23 Juli 2010

Ujian Kerja Kita

Ada keletihan yang menyelimuti di balik kerja-kerja kita. Juga ada kejenuhan yang diam-diam menelusup ke dalam hati tanpa sadar membuat kita melegalkan alasan-alasan pada diri kita untuk beristirahat. Itu pasti kawan, kita adalah manusia biasa dan memang rasa itu sangat manusiawi. Kepenatan yang datang adalah bunga-bunga dari kerja kita, ia adalah ujian. Apakah kita mampu melewatinya untuk meneruskan pekerjaan ataukah kita tergoda untuk beristirahat yang menjadikan kerja kita tertunda dan orang lain menyalibnya. Kita pun akan tertinggal sangat jauh.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, ”Sesungguhnya istirahatnya seorang muslim itu ketika kakinya sudah menginjak surga.” Kata-kata itu muncul di saat kerjanya mendapatkan ujian yang sangat besar. Betapa tidak, sang Imam dipaksa oleh penguasa saat itu untuk mengakui bahwa al-Qur’an itu sebagai makhluk bukan Kalam Allah. Di samping tekanan dan siksaan yang datang bertubi-tubi dari penguasa, beliau juga dibujuk rayu oleh para pengikutnya yang merasa kasihan kepadanya karena deraan yang tidak manusiawi tersebut. Namun dengan dengan Imam Ahmad menolaknya dengan mengucapkan kata-kata di atas. Fitnah tersebut akhirnya menjadikan beliau sakit fisik yang cukup parah sampai-sampai shalat beliau tidak mampu lagi bersedekap.
Ada lagi kisah pejuang lain yang juga mengalami ujian yang tak kalah hebatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah harus mendekam di penjara lantaran koreksi-koreksinya kepada penguasa. Di saat kondisi-kondisi negara sedang dalam keadaan darurat Ibnu Taimiyah dikeluarkan untuk menjadi pemimpin dan penyemangat jihad kaum muslimin tapi di saat kondisi negara kembali aman beliau juga kembali dipenjara. Namun itu semua tak membuat beliau menyerah dari kerja-kerjanya, banyak karya besar beliau yang dihasilkan di dalam penjara. Tanpa buku dan penanya karena dirampas, Ibnu Taimiyah menuliskan karyanya dengan arang di dinding-dinding penjara.
Ada banyak kisah-kisah lain yang memberikan kepada kita pelajaran berharga tentang betapa kerja-kerja besar itu akan banyak bunga-bunga ujiannya. Seperti contoh kedua tokoh di atas.
Sekarang, mari kita tuntaskan kerja kita. Kita tuntaskan sesuai kemapuan dan kapasitas kita. Kalau kita hanya mampu sebatas menjadi penyemangat saja, maka jadilah supporter yang gegap gempita dalam memberikan semangatnya sehingga yang lain menjadi tertular semangatnya. Namun, jangan juga yang bertugas di lapangan bekerja hanya karena ada supporternya dan ketika supportenya pergi, ia pun jadi loyo untuk bekerja. Penyemangat terbesar kita hanyalah yang Maha Pemberi Semangat. Itu kuncinya.
Kita patut belajar dari Musa bin Abdul Ghassan, seorang mujahid Granada yang tidak rela menyerah kepada orang-orang kafir dari kerajaan Spanyol yang menyerang Andalusia. Seorang diri ia songsong pasukan spanyol sampai ia mendapatkan syahidnya. ”Bagiku, mati di bawah reruntuhan tembok Granada demi membelanya, jauh lebih kucintai daripada singgasana-singgasana mewah di dalam istana Granada yang kudapat dengan menyerah kepada orang-orang kafir,” kata beliau. Seorang diri, tanpa supporter. Ia mati dalam keadaan terhormat. Syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang menyerah juga tetap dibunuh setelah dibohongi untuk diseberangkan di Afrika Utara.
Demikian ujian kerja kita. Allah ingin menguji seberapa tahan diri dengan berbagai pekerjaan yang dibebankan kepada kita. Apakah kita akan diberikan kehormatan untuk diberikan kerja yang lebih berat yang tentunya dengan ujian yang lebih berat ataukan kita masih ditempatkan pada kelas yang sama atau malah akan turun kelas karena kita belum lulus ujian.
Wallahu a’lamu bishowwab...

Seperti Apa Harusnya Sekolah Kita..??

Apa yang ada dalam benak Anda ketika saya sebutkan kata-kata sekolah? Adakah yang membayangkan suatu kegiatan yang membosankan karena setiap hari harus duduk di bangku kayu yang keras, tangan ditumpuk di atas meja? Ataukah ada juga yang membayangkan sekian banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan sepulang sekolah atau malah dikerjakan sebelum jam pelajaran dimulai secara beramai-ramai? Tentu saja banyak sekali yang kita bayangkan ketika disebutkan satu kata tersebut dan itu semua bergantung pada pengalaman belajar selama duduk di bangku sekolah dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Ketika di sekolah dasar kita diajarkan menggambar pemandangan dengan satu atau dua gunung dan ada matahari di atasnya. Tidak lupa di sekelilingnya terdapat padi dan pepohonan serta jalan raya yang menuju ke gunung tersebut. Atau menggambar seekor bebek dengan angka dua dan tentu bebeknya akan mengarah ke sebelah kiri kita. Kebiasaan itu terus kita bawa hingga saat ini, ketika kita sudah duduk di bangku kuliah, ketika menjadi guru, menjadi ibu atau seorang bapak bahkan ketika menjadi seorang pejabat sekalipun.
Kebiasaan- kebiasaan itu kembali kita tularkan kepada anak-anak, murid, adik dan siapa pun yang mencoba belajar dari kita. Itulah sebabnya sekolah dari cetakan pewarisan kebiasaan ini tidak mengalami perkembangan yang berarti. Zaman boleh maju, kita telah mengenal dunia digital sehingga hidup serba lebih mudah dan canggih, tapi sesungguhnya pemikiran kita adalah pemikiran warisan dari kebiasaan yang sebenarnya stagnan. Wajar saja kalau kita kalah bersaing dengan negara tetangga kita Malaysia dan Singapura yang dulu mengimpor guru dari negara kita.
Cobalah ketika ada yang menyebutkan kata ’sekolah’ kita fikirkan hal yang berbeda. Mas Lendonovo mencoba berfikir hal yang berbeda tentang sekolah, maka lahir dari pemikiran yang berbeda tersebut sebuah model sekolah baru di Indonesia, dikenal dengan nama ’Sekolah Alam’. Atau bentuk sekolah lain yang dibuat oleh Pak Harry Roesli, sekolah musik untuk anak-anak jalanan.
Ada seorang ayah ditanya mengapa menyekolahkan anaknya di salah satu Sekolah Alam di Bandung yang terbilang lebih mahal dan anak belajar sambil berkotor-kotor ria. ”Habisnya sekolah konvensial terlalu banyak teori tanpa ada praktek,” jawabnya mantap. Itulah penilaian, walau hanya dari satu orang dan tidak representatif tapi pernyataan beliau ada benarnya. Sekolah umum lebih banyak mengajarkan teori dan anak dijejali dengan ratusan ribu kata setiap harinya, tapi sesungguhnya hal tersebut tidak memenuhi semua aspek yang diharapkan. Dengan penjelasan teori-teori, maka yang ada adalah pemenuhan aspek kognitifnya saja sedangkan aspek afektif dan psikomotoriknya terabaikan. Misalkan, pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan teori-teori tentang kekeluargaan, tapi benarkah kekeluargaan telah terbangun kekeluargaan di antara siswa?
Saya tidak menyatakan bahwa pemberian teori itu tidak penting, akan tetapi itu hanya sebagai acuan untuk mempraktekkan dan mengaktualisasikan diri. Sehingga ketika waktunya kelak para siswa tersebut telah masuk dalam dunia sebenarnya mereka tidak ’No Action Talk Only(NATO) alias omong doank. Sedangkan praktek tanpa teori toh juga salah, ibarat seseorang yang berjalan di tengah gelapnya malam tanpa bantuan penerangan bisa-bisa ia tersesat. Begitu pentingnya keduanya antara teori dan praktek sehingga semuanya harus berjalan seiring.
Kita bisa belajar dari Rasulullah saw. dan beberapa rasul sebelumnya, bagaimana mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan memberi pelajaran serta peringatan bagi masing-masing ummatnya. Untuk mendidik mereka sengaja Allah memberikan ujian yang cukup, misalkan untuk memimpin ummat para utusan Allah tersebut lebih dahulu belajar menggembalakan domba. Domba-domba yang susah diatur tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi mereka kelak dalam mengendalikan ummat. Apalagi nabi Musa yang diturunkan kepada Bani Israil yang terkenal sangat bebal dan susah diatur. Contoh lainnya, dalam berniaga Rasulullah saw. selain diajarkan oleh pamannya teori-teori bisnis dan marketing beliau juga mempraktekkannya langsung sejak usia 12 tahun dan pada akhirnya dipercaya untuk menjalankan barang perniagaan Siti Khadijah dengan kejujuran dan hasilnya mendapatkan keuntungan yang luar biasa.
Mengapa masalah bangsa sampai dengan hari ini tidak dapat terselasaikan?? Itu berawal dari pendidikan kita. Pendidikan pewarisan yang sampai dengan saat ini masih mendominasi di negeri ini menjadi penghalang negeri kita untuk maju. Seorang siswa yang berfikir berbeda pada sebuah sekolah akan dicap bersalah oleh gurunya. Coba saja kita sedikit menghargai pemikiran-pemikiran berbeda mereka, siapa tahu dari pemikiran berbeda itu akan memberikan masukan yang berharga bagi kita. Selian itu permasalahan bangsa ini tidak pernah terselesaikan karena kita terlalu banyak komentator ketimbang yang mau bekerja. Itu juga akibat dari pendidikan kita, terlalu banyak dijejali dengan teori-teori tanpa ia coba dengan praktek sesungguhnya. Praktek saat ini baru dijadikan ajang pelajaran bukan praktek yang sebenarnya sebab pelajaran praktek tidak pernah diajarkan di bangku sekolah atau kuliah.

Sekolah Kita…

Beberapa bulan yang lalu dunia pendidikan kita disibukkan dengan rutinitas Ujian Nasional, kemudian disibukkan kembali dengan ‘semarak’nya pengumuman kelulusan siswa. Banyak yang menyambutnya dengan keceriaan serta tidak sedikit juga yang menyambutnya dengan kesedihan dan kemeranaan. Bagi yang lulus, kelulusannya adalah sebuah prestasi yang luar biasa, entah apaun caranya. Tapi bagi yang tidak lulus, hal tersebut merupakan kemalangan yang tidak terelakkan sebab selain dinyatakan gagal juga akan menanggung rasa malu baik di mata teman-temannya juga di mata masyarakat sekitarnya. Namun segala problematika Ujian Nasional tersebut akan menjadi PR kita bersama untuk memperjuangkannya agar siswa-siswa kita tidak menjadi korban ’pemaksaan’ sistem lagi.
Saudaraku, saya sangat trenyuh saat melihat pemberitaan di salah satu stasiun televisi swasta bahwa ada anak-anak sebuah Sekolah Dasar di Sukabumi Jawa Barat terpaksa harus belajar di bawah naungan atap langit dan berdindingkan pepohonan. Bukan karena mereka belajar di sekolah alam atau sedang melakukan kegiatan belajar out door akan tetapi seperti itulah keseharian sekolah mereka. Jangankan sarana praktek sebagai penunjang belajar, gedung pun tidak ada. Gedung sekolah yang seharusnya mereka pakai untuk kegiatan belajar mengajar sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Bangunannya sudah hampir roboh. Ketika ditanyakan kepada kepala sekolah, ternyata memang tidak ada bantuan dari pemerintah atau para dermawan untuk memeperbaiki kons\disi bangunan sekolah tersebut. Namun, ada sedikit kegembiraan di hati saya ketika melihat tanyangan anak-anak lugu (para siswa) yang mereka masih sangat bersemangat untuk bersekolah. Semangat dan kegembiraan itu terpancar jelas di sorot mata mereka.
Kondisi sekolah kita di Sukabumi Jawa Barat di atas hanya salah satu contoh yang sangat kecil. Banyak sekolah-sekolah lain yang juga sama parahnya bahkan lebih menyedihkan kondisinya. Ruangan kelas hanya layak disebut sebagai kandang kambing masih bertebaran di pelosok negeri ini. Saya teringat ketika pemutaran perdana film ’Laskar Pelangi’ yang ketika itu sang penulis novel Andrea Hirata bersama-sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Sang novelis memberikan sentilan kecil kepada bapak presiden, ”Inilah kondisi pendidikan kita.” Presiden hanya menaggapi santai sentilan tersebut, ”Itukan dulu, sekarang sudah tidak lagi.” Tapi nyatanya kondisi sekolah kita tidak lebih baik dibandingkan dahulu.
Saya tidak akan mengatakan itu sekolah Anda, sekolah di kota Anda, atau sekolah di propinsi Anda tapi saya katakan itu adalah kondisi sekolah saya, sekolah Anda dan sekolah kita semua. Mengapa saya katakan demikian karena kondisi ini terjadi dalam sebuah bingkai ’INDONESIA’.
Kita boleh berceloteh soal sistem. Tidak ada larangan bagi kita untuk mengkritik sistem pendidikan kita yang memang tidak mendidik. Kita juga sangat boleh mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait masalah pendidikan tetapi janagan juga kita lupakan soal pembangunan fisiknya. Bagaimana mungkin siswa-siswa kita akan nyaman belajar ketika panas terik menerpa mereka kepanasan hingga keringat bercucuran? Atau di saat hujan turun mereka harus berlarian mencari tempat bernaung, bagi yang terlambat maka basah kuyuplah ia atau buku-bukunya yang akan jadi korban kebasahan. Akan lebih sangat mengerikan seandainya gedung-gedung tak layak pakai tersebut masih saja dibiarkan dan terus digunakan apabila suatu hari ternyata gedung-gedung tersebut roboh dan anak-anak sedang belajar di bawahnya.
Saudaraku, Heppy Trenggono mengatakan, ”Bangsa Pintar Dipimpin oleh Pemimpin yang Membangun Bangsanya, Bangsa Bodoh Dipimpin Oleh Pemimpin yang Membangun Dirinya.” Jelas bukan?? Kalau kita ingin pintar, menjadi bangsa yang pintar dan cerdas kita harus dipimpin oleh pemimpin yang membangun bangsa bukan pemimpin yang membangun kelompoknya atau malah lebih parah membangun dirinya sendiri. Tapi saya rasa bukan hanya pemerinah, para pengusaha kita juga harus bertanggung jawab. Betapa banyak mereka telah meraup keuntungan dari bangsa ini, betapa banyak juga mereka juga telah merugikan negeri ini. Toh, korupsi bukan hanya oleh pemerintah tapi juga oleh para pemilik korporasi. Dana CSR perusahaan yang cukup besar akan jauh lebih dan sangat bermanfaat bila digunakan untuk kepentingan publik. Misal dengan membangunkan sarana pendidikan, sarana bermain anak-anak dan juga sarana ibadah. Para kepala sekolah tak perlu lagi berkeliling mengajukan proposal kepada pemerintah dan pengusaha meminta kerendahan hati mereka untuk membangunkan sarana prasaranabelajar akan tetapi pemerintah dan pengusahalah yang harus perhatian kepada nasib pendidikan kita. Marilah kita coba kalau pendidikan kita ingin lebih baik.

11 Juli 2010

Sekolah untuk Kebodohan

Bani Israil menjadi contoh para pembelajar bebal yang banyak sekali Allah ceritakan di dalam Al-Qur’an. Bahkan hingga hari ini para pembelajar bebal itu juga masih sangat banyak dan terus menyebarkan kebebalan-kebebalannya kepada setiap orang tak terkecuali diri kita. Kebebalan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa banyak yang tidak mau belajar dari orang lain, sejarah, binatang bahkan segenap alam semesta. Kebebalan semacam ini sudah banyak merasuki diri kita.
Dalam lingkup pendidikan formal, ada banyak kebebalan yang ditanamkan ke dalam kurikulum pendidikan kita. Jangankan kurikulum, bahkan sistem besarnya juga sudah bebal. Bagaimana turunan yang lebih kecil jika sistem terbesarnya saja sudah bebal?
Masih segar dalam ingatan kita tentang seorang anak SMP bunuh diri gara-gara tidak lulus Ujian Nasional. Ada juga yang karena ketakutan yang begitu besar kahirnya ia mengakhiri hidupnya padahal waktu pengumuman belumlah tiba. Saya tidak akan membenarkan sikap yang diambil oleh para anak-anak tersebut. Tapi ada satu hal yang perlu kita fahami bahwa ternyata sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang memaksa. Selain itu kegagalan-kegagalan dalam pendidikan sangat kentara terlihat. Bagaimana mungkin seorang anak akan melakukan sebuah perbuatan picik dengan bunuh diri kalau pendidikan itu dilaksanakan dengan baik?? Belum lagi yang mengalami depresi jumlahnya sudah tidak terhitung. Yang ada dalam sistem pendidikan kita bukan mendidik tapi ’memaksa
Kalau dulu tawuran itu hanya dikenal pada anak-anak sekolah menengah (SMP dan SMA) sekarang sudah merambah ke kelompok yang lebih ’elit’ lagi. Tawuran menjadi sebuah tingkah para mahasiswa. Kenapa saya katakan tingkah sebab ini adalah penyimpangan watak. Sikap tidak dewasa. Berani kepada sesama yang didominasi oleh egoisme atau berani kepada junior pada saat ospek dengan alasan balas dendam.
Sekolah untuk jadi bodoh seperti yang diungkapkan oleh Ustadz Rahmat Abdullah merupakan sebuah tradisi mengulang kejelekan pendahulu. Sangat baik kalau yang diulang merupakan hal yang mulia dan terpuji akan tetapi yang diulang justeru kejelekan-kejelekan. Kalau dulu para koruptor merampok uang negara secara sembunyi-sembunyi dibalik ketiak penguasa. Sekarang koruptor sudah tidak malu-malu lagi berkomentar di media padahal sudah terbukti bersalah. ”toh kami hanya mengikuti para pendahulu kami, kami hanya ingin mengambil hak kami yang dulu dirampas oleh mereka walau harus merampok uang rkayat juga,” itu barangkali fikir mereka. Walaupun keduanya tetaplah salah, sama-sama mencuri. Pepatah Arab ”rahimallahu assarariqal awwal”(semoga Allah mengasihi pencuri terdahulu) sesungguhnya tidak berlaku di sini.
Seorang Abul Hasan Ali Annadawi, ulama besar India mengatakan terkait dengan buah dari dana besar ummat di negeri-negeri maupun swasta. ”Itu bukan pembangunan, tetapi penghancuran,” Mengapa beliau sampai mengatakan hal seperti ini?? Karena bila ummat Islam yang punya aqidah dan prinsip, da’wah dan risalah, direkayasa sejak kecil untuk menghirup nyawa hidup dari dunia lain yang materialistik, hedonik, kering dan munafik, maka pengkhianatan telah terjadi. di sebagian besar negara-negara Islam, jangankan mendapatkan pendidikan keislaman yang cukup, sekedar memasukkan Sirah Nabawiyah Rasulullah dalam kurikulum sangat dilarang. Alasannya, agar tidak ada tindakan ekstrem dalam beragama. Padahal rujukan harakiyah dan inspirasi perjuangan ummat Islam sesungguhnya dari sejarah Rasulullah dan para sahabat tersebut. Termasuk negeri ini. Kalaupun ada itu masih dalam sekup formal dan sangat dibatasi.
Sesungguhnya sebuah agenda dari rekayasa telah merasuki sistem kita. Dimulai dari para penjajah yang dahulu membagi-bagi negeri muslim ke dalam wilayah jajahan mereka. Sistem itu tertanam. Walaupun kemerdekaan telah diraih namun pendidikan yang diperoleh dari para pendiri negeri ini juga hasil indoktrinasi penjajah. Kita merdeka secara fisik namun belum merdeka secara pemikiran. Sesungguhnya sekolah yang kita jalani saat ini adalah sekolah kebodohan. Perlu tatanan baru dalam pengelolaan dan muatan pendidikan kita. Agar tidak lagi ada korban-korban berjatuhan akibat pembodohan-pembodohan tersebut.
Menurut Muhammad Quthb dalam Manhaj Tarbiyah Islamiyah, pendidikan adalah ’Seni Membentuk Manusia(fannu tasykiilil insaan). Untuk membentuk manusia maka ada dimensi-dimensi yang harus selalu dibentuk yaitu akal, hati dan badan, dengan kata lain pendidikan adalah bagaimana membentuk semua elemen yang menjadi ciri kehidupan seorang manusia kemudian berusaha mengaktualisasikan. Aktualisasi itu sendiri merupakan proses dari pendidikan.
Di negeri ini sudah sangat banyak orang yang pintar secara intelektual namun ternyata yang terbentuk hanya pada dimensi akal saja. Ia tetap bebal seperti halnya Bani Israil yang tetap bebal walaupun Allah telah menunjukkan berbagai kekuasaannya dan menjanjikan kemenangan kepada mereka. Mereka telah mengatakan sebuah hal yang sangat fatal ”pergilah engkau (Musa) berperang bersama Tuhanmu (Allah),” sehingga mereka pun dihukum tersesat pada sebuah padang selama empat puluh tahun. Selama dalam masa hukuman Allah masih tidak menyia-nyiakan mereka, Allah masih sangat bermurah hati dengan menaungi mereka dengan awan sehingga mereka tidak kepanasan, diberi makanan langit ”manna dan salwa”. Namun karena kebebalan mereka masih saja protes, ”wahai Musa, mana mungkin kami bisa hidup dengan makanan yang hanya satu tipe tanpa variasi, cobalah mintakan kepada Tuhanmu jenis makanan yang lain dari buah-buahan dan sayuran yang tumbuh dari bumi.”
Belajar dari kebebalan-kebebalan di atas, maka kita diharapkan untuk tidak ikut menjadi makhluk yang bebal. Sama seperti Hudzaifah bin Yaman yang bertanya bayak hal tentang keburukan kepada Rasulullah bukan untuk berbuat keburukan tapi untuk menghindarinya. Belajar dari sumber inspirasi kita Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Sirah Rasulullah dan Sahabat serta orang –orang shaleh sungguh tidak akan pernah habis. Mereka para pembelajar cerdas, cepat dan ikhlas sepanjang masa.

29 Juni 2010

BERHENTI BERIMAJINASI, TOLAK KEBODOHAN

Imaginasi saya terhenti ketika harus menyaksikan realita yang ada. Imajinasi saya selalu menuntun pada hal-hal yang ideal, indah dan sempurna bahkan lebih dari itu sangat luar biasa. Begitu juga saya yakin yang terjadi pada Anda. Ketika berfikir tentang kehidupan pribadi, kita berfikir dan mengkhayal semua tentang keindahan, tanpa pernah terfikirkan hal-hal buruk. Itu khayalan. Berbeda dengan kebalikan dari khayalan adalah kekhawatiran, yang terfikir adalah kesulitan-kesulitan, kesusahan dan semua yang berkaitan dengan halangan dan rintangan.
Dalam konteks dunia pendidikan, kadangkala kita terlalu terbuai dengan hal-hal yang terlalu ideal. Mengkhayalkan pendidikan negeri kita yang begitu sempurna. Ada banyak terobosan baru dalam pelaksanaan pembelajaran, media pembelajaran yang semakin canggih, tenaga pengajar yang terus ditingkatkan kemampuan dan jenjang strata pendidikannya. Bayangkan saja, kalau dulu orang tamatan SMA bisa mengajar SMA, sarjana bisa mengajar calon sarjana, tapi sekarang guru SD sudah disyaratkan minimal sarjana, jenjang selanjutnya tentu akan terus menyesuaikan. Itu adalah kemajuan-kemajuan dunia pendidikan kita yang harus terus kita dukung dan tingkatkan tentunya.
Tapi, pernahkah kita coba berhenti sejenak mengkhayal. Bermimpi indah terus, walaupun mimpi indah itu yang memang harus terus kita jaga. Sesekali kita khawatir. Khawatir terhadap kondisi yang tidak ideal ternyata pada tataran realita. Seperti pada acara reality show yang baru saja saya saksikan di salah satu televisi swasta. Ada seorang bocah berusia kira-kira delapan tahun, sebut saja namanya Wulan yang terpaksa harus “dikarbit” menjadi dewasa. Pikiran-pikirannya pun mirip orang dewasa, punya keinginan kuat untuk mengenyam pendidikan tapi apa lacur karena orang tua tak punya biaya ia harus berjualan makanan ringan di pinggir jalanan kota. Sebenarnya bukan salah dirinya, orang tuanya juga seharusnya bertanggung jawab, tapi lagi-lagi apa daya kalau orang tua juga tak punya apa-apa dan tidak punya skill dalam hidup.
Menyedihkan memang. Itulah realita yang membuat saya terhenti untuk berimajinasi. Saya harap Anda juga ikut berhenti berimajinasi sejenak. Kita coba untuk berkhawatir durja. Tidak hanya satu orang seperti yang saya yang contohkan di atas. Ada begitu banyak Wulan-wulan lain yang berada disekitar kita. Khawatir terhadap nasib mereka, jangan terpikir di benak kita itu bukan siapa-siapa kita, mengapa kita harus peduli. Dari sisi kemanusiaan, maka sesungguhnya kita telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena membiarkan mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi kaum terdidik, padahal kita mengetahui kondisi mereka. Dari segi agama, bagi ummat Islam ada satu prinsip yang harus dipegang yang berasal dari sebuah hadits Rasulullah yang intinya adalah apabila kita terbangun di pagi hari tanpa terpikirkan kondisi ummat Islam termasuk dalam hal seperti di atas maka dia bukan bagian dari ummat ini. Secara tegas Rasulullah menolak orang yang hanya berucap di mulut sebagai ummatnya tetapi tidak peduli dengan kondisi ummat.
Kita berheneti sejenak untuk mengkhayal indah ria mencoba untuk khawatir sebab bagaimana bangsa ini akan bangkit kalau begitu banyak orang-orang yang tersisihkan padahal mereka begitu potensial. Mereka adalah anak-anak bangsa. Apakah kita tidak takut kelak meninggalkan generasi yang lemah, bukan hanya fisik tapi juga dari aspek pengetahuan dan keilmuannya. Sejenak berkhawatir untuk kembali hidup tapi tidak dengan khayalan, kita akan hidup dengan mimpi indah dan terbaik. Bermimpi bagaimana mereka yang tersisihkan ini nantinya akan menjadi orang-orang yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini. Bermimpi bagaimana anak-anak yang kurang beruntung ini mampu menjadi penggerak ekonomi negeri karena mereka belajar dari kesulitan yang mereka alami.
Saya teringat dengan sebuah sub judul buku “Menjadi Bangsa Pintar” buah pemikiran Heppy Trenggono. “Mengapa bodoh berkelanjutan?” jawabnya simple sekali karena kita mau dibodohi. Sebagian besar kita mengidap penyakit mental indolence, yaitu kondisi mental bangsa yang berfikir dan bersikap atas sesuatu masalah dengan cara meniru pada kebiasaan-kebiasaan sebagaimana yang dilihat, dan akhirnya membentuk mindset. Maka, saran beliau kita harus berubah. Kita harus menanamkan mentalitas PEMENANG. Kalau tidak, maka selamanya kita akan menjadi bodoh dan bodoh. Atau cocok juga bila diketengahkan sebuah lagu kepada kita:
Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk membohongi
Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu
Kita berhenti sejenak. Kita mulai fikirkan bagaimana kita jadi pemenang. Karena hak untuk menjadi pemenang juga hak kita, hak bangsa Indonesia. menjadi bangsa pemenang harus dari masyarakat yang cerdas. Membentuk masyarakat cerdas merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau sebelas tahun yang lalu musuh bersama kita adalah orde baru yang korup dan bertangan besi maka musuh kita sekarang, di tahun 2010 ini dan seterusnya adalah kebijakan pemerintah yang tidak berpijak kepada rakyat dan tindakan yang terus membodoh-bodohi rakyat. Kita lawan kebodohan.

-Elly Sumantri-
Rumah Edukasi
Diantara bangunan-bangunan imajinasi yang bernama kesibukan. Entah apakah kita benar-benar sibuk atau hanya sekedar berpura-pura sibuk untuk tidak melihat sejenak realita yang terjadi.

11 Juni 2010

Sekolah Islam Terpadu: Fenomena Pendidikan Indonesia

Sejarah pendidikan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan modern saat ini yang banyak menggabungkan beberapa unsur sesungguhnya adalah bentuk pengembangan dari sitem pendidikan Indonesia zaman dahulu. Model pendidikan yang sampai saat ini tetap diterapkan sebagaimana aslinya, kemudian ada juga yang mengalami perkembangan yaitu pembauran antara model pendidikan tradisional dengan model pendidikan modern.
Pesantren yang lebih mengedepankan pendidikan Islam adalah model pendidikan tertua di Indonesia sekaligus sebagai cikal bakal model pendidikan modern juga. Sejarah pesantren, seperti yang saya sebutkan di atas tidak adapat dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai perjuangan. Jauh sebelum bangsa Eropa masuk dan menjajah nusantara (Indonesia, Malaysia, Pilifina) pesantren telah ada dan menjadi satu-satunya sistem pendidikan saat itu dan memang disupport oleh pemerintahan Islam saat itu yaitu kesultanan-kesultanan yang berkuasa di daerah-daerah.
Ketika penjajah mulai menduduki beberapa wilayah nusantara, pesantren tidak hanya menjadi tempat mencari ilmu, pesantern juga menjadi tempa pengkaderan para pejuang-pejuang yang akan membebaskan negerinya dari tangan penjajah. Jadilah pesantren dengan masjid sebagai pusatnya menjadi barak-barak militer. Hal ini terus berlanjut ketika sampai Indonesia merdeka. Bahkan laskar-laskar rakyat yang turut berjuang sesungguhnya berasal dari kaum santri dengan semangat jihad fii sabiilillah dan salah satunya adalah Panglima Besar TNI yang pertama yaitu Jenderal Soedirman.
Pada saat itu telah berdiri pula lembaga-lembaga pendidikan lain yang mengadopsi sistem pendidikan Barat. Lembaga pendidikan seperti taman siswa dan lainnya juga menjadi salah satu pencetak generasi pejuang. Hanya saja, karena mengadopsi sistem Barat maka tentunya hawa sekulerisme juga terasa. Dikotomi antara pendidikan agama (Islam) dengan pendidikan umum diberlakukan di sekolah-seklah tersebut sehingga tidak sedikit juga melahirkan tokoh-tokoh pergerakan yang sekuler. Fenomena ini terus berlangsung hingga saat ini karena memang sistem pendidikan kita membedakan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama. Belum ada regulasi untuk mengintegrasikan keduanya.
Akan tetapi, akhir-akhir ini kita begitu terperangah dengan sebuah fenomena yang begitu mencengangkan. Sekolah Islam berdiri dimana-mana. Mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak bahkan Play Group hingga Perguruan Tinggi Islam. Fenomena ini muncul menjelang awal tahun 2000-an, hingga sekarang bagaikan jamur di musim hujan. Yang luar biasa adalah ternyata para peminat sekolah-sekolah Islam ini begitu banyak. Ada apa sebenarnya dengan sekolah-sekolah Islam yang sering disebut dengan Sekolah Islam Terpadu ini? Ada banyak misalkan TK Islam Terpadu (TK IT), Sekolah Dasar Terpadu (SD IT), SMP IT, SMA IT. Apakah ini sebuah bentuk kebosanan masyarakat kita terhadap sistem pendidikan konvensional yang terkesan sekuler dan mendikotomi antara pendidikan umum dengan pendidikan agama? Apakah ini tanda bahwa masyarakat kita sudah sadar bahwa sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang lebih modern dan manusiawi? Ada begitu banyak pertanyaan yang menggelayuti fikiran kita.
Akan tetapi, saya menilai ada beberapa hal yang menjadikan Sekolah Islam Terpadu menjadi sebuah fenomena dalam pendidikan kita. Pertama, secara historis memang bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai religius yang menjadi sumber dan daya kekuatan bangsa ini. Sesungguhnya yang memperjuangkan bangsa ini di garis depan adalah kaum santri yang siap berjuang dan berperang. Tapi, tidak semua ternyata memegang senjata, ada diplomat ulung seperti K.H. Agus Salim, Guru dari para Founding Fathers kita HOS. Cokroaminoto, dua pendidir Ormas besar yang bertujuan untuk kemerdekaan bangsa, K.H. Hasyim As’arie (pendiri NU) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), negarawan seperti M. Natsir atau seorang tokoh militer bintang lima seperti Jenderal Soedirman dan begitu banyak lagi. Mereka adalah para tokoh pesantren dan santri yang berjuang berdasarkan kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Kedua, pada dasarnya manusia selalu ingin kembali kepada fitrahnya. Allah SWT. telah menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik diantara makhluk-makhluknya yang lain yang mampu berfikir. Kecenderungan manusia mempengaruhi apa pilihannya. Setelah sekian lama manusia Indonesia dicekoki dengan sistem sekuler walau disamarkan membuat jiwa bangsa ini memberontak. Upaya-upaya untuk mencerabut bangsa ini dari akar budayanya ternyata tidak berhasil. Masyarakat bosan dengan Sistem Pendidikan Nasional dan model pendidikan umum yang terus memisahkan antara pendidikan agama (Islam) dengan pendidikan umum. Itulah fitrah manusia yang ingin memenuhi relung jiwanya dengan cahaya Allah.
Ketiga, Sekolah Islam Terpadu menawarkan hal yang lebih dibandingkan dengan pendidikan umum. Selain mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, Sekolah Islam Terpadu juga memberikan siswanya skill sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain itu, pola pembelajarannya juga sedikit berbeda dan memang mengakomodir hak-hak siswa sebagai penuntut ilmu. Hal ini sebenarnya mencoba menjawab tantangan zaman yang ke depan akan masuk para era globalisasi dan perdagangan bebas. Anak-anak Indonesia harus sudah dibekali cara-cara manajerial, skill dan sebagainya yang menunjang dirinya untuk mampu bersaing. Tentunya membentuk karakter mereka bukan untuk menjadi tenaga kerja tetapi yang membuka lapangan kerja.
Ketiga hal itulah yang membuat Sekolah Islam Terpadu sangat diminati oleh sekian banyak masyarakat Indonesia saat ini. Semoga kehadiran sekolah-sekolah ini akan memberikan dampak positif bagi ummat untuk kembali sadar bahwa kita harus kembali fitrah kita.Wallahu a’lamu bishshawwab.

Ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang bermaksiat.
Tidak ada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum sebab semuanya adalah ilmu yang berasal dari Allah.

06 April 2010

Apa pun Profesi Anda, Teruslah Berjuang!!!

Kesempatan yang diberikan kepada setiap manusia berbeda-beda. Tidak ada yang tahu kapan Allah akan memberikan kesempatan kepada kita. Kesempatan seringkali kali dating di saat kita tidak siap atau ketika kita siap ternyata kesempatan tak kunjung tiba. Ksemepatan menjadi salah satu rahasia Allah yang harus selalu kita persiapkan. Misalkan, kesempatan sakit, ada banyak orang yang tidak siap dalam menghadapi kesempatan sakitnya dan seringkali mengeluh dengan penyakit-penyakit itu. Sakit yang seharusnya menjadi kesempatan kita untuk melunturkan dosa ternyata menjadi tambahan dosa. Duh, alagkah kasihannya seseorang yang sudah menanggung beban penyakit ditambah lagi dengan beban dosa karena tidak sabar dengan sakitnya.
Atau seseorang yang sudah lama menantikan rezeki dari Allah, berharap menjadi orang yang kaya raya tetapi Allah belum juga mengabulkan permohonannya. Mungkin usahanya masih kurang, atau memang Allah ingin mengujinya dan masih rindu mendengar do’a-do’anya. Penilaian kesiapan sesungguhnya hanyalah milik Allah. Kadangkala kita merasa siap tapi Allah menilai kita belum siap dan memang Dia lebih mengetahui semua itu.
Berkaitan dengan kesempatan di atas maka begitu juga halnya dengan kesempatan berkarya. Kesempatan berkarya maksudnya adalah kesempatan untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan diri semaksimal mungkin sehingga mengahsilkan sesuatu yang bermanfaat bagi siapa saja. Terlepas hasil karya itu besar atau kecil karena Allah tak melihat besar atau kecilnya tapi menilai niat dan prosesnya. Tah, orang yang berniat baik Allah telah menacatatnya dan memberinya empat pahala kebaikan dan sebaliknya orang yang berniat jahat tidak akan Allah catat sebagai satu dosa kejahatan sampai ia benar-benar melaksanakan niatnya tersebut. Itulah keadilan Allah terhadap balasan niat.
Kembali ke persoalan kesempatan dan karya maka kita akan diingatkan dimana posisi kita saat ini. Posisi yang saya maksud bisa jadi pekerjaan, jabatan, organisasi dan lain-lain. Tapi saya akan lebih menekankan pada para professional artinya adalah orang-orang yang sudah bekerja dan menggeluti profesi tertentu. Ada banyak jenis profesi. Kalau orang-orang pendidikan mengatakan hanya ada dua profesi di dunia ini, Profesi Guru dan Profesi Non Guru. Para dokter pun juga mengatakan hanya ada dua profesi, Profesi Dokter dan Non Dokter, dan sebagainya.
Saya akan membaginya lebih luas dan lebih adil menurut saya, juga tetap sama dibagi dua. Profesi Kebaikan dan Profesi Kejahatan. Adil kan?? Apakah dia mau jadi guru, dokter, hakim, pengacara, polisi, tentara, pengusaha, pekerja pabrik, petani, pedagang, nelayan dan banyak lagi selagi dia melakukan kebaikan maka ia digolongkan ke dalam profesi kebaikan. Sebaliknya bila orang-orang yang bergerak pada pekerjaan di atas bekerja untuk kejahatan dan kerusakan maka ia digolongkan ke dalam profesi kejahatan. Simple dan jelas bukan??
Saya teringat pada kisah seorang dokter yang ditempatkan pada suatu daerah yang amat terpencil. Belum ada penerangan listrik. Ditambah sang isteri yang berasal dari keluarga yang berkecukupan yang tidak terbiasa dengan kondisi apa adanya dan bisa digolongkan masih sangat tertinggal seperti itu. Tapi lambat laun mereka dapat menyesuaikan diri dan terbiasa. Sang Dokter pun mampu menjadi pelopor membuka keterisolasian daerah tersebut dan pada akhirnya berkat perjuangannya daerah tersebut terus berkembang dan menjadi daerah yang maju. Apa ibroh yang bisa kita petik dari kisah di atas?? Dokter tersebut tidak hanya melaksanakan kewajibannya sebagai tenaga medis di daerah tersebut tapi ia juga berjuang menjadikan daerah tersebut maju dan keluar dari keterisolasian. Semestinya itulah yang harus kita lakukan sebagai para professional. Para professional kejahatan dan kerusakan saja tekun menjalankan misi mereka apalagi seharusnya kita yang punya tujuan yang jelas untuk kebaikan. Semestinya juga serius dan bekerja lebih.
Setidaknya pertahankanlah prinsip-prinsip yang kita pegang. Kalau dulu semasa mahasiswa kita sering berteriak dan beretorika tentang idealisme, maka peganglah prinsip idealisme itu dan sesuiakan dengan kondisi dimana kita berada karena idealis juga butuh seni. Bukan idealisme buta yang menjadikan orang-orang menjauh dari kita. Kalau kita mampu menularkan sikap idealisme itu kepada orang lain kenapa tidak. Maka itulah yang dimaksud dengan karya nyata. Karya yang bukan dalam bentuk fisik tapi dalam bentuk pemikiran. Bahkan bisa jadi hal itu menjadi lebih baik dari karya fisik.
Saya akan berikan satu contoh lagi, lagi-lagi yang saya jadikan contoh adalah dokter (mohon maaf yach para dokter) karena memang saya lebih banyak berinteraksi dengan para pejuang pendidikan (guru) dan para pejuang kesehatan (tenaga medis) yang ditempatkan di daerah-daerah. Ini kisah seorang dokter yang berusaha menjaga prinsip hidupnya. Beliau juga ditempatkan sebagai dokter Puskesmas pada suatu daerah terpencil. Satu tahun menjadi CPNS maka tibalah saatnya untuk menjalani pra jabatan (prajab). Ada salah satu peraturan dari panitia prajab bahwa setiap wanita berjilbab yang mengikuti prajab harus memasukkan jilbabnya ke dalam kemeja. Karena dirasa aneh dan bertentangan dengan prinsip serta apa yang ia dapat selama ini maka sang dokter wanita ini mengajukan protes. Ia tidak mau mematuhi satu peraturan ini. Perdebatan panjang terjadi, dan akhirnya dia dapat dispensasi dengan syarat tidak mengajak yang lain. Di tengah perjalanan prajab sang dokter masih ternyat masih tetap berusaha mengajak yang lain untuk melakukan hal sama seperti apa yang dia lakukan.
Apa hikmah yang dapat kita petik dari cerita di atas?? Mempertahankan prinsip, memahamkan orang lain tentang suatu kebaikan dan berusaha mengajak orang lain untuk menjalankan kebaikan tersebut. Itulah makna perjuangan yang sesungguhnya.
Menjadi seorang professional bukan berarti membuat kita menjadi stagnan. Justeru menjadi seorang profesinal seharusnya menjadikan kita lebih mudah bergerak karena kita berhubungan langsung dengan manusia lain. Terjuan langsung dan mendengarkan keluh kesah, harapan-harapan, serta banyak hal lain dari mereka. Kontribusi nyata itu adalah saat kita bisa bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka.
Para guru dapat memberikan pendidikan terbaik bagi anak didiknya dengan dimasukkan nilai-nilai da’wah di dalamnya. Tenaga medis dapat memberikan pencerdasan dan melakukan da’wah melalui ilmu-ilmunya. Para hakim dan jaksa dapat menyelesaikan kasus dengan adil dan bijaksana. Pengusaha dan pedagang harus bekerja dan berusaha secara jujur. Terapkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Menjadi polisi haruslah menjadi polisi harapan masyarakat dan benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Seorang tentara harus meniatkan dirinya berjihad di medan pertempuran dan bercita-cita mati sebagai syahid, serta ratusan profesi lainnya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dalam niat dan bingkai kebaikan. Insya Allah akan diberikan kemudahan. Kalau dulu kita belajar maka saat ini kita mempraktekan ilmu yang kita dapat. Dulu kita jadi aktivis mahasiswa atau Aktivis Da’wah Kampus (ADK) maka saat ini kita menjadi Aktivis Da’wah Kota/Kampung (ADK). Wallaahu a’lamu bishowwab.
Teruslah berjuang saudara-saudaraku!!

Kekuatan Cita-cita…

Seorang sahabat dengan gagahnya mneghunus pedangnya menyongsong sepasukan tentara Romawi. Motivasinya terlecut karena perkataan seorang yang mulia. Hanya dengan kata-kata “…suatu saat pasukan Romawi akan dikalahkan di suatu tempat yang paling rendah di muka bumi ini. Tentaranya adalah tentara terbaik dan pemimpinnya adalah pemimpin yang terbaik pula.” Kata-kata yang ternyata baru terwujud tujuh abad kemudian. Tetapi satu hal yangperlu digaris bawahi. Kekuatan cita-cita.
Sama halnya ketika orang-orang muslim sedang dilanda suasana mencekam, lapar, serta cuaca musim dingin kota Madinah yang menusuk menjelang perang Ahzab. Rasulullah melalui pukulan cangkulnya ke batu yang tidak mampu dipecahkan oleh para sahabat memberikan harapan yang begitu kuat kepada kaum muslimin. “Allahu Akbar!!” Pekik takbir Rasulullah hingga tiga kali. Para sahabat pun keheranan dan bertanya, “ada apakah wahai Rasulullah?” Sang Rasul menjawab, “saat aku memukulkan cangkulku ke batu maka terperciklah bunga api, dari sana Allah memperlihatkan kepadaku pintu-pintu kerajaan Romawi, kunci istana Persia serta istana-istna putih kota San’a.” samapai akhirnya para sahabat mematrikan perkataan Rasulullah ini di hati sanubari mereka.
Tak lama kemudian kurang dari kurun waktu seratus tahun semua wilayah Arab dapat dibebaskan. Persia menjadi satu wilayah resmi pemerintahan Islam setelah dibebaskan pada masa Umar bin Khattab. Sebagian wilayah Romawi juga dapat ditaklukkan sehingga Palestina sebagai kota suci ketiga ummat Islam juga ikut dibebaskan. Bahkan pasukan muslimin di bawah kepemimpinan Gubernur Mesir Musa bin Nushair dan Panglimanya yang terkenal Thariq bin Ziyad mampu membawa panji Islam hingga ke benua gelapa Eropa yaitu wilayah Andalusia. Panaklukan spektakuler lainnya sepanjang sejarah adalah perebutan wilayah Konstantinopel (Turki) sebagai basis terakhir kekaisaran Romawi Timur di bawah komando Panglima terbaik Sultan Muhammad Alfatih Murad sesuai hadits Rasulullah. Dengan begitu habislah kekuatan kekaisaran Romawi Timur. Sisanya tinggal Romawi Barat yang berada di Eropa (Vatikan) hingga saat ini. Hal yang paling menarik adalah bahwa kebiasaan setiap bangsa penakluk akan berlaku sewenang-wenang kepada rakyat taklukannya, tapi ini tidak terjadi pada penaklukan kaum muslimin. Rakyat dapat hidup tenang dan terjamin keamanan, jiwa dan hartanya serta agamanya. Itulah perbedaannya. Sampai ada seorang wanita yang melakukan perjalanan sendiri melewati gurun pasir tandus dengan jarak tempuh yang juga sangat jauh tapi ia aman dalam perjalanan itu. Bahkan, seekor anjing pun akan mendapatkan haknya. Itulah keadilan pemerintahan Islam.
Itu semua terjadi karena kekuatan cita-cita. Cita-cita menjadi sebuah tangga untuk mencapai kenyataan sebenarnya. Pepatah popular mengatakan, “Gantungkanlah cita-cita setinggi langit,” itu berarti bahwa setiap orang harus punya cita-cita dan teruslah untuk mengejarnya. Islam pun mengatur soal cita-cita, bahkan cita-cita tertinggi itu adalah mati di jalan Allah. Sebuah tuntunan yang begitu mulia. Ketika kita menjadi seorang pendidik, maka dedikasikan semuanya hanya untuk Allah sehingga jalan yang kita ambil adalah jalan-Nya Allah. Atau sebagai seorang pengusaha, jadilah pengusaha yang menerapkan nilai-nilai Islam dalam menjalankan usahanya. Jadi seorang dokter atau tenaga medis, maka ambillah setiap ibroh dari yang kita dapat dalam praktek-praktek kita. Jadilah dokter yang berjuang untuk Allah walaupun misi lainnya untuk kemanusiaan.
Namun, ada juga yang perlu diperhatikan. Ada perbedaan yang mendasar antara cita-cita dan angan-angan. Cita-cita menjadi ruh dalam setiap aktivitas kita. Motivasi kita biasanya berdasarkan atas niat dan harapan-harapan kita. Cita-cita bukan hanya dibayangkan kemudian bermimpi tanpa ada upaya untuk mencapainya. Suatu cita-cita dibutuhkan plan jangka panjang, kemudian grand desainnya seperti apa? Prosesnya bagaimana?? Tujuan akhirnya apa?? Pada akhirnya akan ada peta konkrit dari cita-cita besar kita.
Berbeda dengan angan-angan atau khayalan. Sungguh khayalan atau angan-angan sangatlah berbahaya. Bahkan Rasulullah mengingatkan untuk tidak memanjangkan angan-angan.” Angan-angan yang dimaksud adalah memikirkan sesuatu yang tidak mungkin ada, ditambah lagi dengan memang tidak ada upaya untuk merealisasikannya. Tidak ada pijakan yang jelas dalam melaksanakannya sehingga diibaratkan orang yang berkhayal atau berangan-angan itu bagaikan mimpi disiang bolong.


Cita-cita sebagai Ruh
Tentu yang saya maksudkan di sini bukanlah ruh dalam pengertian yang sebenarnya. Akan tetapi cita-cita akan menjadi motivasi terkuat seseorang mengerjakan segala aktivitasnya. Apabila seseorang cita-cita tertingginya adalah untuk menggapai ridho Allah maka itulah ruh aktivitasnya. Atau cita-cita karena riya’ dan sum’ah maka ruhnya tentu untuk pamer.
Ruh, ia adalah energy yang menggerakkan raga makhluk hidup. Tanpa ruh seseorang tidak akan dapat hidup. Seseorang punya wujud yaitu jasad tapi apabila ruhnya dicabut maka jasad tiada arti karena ia tak akan berfungsi. Begitu juga dalam hidup ini cita-cita menjadi ruh. Tanpa cita-cita manusia bagai tanpa ruh. Manusia berkehendak karena memiliki cita-cita. Manusia belajar, bekerja dan bergerak Karen aia punya harapan. Manusia membentuk sebuah keluarga karena memiliki cita-cita. Semuanya berkaitan erat dengan cita-cita. Tanpa cita-cita manusia adalah mayat hidup.

Cita-cita sebagau sumber energy
Energy solar menjadi salah satu energy yang menggerakkan kehidupan di bumi. Tentu itu semua atas izin Allah dan memang sudah ketetapannya. Tanpa adanya energy matahari atau sebualn saja matahari berhenti dari aktivitasnya maka akan terjadi kehancuran di jagat raya ini. Satu benda di jagat raya ini bermasalah maka semuanya akan terguncang karena akan terjadi ketidak stabilan.
Begitu juga dengan cita-cita, ia bagaikan matahari yang menjadi sumber energy kehidupan. Cita-cita bagaikan makanan pokok bagi aktivitas kita. Ketika motivasi untuk menggapai cita-cita itu melemah maka secara otomatis energy kita dalam menjalankan aktivitas kita juga akan melemah.

Cita-cita adalah eksistensi hidup
Cita-cita adalah ciri dan karakter hidup. Sebagaimana pada poin sebelumnya saya tuliskan bahwa orang yang tidak memiliki cita-cita bagaikan mayat hidup. Namun pada poin ini akan lebih menekankan pada pengakukan dari orang lain. Sejak kecil kita sudah diajarkan dan ditanya ingin bercita-cita sebagai apa. Maka itulah pengakuan lugu dari kita ketika itu. Setelah dapat berfikir lebih maka kita akan memilih cita-cita yang realistis. Orang-orang akan kembali mempertanyakan itu. Sekarang adalah apakan kita akan dengan menjawab apa cita-cita kita. Karena sesungguhnya jawaban kita di waktu kecil dengan jawaban kita saat ini memiliki arti yang berbeda. Jawaban kita saat ini adalah bagian dari pengakuan orang lain terhadap diri kita.

Cita-cita Menutup Ruang Ketidak Produktifan
Produktifitas sangatlah dipengaruhi oleh isi dalam hati manusia. Manusia yang produktif adalah manusia yang punya visi dan misi hidup yang jelas. Visi dan misi itu akan sangat erat kaitannya dengan cita-cita hidup. Ketiganya adalah adalah sesuatu yang tidak akan penah dipisahkan. Seseorang yang tidak punya cita-cita hidup dapat dipastikan tidak punya visi dan misi. Atau sebaliknya orang yang tidak punya visi akan kebingungan apa cita-citanya.
Ketika visi dan cita-cita hidup seseorang jelas. Maka alamatnya adalah misi yang diturunkan juga akan konkrit. Apa yang yang akan dilakukan tentu sudah dipikirkan. Misi itulah yang akan jadi acuannya dalam hidup. Misi yang baik akan membawa pada tujuan yang baik, sebaliknya misi yang kurang baik atau dijalankan setengah-setengah bisa jadi membawa kegagalan atau sampai pada tujuan tapi tidak baik dan tidak sempurna. Maka yang dibutuhkan adalah produktifitas penuh. Tutup semua celah ketidak produktifan dalam hidup dengan visi, cita-cita dan misi hidup yang jelas. Jadilah manusia yang visioner.
Terakhir, jadikan cita-cita dan visi hidup sebagai tujuan akhir kita. Dengan begitu kita akan terpacu untuk mencapainya. Tujuan akhir seorang muslim adalah Allah SWT. Wallahu a’lamu bishowwab.

09 Maret 2010

INGATKAN JIKA AKU SALAH


Ketika Cinta Tak Berbuah Surga

Di saat sang mentari mulai kembali ke peraduannya dan orang-orang pun juga mulai kembali ke tempatnya masing-masing. Begitu juga denganku yang sedang duduk di antara puluhan orang-orang di angkutan Bus Rapid Trans Palembang. Tujuanku tentunya ke rumah yang begitu kurindukan. Tidak hanya udaranya dan suasana yang masih natural akan tetapi orang-orang yang ada di rumah tersebut yang lebih-lebih aku rindukan.
Diperjalanan aku mendapatkan SMS dari seorang sahabat yang mau ”curhat”. Sedikit kaget memang karena sangat jarang ia mau menceritakan persoalan pribadinya Ia bercerita bahwa dirinya ditandai pada sebuah catatan jejaring sosial facebook. Mulanya aku menganggap biasa saja. Tapi lama-kelamaan sepertinya cerita temanku tersebut cukup serius.
Sebut saja namanya Fateeh (bukan nama sebenarnya). Dirinya mengenal seseorang yang bernama Zahrah dan anehnya mereka tak pernah bertemu hingga saat ini, padahal bisa dibilang mereka sangat ”akrab”. Entah apakah itu perasaan pribadi Fateeh ataukah memang itulah yang sebenarnya. Perkenalan mereka berawal dari sebuah sms yang dikirimkan oleh Fateeh kepada Zahrah untuk mencoba mendekati seorang adik kelas Fateeh waktu SMA yang sekarang sedang belajar di kota Y, sebut saja namanya Dini. Memang permintaan ini benar-benar tulus karena Dini sekarang sedang terserang virus Liberalisme yang sedang menggerogoti dirinya padahal dia tahu Dini itu adalah seorang yang potensial. Dinilah yang menggantikan fateeh untuk mengurus OSIS dan Rohis ketika Fateeh telah selesai dari SMA.
Sebenarnya Fateeh bukanlah pribadi yang istimewa, bila dibandingkan dengan Zahrah tentu ia tak ada apa-apanya. Dari segi fisik dan tampang sangat biasa-biasa saja. Ekonomi juga biasa saja dan pas-pasan. Kepintaran apalagi. Hanya satu yang punya, semangat dan cita-cita. Semangatnya bukan warna merah karena merah akan membakar tapi semangatnya adalah semangat biru yang menaungi dan menyejukkan. Menaungi seperti langit dan menyejukkan seperti air. Cita-citanya pun cita-cita biru, menjadi salah satu bagian dari pembangun peradaban.
Intensitas komunikasi ternyata membawa persoalan lain. Lama-kelamaan karena pembicaraan bukan hanya sekedar bagaimana ”merehabilitasi” Dini, tapi juga sampai pada hal yang bisa dianggap tidak penting bagi orang lain tapi sebenarnya penting bagi Fateeh karena ia sendiri tak ada tempat untuk menceritakan semuanya. Walaupun ia punya segudang teman, tapi itulah dirinya. Teman berceritanya paling juga jalanan kota Palembang yang panjang, panasnya terik mentari di bawah garis khatulistiwa ini, atau juga bisingnya suara bus-bus yang terus menderum dan kejam dengan asap knalpotnya yang sering membuat paru-paru terganggu dan terbatuk-batuk.
Ternyata, Zahrah merasa tak nyaman dengan kondisi itu. Sebenarnya Fateeh menyadari persoalan itu. Hanya saja ia tetap berdalih dia butuh teman tempatnya bercerita semuanya.
Aku sedikit tersenyum mendengar kisah tersebut. Ternyata komunikasi intens yang selama ini terjadi membawa persoalan yang tak sepele. Persoalan yang bisa jadi akan mengganggu hubungan persaudaraan keduanya. Dasar Fateeh yang keras kepala, dari awal dia sebenarnya sudah menyadari hal itu, hanya saja ia menganggap itu biasa-biasa saja.
Tapi, memang benar apa yang dikatakan Zahrah bahwa syaiton bisa masuk pada cela-cela manapun bahkan keburukan bisa tumbuh di ladang-ladang kebaikan seperti benalu kecil yang tanpa sadar tumbuh di sebatang pohon besar yang dapat menaungi dan tempat berteduh orang-orang yang lewat sehingga lama-kelamaan pohon rindang dan besar tersebut dapat mati akibat benalu yang selalu merampas makanannya. Kira-kira seperti itulah analogi sederhananya. Bisa jadi niat yang semulanya baik tanpa disadari tumbuh benih-benih keburukan yang ditiupkan oleh syaiton sehingga ia terus menggerogoti kebaikan itu yang pada akhirnya akan berubah menjadi kejahatan. Kejahatan yang terselubung, atau istilah Zahrah kemaksiatan yang berbaju da’wah. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Pada paragraf akhir dalam catatan tersebut, Zahrah meminta kepada Fateeh untuk menjaga dirinya dari tipu daya syaiton dalam artian jangan sampai komunikasi yang sering dilakukan menjadi celah untuk syaiton menyusup dan merusak hati. Bukankah syaiton sanagat licik, ia meniupkan kejelakan dengan rupa kebaikan sehingga kita tanpa sengaja dan mengangap itu baik meneruskan langkah syaiton tersebut. Sebaliknya syaiton menakut-nakuti kita ketika hendak berbuat kebaikan sehingga kita ragus dan bisa jadi meninggalkan perbuatan baik tersebut. Wallahu a’lamu bishowwab...
Terakhir yang ingin disampaikan Fateeh, ”Engkau tetap saudariku, maafkanlah segala khilaf dan salahku dan terima kasih atas koreksinya. Insya Allah kita akan sama-sama menjaga semoga tidak tertipu daya syaiton. Agar persaudaraan ini tetap terjaga maka senantiasa senandungkanlah do’a perekat yang telah diajarkan kepada kita semua. Semoga tetap istiqamah....!!

Banyuasin, 6 Maret 2010

Mohon maaf apabila ada kesamaan nama. Kisah ini seperti diceritakan dan disetujui oleh Fateeh kepada Elly Sumantri