29 Mei 2009

Sirriyah dan Amniyah Dalam Dakwah

Oleh: Elly Sumantri


“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS Yusuf, 12/111).

Allah SWT menyatakan dengan tegas dalam ayat ini: 1) bahwa kisah-kisah para Nabi dan Rasul ‘alaihimus shalatu was salam terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal, 2) bahwa Al-Qur’an bukan berisi kisah-kisah yang dibuat-buat melainkan membenarkan kitab-kitab sebelumnya, 3) bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu dan menjadi hidayah dan rahmat bagi kaum mu’minin dan mu’minah.
Berkata Imam Abu Ja’far at-Thabari rahimahuLLAH dalam tafsirnya [1]: Allah SWT mengingatkan bahwa dalam kisah Yusuf as dan saudaranya ini terdapat pelajaran bagi orang yang berakal dan agar mereka mengambil pelajaran darinya dan nasihat agar mereka mencamkan nasihat tersebut. Selanjutnya Imam at-Thabari menyebutkan beberapa riwayat yang menyatakan bahwa kisah-kisah tersebut hanya menjadi pelajaran bagi Yusuf as dan saudara-saudaranya saja (bukan bagi kita), namun beliau (Imam at-Thabari) membantahnya karena dalil dalam ayat bersifat umum kepada semua ulil-albab. [2]
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya [3] bahwa makna (tashdiq alladzii bayna yadayhi) adalah: Al-Qur’an ini membenarkan hal-hal yang shahih (dari ajaran dan kisah nabi terdahulu) dan menghilangkan hal-hal yang menyimpang, perubahan dan penggantian serta menetapkan hukum nasakh (yang dihapus) maupun hukum taqrir (hukum yang ditetapkan). Lebih jauh beliau rahimahuLLAH menjelaskan [4] bahwa makna (tafshiila kulla syai’in) bermakna menjelaskan semua yang halal dan haram, semua yang mahbub dan makruh dan hal-hal yang selainnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya [5] wallahu ‘almu bish shawab.
Setelah itu semua maka ketahuilah wahai al-mu’minun wal mu’minaat bahwa Allah SWT Yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui telah menyebutkan dalam firman-Nya bahwa metode dakwah baik secara sirriyyah maupun ‘alaniyyah keduanya merupakan metode dakwah yang shahih dan diakui di dalam Al-Qur’an, dan tidaklah yang mencelanya kecuali orang yang jahil dan ghullat (ekstrem) dari kelompok khawarij-jadiidah (khawarij gaya baru) yang dengan mudah mencela dan memvonis kelompok lain tanpa dilandasi tabayyun (check) dan ta’akkud (re-check) karena hiqd dan hasad yang telah bersarang dalam hati mereka, naudzubillahi min dzalikas shifah.
Setelah kita memahami tafsir ayat di atas, maka marilah kita bahas pula kandungan dan tafsir ayat di bawah ini:
“Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (QS Nuh, 71/8-9)
Bahwa ayat di atas digambarkan bagaimana berbagai metode dakwah telah ditempuh oleh Nabi Nuh as dalam mendakwahi kaum dan ummatnya. Nuh as adalah 1 diantara ‘ulul-’azmi minar rusul (Rasul-rasul yang memiliki ‘azzam yang kuat yang merupakan Rasul-rasul yang paling tinggi derajatnya disisi Allah SWT [6]), dimana beliau ‘alaihish shalatu was salam telah melakukan berbagai metode dalam dakwahnya baik sirriyyah maupun ‘alaniyyah.
Berkata Imam at-Thabari [7] bahwa makna Asrartu Lahum Israra adalah: Hanya antara Nuh as dengan kaumnya secara rahasia. Berkata Imam Al-Qurthubi [8] bahwa maknanya adalah Nuh as mendatangi mereka satu persatu ke rumah-rumah mereka. Sementara Imam An-Nasafi [9] menyebutkan bagaimana Nuh as mengoptimalkan semua potensi dan semua cara dalam berdakwah, pertama beliau as mendakwahi kaumnya secara rahasia siang dan malam, lalu beliau as mendakwahi mereka secara terang-terangan, kemudian beliau as menggabungkan cara rahasia dengan cara terang-terangan, demikianlah cara ber-amar ma’ruf nahyul munkar, hendaklah dimulai dengan rahasia dan lembut lalu jika tidak berhasil maka barulah menggunakan cara terang-terangan dan tegas.
Imam al-Maqrizi dalam kitabnya [10] menyitir pendapat ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab dan Ibnu Ishaq tentang waktu antara awal kenabian (turunnya QS Al-’Alaq di gua Hira’) sampai turunnya ayat Fashda’ Bimaa Tu’maru Wa A’ridh ‘Anil Musyrikiin [11] sampai pada Wa Andzir ‘Asyiiratakal Aqrabiin [12] dan ayat Qul Innii Anan Nadziirul Mubiin [13] adalah 3 tahun, Al-Baladziri [14] menyebutkan 4 tahun. Ada pula beberapa pendapat yang menganggap masa terputusnya wahyu tersebut sekitar 40 hari, 15 hari atau bahkan 3 hari [15].
Dalam sirah [16] disebutkan saat Abubakar ra memulai dakwah maka ia mulai mengajak kepada ALLAH dan Islam, yaitu orang yang diyakinkannya bisa merahasiakan dan mendengarkan dakwah, melalui dakwahnya maka masuk Islamlah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dalam riwayat masuk Islamnya Ammar ra diantaranya disebutkan [17]: … aku melihat Rasulullah SAW sedang bersembunyi karena dimusuhi kaumnya… Bukti lain atas masalah ini ialah perkataan Imam Ibnu Hajar dalam syarahnya atas Shahih Bukhari [18], beliau menyebutkan bahwa timbulnya perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu masuk Islam disebabkan masing-masing sahabat tidak tahu siapa saja yang sudah Islam. Bukti lain dakwah Nabi SAW secara rahasia pada periode awal tersebut adalah kisah masuk islamnya segolongan Jin yang diriwayatkan dalam hadits shahih [19] yaitu saat Nabi SAW mengumpulkan para sahabatnya di luar Makkah.
Dalam sunnah Nabi Muhammad SAW terlihat bahwa fase dakwah sirriyyah berakhir setelah Nabi SAW mendapatkan jaminan keamanan dari Allah SWT [20]. Demikianlah yang harus diikuti, yaitu pertimbangan sirriyyah dan ‘alaniyyah dalam berdakwah adalah keamanan dan perkiraan sampai serta diterimanya dakwah itu sendiri, setelah dakwah aman dilakukan secara jahriyyah, maka wajib bagi para da’i menyampaikannya secara jahriyyah, dan itulah yang dilakukan oleh para da’i Al-Ikhwan sesuai dengan as-sunnah yang shahih sampai saat ini, waliLLAHil hamdu wal minah.
Jika dikatakan bahwa peristiwa sirriyyah itu telah dihapuskan (di-nasakh) dengan ayat Wa Andzir ‘Asyiiratakal Aqrabiin [21] dan ayat Yaa Ayyuhar Rasul Balligh Maa Unzila Ilayka Min Rabbika [22], maka saya katakan bahwa ayat ini sama sekali tidak menasakh dakwah sirriyyah, selain karena dakwah sirriyyah merupakan cara dakwah yang diakui dalam Al-Qur’an dan tidak pernah dihapuskan hukumnya, selain itu nabi SAW-pun pernah melakukan dakwah sirriyyah ini sekalipun setelah ayat-ayat di atas diturunkan. Seperti saat peristiwa bai’ah Aqabah pertama [23], pada saat janji setia yang bukan janji untuk berperang ini beliau SAW melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Demikian pula saat peristiwa ‘Aqabah yang kedua [24], yang disebut sebagai janji setia untuk peperangan [25] juga dilakukan di malam hari dan secara sembunyi-sembunyi [26], bahkan sesama suku Aus dan Khazraj yang musyrik sama sekali tidak saling tahu [27]. Saat peristiwa hijrah sebagian besar sahabat ber-hijrah secara sembunyi-sembunyi [28], bahkan beliau SAW-pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi [29] walaupun sebagian sahabat ra ada pula yang melakukannya secara terang-terang-an [30]. Demikianlah baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan adalah bagian dari metode dakwah, keduanya dapat dilakukan sesuai dengan maslahat dakwah.
Dalam beberapa riwayat tersebut di atas nampak jelas tentang bahwa tahapan antara sirriyyah dan ‘alaniyyah dalam dakwah tersebut bukan merupakan bid’ah yang dibuat-buat tapi merupakan sunnah yang shahih, ia merupakan sunnah para anbiya’ wal mursalin shalawatuLLAHi was salamu ‘alayhi ajma’in. Tidak boleh diingkari oleh seorang muslim yang mu’min kepada kitabuLLAH dan mengikuti atsar salafus shalih ridhwanallahu ‘alayhi ajma’in, kalaupun terjadi perbedaan maka perbedaan tersebut semata-semata dalam memahami kapan kedua metode tersebut dilakukan dan bagaimana ia dilakukan, dan hal ini merupakan lapangan ijtihad yang tidak dihalalkan bagi mereka yang berbeda pendapat untuk memaksakan pendapatnya, apalagi sampai memvonis bid’ah bagi yang berbeda.


Amniyah ad Da’wah
Kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar di bawah komando Rosululloh tak lepas dari peran-peran intelejen dan keteguhan menjaga rahasia yang dilakukan oleh Rosululloh dan para sahabat. Betapa berharganya data dan informasi saat itu sampai Rosululloh beberapa kali mengutus sahabat untuk melakukan pengintaian, penyusupan dan penggalian informasi, begitu juga Abu Sufyan yang memimpin pasukan Quraisy melakukan hal yang sama untuk mengukur kekuatan kaum muslimin. Data dan informasi tersebut kemudian diolah untuk menentukan strategi apa yang harus dijalankan agar kemenangan dapat diraih. Berkat kecerdikan Rosululloh dalam mengolah data, mengkoordinasikan pasukan dan komando yang jelas maka perang Badar pun dimenangkan kaum muslimin.
Dakwah kita hari ini harus bercermin pada apa yang pernah dicontohkan Rosulullah. Dalam buku Manhaj Haraky dikenal istilah Sirriyatu Tandzim wa Jahriyatu Dakwah. Yaitu strategi penataan yang dirahasiakan tetapi produk seruan dakwah yang terbuka dan terang-terangan. Ketika Rosulullah SAW hijrah ke Madinah maka kerahasiaan penataan Dakwah tetap dijaga. Terutama dari golongan munafik dan Yahudi.
Seorang kader hendaknya menguasai keterampilan intelejen yang meliputi: teknik pengintaian, pengumpulan informasi, menjaga rahasia (amniyyah), menerapkan strategi aksi sampai akhirnya memenangkan pertarurangan. Amniyyah adalah memberikan jaminan keselamatan terhadap gerakan Islam dari segala hal yang membahayakan, baik yang timbul dari individu, kelompok atau dari pemerintahan yang dzolim. Adanya kerahasiaan dalam sebuah pergerakan dakwah adalah hal yang mutlak. Tidak semua hal dapat dipubikasikan ke masyarakat. Selain karena kondisi pemahaman masyarakat yang masih terbatas, faktor musuh-musuh dakwah juga harus mendapat perhatian. Aktivitas penyerapan informasi dan rencana aksi yang dijalankan menuntut nilai amniyyah yang sangat besar. Sekali terbongkar, maka gagallah semua rencana dan target. Namun jika ia terjaga maka strategi menghadapi makar musuh dapat dilakukan. Dengan demikian keselamatan gerakan dan pelaku dakwah tetap terjamin.
Secara umum Amniyyah dapat dibagi dalam dua hal. Pertama, amniyyah yang menyangkut struktur dakwah.. Seorang kader, apalagi pengurus, harus mampu mengamankan data-data penting, strategi aksi, dan kondisi internal struktur agar tidak bocor kepada pihak lain. Kalau sampai bocor, akan sangat mudah bagi musuh membaca peta kekuatan kita dan mengalahkan kita.
Kedua, amniyyah yang menyangkut pribadi kader dakwah. Seorang akhwat pernah mengeluh, ketika apa yang selama ini menjadi persoalan pribadinya tiba-tiba sudah menjadi isu publik. Seorang kader pelaku dakwah tentu memiliki berbagai persoalan pribadi, baik yang berhubungan dengan keluarga, keuangan, pekerjaan dan lainnya. Jika hal itu menjadi rahasia pribadinya, maka tentu tidak etis jika hal itu disebarluaskan. Ketika rahasia pribadi sudah terbuka, maka akan melemahkan izzah (harga diri) dan kepercayaan diri yang bersangkutan. Secara langsung akan berdampak pada kinerja dakwahnya, bahkan sangat mungkin akan menyebabkan futhur (turunnya semangat berdakwah) dan insilakh (keluarnya seorang kader dari barisan dakwah). Naudzu billahi min dzalik.