” ataukah raga kita hidup tapi dengan ketakutan‐ketakutan dan pesimisme kita. Apabila ini yang terjadi, sesungguhnya kita telah ”MATI”.
Untuk menghindari terjadinya kembali budaya pewarisan tersebut, maka kita sebagai mahasiswa harus cerdas. Kecerdasan tidak hanya ditunjukan oleh nilai‐nilai akademik yang bagus, kecerdasan seperti ini merupakan kecerdasan semu, selalu berubah. Apabila ada orang yang lebih baik dari kita maka kita akan terkalahkan. Tapi bila kita cerdas dengan kondisi di sekitar kita inilah bentuk kecerdasan yang sesungguhnya dan kepuasan yang tak terhingga. Baca, dengar dan telaah apa yang diusung oleh calon‐calon pemimpin kita. Apakah benar‐benar mereka mengusung perubahan ataukah ada kepentingan‐kepentingan lain di balik itu semua? Realistiskah apa yang diusungnya tersebut? Mampukah ia dengan kapasitasnya sekarang?
Memang untuk menentukan pilihan itu merupakan suatu yang sulit. Banyak pertanyaan yang mesti dijawab oleh diri kita sendiri. Tapi ketika kita telah memantapkan pilihan kita, maka saat itulah kita telah berpartisipasi dalam melakukan perubahan bagi Gerakan Mahasiswa, daerah kita dan negeri ini.
Jangan pernah menitipkan perubahan kepada orang lain sebab kita tidak akan mendapatkan kepuasan nantinya. Lakukan perubahan itu oleh diri kita sendiri dan bersama‐sama dengan orang lain yang mampu dan jujur agar perubahan itu nantinya dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada kekecewaan dibelakangnya. ”Perubahan adalah Keniscayaan”

KPU, JANGAN HANYA MENUNGGU


Pergerakan Mahasiswa merupakan salah satu kekuatan dalam sistem demokrasi Indonesia bahkan dunia. Selain empat pilar yang telah disepakati yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers, gerakan mahasiswa adalah pilar kelimanya. Walaupun tidak secara legal formal namun gerakan mahasiswa sangat diperhitungkan karena posisinya yang memang layak untuk diperhitungkan.

Sebagai gerakan moral (moral force), gerakan mahasiswa hendaknya menerapkan prinsip-prinsip fleksibilitas, mampu naik ke atas (elit) dan turun melihat kondisi masyarakat di bawah (alit). Mahasiswa menjadi jembatan penghubung masyarakat dalam menyampaikan keluhan dan aspirasi masyarakat. Makanya, independesinya harus tetap dijaga. Independensi sebagai perwujudan dari kepedulian dan pengabdian kepada masyarakat.

Gerakan mahasiswa dituntut untuk terus belajar dan belajar. Gerakan yang mampu mempertahankan eksistensinya adalah gerakan yang mau dan mampu belajar serta memperbaiki kesalahan dari pengalaman-pengalaman gerakan sebelumnya. Inilah yang seharusnya ada pada Gerakan Mahasiswa saat ini. Apalagi gerakan mahasiswa yang notabenenya adalah gerakan intelektual. PEMIRA, merupakan sarana pembelajaran politik mahasiswa. PEMIRA sebelumnya hendaklah di evaluasi kembali oleh lembaga independen penyelenggara PEMIRA saat ini. Ya, saya mencermati banyak sekali kekurangan yang terjadi pada pelaksanaan PEMIRA sebelumnya.

Negara Mahasiswa ini tak ubahnya negara sesungguhnya dimana semua lembaga hendaknya berfungsi sebagaimana mestinya. KPU menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang memang benar-benar independen. Mulai dari penjaringan awal anggotanya hingga proses pelaksanaan PEMIRA pun KPU tetap berjalan pada koridor ketidak berpihakannya kepada kelompok manapun. 

Kerja keras KPU dari saat ini hingga November nanti saya rasa tidak akan membuahkan hasil ketika KPU hanya berdiam diri, menunggu dan menunggu… Yang saya inginkan dari KPU adalah kerja proaktif, bukan hanya sekedar menempel pamflet bahwa November 2008 akan ada PEMIRA berikut syarat-syarat Bakal Calon (BALON) Presiden Mahasiswa dan Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa. Mahasiswa butuh ”pencerdasan” politik. Bagaimana menjadi warga ”negara” KM UNSRI yang baik dengan berpartisipasi dalam PEMIRA. Itulah kerja KPU yang sesungguhnya. Sangat wajar jika jumlah pemilih kita setiap tahunnya sangat minim jika melihat kondisi KPU yang seperti ini.

Belum lagi para calon yang masih sangat ”malu-malu” untuk menampakan diri ke permukaan. Hal ini menambah ”kabur” pandangan mahasiswa tentang para calon dan PEMIRA itu sendiri. Para calon yang seharusnya sudah ”menampakan” dirinya jauh-jauh hari ternyata sampai saat ini belum ada beritanya. Siapakah ”the candidates” tersebut? Ketika satu atau dua bulan belum sebelum penyelenggaraan PEMIRA akan dilangsungkan barulah mereka saling memperebutkan simpati ”rakyat”. Kondisi yang serba surpise ini menjadikan mahasiswa tidak begitu yakin dengan calon yang ada. Waktu yang panjang saja masih sangat sulit untuk dapat meyakinkan mahasiswa apalagi waktu yang sesingkat itu. Analisis ini tidaklah ditulis hanya untuk menghiasi papan-ppan pengumuman di UNSRI, setidaknya inilah pengalaman saya selama menjadi Sekretaris KPU Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dua tahun lalu. 

Lagi-lagi saya mengajak kita semua untuk dapat megevaluasi kembali kinerja KPU sebelumnya untuk dapat memeperbaikinya pada masa sekarang dan yang akan datang. UNSRI jangan lagi menjadi tempat empuk bagi orang-orang apatis. Tidak ada tempat untuk apatisme di UNSRI kita ini. KPU perlu mengkaji kembali kondisi ”negara” mahasiswa ini agar PEMIRA tahun ini sesuai target dan sasaran-sasarannya. Saya acungkan jempol kepada KPU yang sudah melakukan tugasnya walau baru beberapa hari di bentuk.

KEKUATAN JARING-JARING


Proses Pemilihan Umum Raya (PEMIRA) UNSRI sudah berjalan. Kampanyepun telah dilakukan di beberapa fakultas di lingkungan Universitas Sriwijaya. Kamis malam ini akan diadakan kampanye on air di radio, itu berarti kampanye Presma UNSRI akan didengar oleh khalayak ramai, Palembang dan Sumsel. Dengan begitu selain mahasiswa, masyarakat juga dapat menilai siapakah nantinya yang pantas menduduki ”Kursi Mahasiswa 1” di UNSRI.
Berkaitan dengan itu semua, sangat penting saya mengangkat masalah ”kesiapan” calon untuk menang. Dalam beberapa pemilihan pemimpin secara umum biasanya kita membicarakan bagaimana kesiapan calon untuk kalah, sangat jarang yang menulis kesiapan calon untuk menang. Maka, saya ingin mengajak kita melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Kemenangan salah satu calon tidak cukup ditunjukan dengan meraup suara terbanyak. Dia juga harus mendapatkan pengakuan dari semua orang sehingga kedudukannya kuat. Bukan apa-apa, untuk melakukan sebuah gerakan apalagi gerakan moral yang tanpa digaji seorang Presiden Mahasiswa harus mendapatkan dukungan penuh dari segenap mahasiswa dan masyarakat sebagai penggerak pergerakan itu sendiri. Makanya seorang Presiden Mahasiswa hendaknya menyiapkan segala perangkatnya sebelum menyiapkan kemenangannya. Karena menyiapkan kemenangan adalah salah satu langkah menuju kemenangan.
Jaring-jaring merupakan salah satu kekuatan yang mesti dibangun. Secara pribadi, saya menilai calon Presiden Mahasiswa kita belum siap untuk meraih kemenangannya. Terang saja saya katakan seperti itu, dalam masa yang tinggal beberapa hari lagi menuju hari pencoblosan, ternyata para calon belum juga punya jaring-jaring kekuatan itu. Jaring-jaring pendukung kemenangannya nanti di kemudian hari. Apakah hal ini disebabkan karena semuanya masih minim pengalaman ataukah memang dari beberapa kampanye yang berjalan para calon tidak mampu meyakinkan para konstituen.
Dari analisis sederhana yang saya lakukan, saya dapat menarik kesimpulan. Kedepan kondisi Badan Eksekutif Mahasiswa akan lebih buruk apabila para calonnya saat ini ternyata tidak menyiapkan kemenangan itu. Sebab, Gerakan Mahasiswa UNSRI tidak pernah solid ketika para calon sendiri belum siap. Kedua, yang paling saya khawatirkan adalah bahwa tahun depan adalah tahun yang begitu berarti bagi bangsa Indonesia secara umum dan Gerakan Mahasiswa secara khusus, tahun 2009 adalah tahunnya PEMILU Legislatif dan Pemilihan Presiden RI. Apabila kedudukan seorang Presiden Mahasiswa tidak kuat bisa jadi apakah sadar atau tidak sadar BEM UNSRI sebagai lembaga kemahasiswaan yang seharusnya independen akan ditunggangi oleh salah satu kekuatan politik negeri ini.

TOLAK KEDATANGAN JK KE PALEMBANG



Permasalahan bangsa ini terasa semakin kompleks. Mulai dari permasalahan yang paling kecil hingga permasalahan berskala besar. Tentu semua ini tidak terlepas dari buruknya kinerja pemerintahan SBY-JK yang telah memasuki usia hampir lima tahun. Rasanya, pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang terus berimbas dan melilit rakyat tersebut.
Tahun 2007 lalu jumlah penduduk miskin mencapai 16,58 persen atau sebanyak 37,17 juta jiwa. Sedangkan pada Maret 2008, 15,42 persen atau 34,52 juta. Pemerintah terlalu cepat mengklaim mereka berhasil menurunkan kemiskinan dengan angka yang hanya terpaut 1.16% tersebut. Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ yang dimulai pada tanggal 27 Mei 2006 sampai saat ini belum mampu diselesaikan. Warga Sidoarjo masih menuntut ganti rugi kepada pihak PT. Lapindo Brantas yang telah membuat mereka sengsara, akan tetapi pemerintah tak bergeming dengan pemasalahan tersebut. Sepertinya pemerintah lebih sayang terhadap perusak alam tersebut daripada rakyatnya yang tidak berdaya. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengatakan bahwa semburan Lumpur ini baru akan berhenti sekitar 31 tahun yang akan datang. Apakah selama itu rakyat akan sengasara…???
Di bidang politik, pemerintah tak punya “taring’ dihadapan pemerintah dan pengusaha asing. Buktinya, pemerintah dan dewan tak pernah berminat meninjau ulang UU Penanaman Modal Asing yang jelas-jelas merugikan Negara. Pemabgian yang tidak seimbang antara 15% untuk dalam negeri dan 85% untuk pihak investor asing membuat kita seolah-olah dijajah kembali dengan cara yang halus. Hal ini sangat terlihat pada sector migas, makanya minyak kita selalu mahal.
Permasalahan pendidikan yang juga sampai saat masih menjadi konsumsi umum kita semua. Rakyat kecil menjadi korban mahalnya biaya pendidikan. Pernahkah Anda bayangkan bahwa jumlah anak putus sekolah di negeri tercinta ini ternyata sudah puluhan juta ? Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.
Pada akhir tahun ini kita dikejutkan dengan terjadinya krisis global yang melanda dunia. Pemerintah Indonesia terlihat tenang-tenang saja denga mengatakan bahwa dampaknya tidak akan terasa berat bagi Indonesia. Nyatanya, nilai tukar rupiah terus fluktuatif namun diatas angka Rp 11.000,- terhadap dolar Amerika. Hal ini berdampak pada perekonomian masyarakat yang tersa masih terkekik.
Terakhir, penanganan kasus korupsi yang terkesan sangat lamban bahkan jalan di tempat. Walaupun ada KPK, ternyata Lembaga yang satu ini juga tidak memberikan sumbangsih yang beitu besar. Toh, para koruptor kelas kakap masih berkeliaran dimana-mana. Data terkahir yang kami terima adalah bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2008 meningkat 0,3 point menjadi 2,6. namun, yang terjadi adalah pemerintah terlalu cepat puas dan bangga dengan keberhasilan kecil tersebut. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW)-pun mengingatkan kegembiraan yang terlalu dini tersebut. Kita masih jauh di bawah Singapura yang pernah mencapai angka 9.
Maka dari itu kami dari Aliansi BEM se-Palembang menyatakan bahwa SBY-JK telah gagal memimpin bangsa ini. Duet pemerintahan SBY-JK tidak mampu membawa bangsa ini menjadi lebih baik, justru keadaan bangsa ini lebih parah.

BEM se- Kota Palembang Menolak
kedatangan JK ke Palembang
Karena GAGAL

Dept. Aksi dan Propaganda BEM UNSRI dan AKSI “Tolak Kedatangan JK ke- PALEMBANG” bersama Aliansi BEM se-Kota Palembang.

MENGAPA KITA HARUS MEMBELA PALESTINA?


Lebih dari 60 tahun Palestina di bawah baying-bayang kekejian dan kekejaman zionis Israel. Sejak tahun 1948, setelah deklarasi berdirinya Negara Israel drama pembantaian dan pemusnahan juga mulai dimainkan. Palestina yang sebelumnya merupakan Negara berdaulat da sangat damai menjadi luluh lantak. Betapa tidak, sebelumnya tiga komunitas agam besar dunia, Islam, nashrani (Kristen) dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai. Namun, gerakan zionis Israel telah merusak semuanya.
Drama kekejian dan pembantaian itu terus berlanjut sehingga melahirkan sebuah gerakan perlawanan dari rakyat Palestina. Meletuslah “Intifadhah” yang merupakan gerakan perlawanan untuk pembebasan Palestina. Tapi ada ketidakseimbangan, Israel menggunakan senjata lengkap tapi Rakyat Palestina hanya menggunakan batu sebagai senjata.
Sudah lebih dari satu minggu Palestina mengalami serangan besar-besaran yang membabi buta dari Israel. Mengapa saya katakana membabi buta? Pasukan Israel tidak hanya membunuh tentara Militer Hamas yang mereka anggap sebagai teroris dan pemberontak tapi mereka justeru membunuh anak-anak, wanita dan orang-orang sipil lainnya. Sudah lebih dari 400 jiwa yang melayang serta 2000 orang yang terluka. Tragedi ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar abad ini setelah tragedi penyerangan Irak dan Afganistan oleh Amerika Serikat.
Sebuah pertanyaan besar ada di benak kita. Benarkah Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah (HAMAS) itu teroris dan pemberontak. Hamas dengan pendirinya Syaikh Ahmad Yassin, seorang tokoh yang sangat disegani oleh rakyat Palestina dan ditakuti serta dibenci oleh Israel tentu mempunyai tujuan mulia. Tujuannya tak lebih adalah membebaskan Palestina dari penjajahan tanpa kenal kompromi dengan pihak Israel karena memang pihak Israel bukanlah orang-orang yang bisa diajak kompromi apalagi berdamai. Dalam sejarah dunia, Bani Israil adalah bangsa yang suka membangkang bahkan terhadap nabi-nabi mereka. Melanggar perjanjian atau perundingan damai merupakan hal biasa. Maka dari itu saya fakir wajar kalau kelompok Hamas enggan untuk berunding. Kemerdekaan dan kemuliaan hanya akan didapat melalui perjungan dan perlawanan.
Mengapa pula kita harus membela Palestina? Pertama, perlu kita ketahui semua, bahwa tidak ada lagi penjajahan di atas dunia yang bentuknya kuno kecuali yang terjadi pada penjajahan terhadap Palestina. Masyarakat dibayang-bayangi ketakutan oleh berbagai macam “mesin pembunuh”. Kedua, selain itu pula, di Yerussalem Palestina, berdiri sebuah masjid mulia “Masjid al-Aqsa” yang merupakan kiblat pertama ummat Islam sebelum ditetapkan Ka’bah sebagai kiblat. Masjid al-Aqsa menjadi tanggung jawab semua ummat Islam untuk menjaga kemuliaannya.
Ketiga, Palestina adalah tempat singgah Rasulullah Muhammad saw. ketika Isra’ Mi’raj dan merupakan tempat bertolaknya ketika mi’raj. Keempat, Palestina merupakan negerinya para nabi, tempat para nabi dilahirkan, kemudian berdakwah dan tidak sedikit juga yang meninggal dan dimakakamkan di sana. Masih banyak lagi alasan-alasan kuat lainnya yang menyebabkan kita harus membela bumi para nabi tersebut.
Bagi Indonesia, terdapat sebuah ruang catatan sejarah tersendiri untuk Palestina. Dua Negara yang tidak bisa dikatakan mempunyai hubungan diplomatik saja tapi benar-benar bersahabat dekat. Palestina-lah yang sebenarnya pertama kali mengakui kedaulatan Republik Indonesia baru setelah itu Mesir. Perdana Menteri Palestina ketika itu menyumbangkan seluruh uangnya yang ada di Bank untuk Indonesia. Selain itu, pada saat terjadinya tsunami di Aceh dan Sumut ternyata Palestina masih mengirimkan bantuan kemanusiaan baik obat-obatan dan relawan di tengah kemelut perang dan kekjian Israel yang terus membanyangi.
Saya rasa tidak ada alasan lagi bagi kita bangsa Indonesia untuk tidak membantu dan membela Palestina. Permasalahan Palestina bukan hanya permasalahan bangsa Palestina saja atau permasalahan bangsa Arab saja , tetapi permasalahan Palestina adalah permasalahan kita semua, ummat Islam seluruh dunia.