Dia bergelimang harta, tampan dan perlente. Bahkan bau harum minyak wanginya dapat tercium dari jarak yang cukup jauh dari tempatnya berada. Seorang yang penuh gairah, semangat kepemudaan. Orang tuanya sangat memanjakannya serta menjadi idaman gadis-gadis Quraisy seusianya.
Tapi, kondisi itu adalah pada waktu dia belum memeluk Islam. Ketika pemuda tersebut masuk Islam semua kemewahan itu ia tinggalkan. Sampai-sampai karena keislamannya ia dikurung bahkan diusir sera tidak diakui sebagai anak lagi oleh ibunya. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: "Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi". Maka Mush'ab pun menghampiri ibunya sambil berkata : "Wahai ibunda! Telah anaanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya". Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut : "Demi bintang! sekali-kali aku takkan masuk ke dalam agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi".
Itulah kisah seorang pemuda perlente, biasa hidup mewah tapi ia tinggalkan semuanya. Dia adalah Mush’ab bin Umair. Rasulullah pernah bersabda tentang Mush’ab bin Umair, “Dahulu saya lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Pada akhirnya, Mush’ab syahid dalam medan Uhud. Pada saat menutup jasadnya yang mulia tersebut, kain yang digunakan tidak cukup untuk menutupi seluruh bagian tubuhnya. Bila ditutup bagian atas maka bagian kaki terbuka dan bila ditutup bagian kaki maka kepalanya terbuka. Namun, syahidnya Mush’ab menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi semua kaum muslimin. Betapa tidak, dia adalah generasi muda awwalun yang mengikuti jejak dan ditarbiyah langsung oleh Rasulullah. Dia juga menjadi da’i pertama yang diutus Rasulullah keluar kota Makkah. Berkat jasanya Madinah dapat dikondisikan sebelum Rasulullah berhijrah ke sana. Jadi, Mush’ab memiliki kenangan khusus baik bagi kaum Muhajirin maupun kaum Anshar.
Kisah Mush’ab bin Umair di atas seharusnya menjadi pelajaran yang begitu berharga bagi kita kaum muda. Pelajaran untuk bisa keluar dari zona kenyamanan karena zona kenyamanan akan membaut orang-orang terlena, terbuai. Mush’ab cerdas, ia dapat melalui proses itu, dan ia sukses.
Zona kenyamanan (comfort zone) adalah situasi dimana seseorang sudah merasa dalam kondisi aman karena sudah tidak ada lagi tantangan yang berarti. Kondisi ini biasanya disebabkan seseorang sudah pada posisi puncak suatu segitiga struktural atau karena jumlah komunitas yang sangat banyak bahkan dominan. Maka, ketika kondisi seperti ini terjadi akan terjadi sesuatu yang disebut demotivasi atau kekurangan atau bahkan kehilangan motivasi. Suatu hal yang sangat berbahaya bagi seseorang atau kelompok karena bisa jadi ketika sudah merasa nyaman pihak lain yang menjadi rival akan menyusun kekuatan. Disaat kehilangan motivasi ini maka akan sangat mudah untuk “dihabisi”.
Pemuda Indonesia saat ini sedang dalam zona tersebut. Pasca kemerdekaan, ketika tantangan-tantangan sudah mulai sedikit para pemuda merasa tidak perlu lagi berbuat sesuatu. Biarlah pemerintah dan yang berwenang yang mengantisipasi masalah tersebut. Akibatnya akan muncul dua permasalahan mendasar. Pertama adalah masalah kesewenang-wenangan pihak berkuasa karena sudah tidak ada kontrol. Kedua adalah apatisme pemuda akan menyebabkan sikap individualisme, acuh tak acuh yang sebenarnya mengancam integritas bangsa Indonesia.
Langkah-langkah pencegahan dan strategis harus segera dilakukan sebelum kondisi “kenyamanan” tersebut lebih akut menyerang anak muda kita. Sebagai langkah antisipasinya adalah dengan jalan terus memberikan pemahaman yang sesuai dengan pola pikir kaum muda tersebut.
Keluar dari zona nyaman seperti Mush’ab bin Umair memang tidaklah mudah, ada banyak halang rintang yang menghadang bukan dalam bentuk kesulitan-kesulitan justeru dalam bentuk kesenangan yang menggoda. Keluar dari zona nyaman berarti harus siap meninggalkan segala yang bersifat melenakan. Bukan tidak boleh menikmati segala yang Allah berikan kepada kita. Hanya saja perlu ada takaran-takaran wajar dalam menikmatinya. Keluar dari zona nyaman berarti harus menanggung konsekuensi perjuangan para pendahulu kita.
*) Tulisan kedua untuk buku "Serial Pemuda" Rekonstruksi Pemikiran Kaum Muda
Tapi, kondisi itu adalah pada waktu dia belum memeluk Islam. Ketika pemuda tersebut masuk Islam semua kemewahan itu ia tinggalkan. Sampai-sampai karena keislamannya ia dikurung bahkan diusir sera tidak diakui sebagai anak lagi oleh ibunya. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: "Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi". Maka Mush'ab pun menghampiri ibunya sambil berkata : "Wahai ibunda! Telah anaanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya". Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut : "Demi bintang! sekali-kali aku takkan masuk ke dalam agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi".
Itulah kisah seorang pemuda perlente, biasa hidup mewah tapi ia tinggalkan semuanya. Dia adalah Mush’ab bin Umair. Rasulullah pernah bersabda tentang Mush’ab bin Umair, “Dahulu saya lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Pada akhirnya, Mush’ab syahid dalam medan Uhud. Pada saat menutup jasadnya yang mulia tersebut, kain yang digunakan tidak cukup untuk menutupi seluruh bagian tubuhnya. Bila ditutup bagian atas maka bagian kaki terbuka dan bila ditutup bagian kaki maka kepalanya terbuka. Namun, syahidnya Mush’ab menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi semua kaum muslimin. Betapa tidak, dia adalah generasi muda awwalun yang mengikuti jejak dan ditarbiyah langsung oleh Rasulullah. Dia juga menjadi da’i pertama yang diutus Rasulullah keluar kota Makkah. Berkat jasanya Madinah dapat dikondisikan sebelum Rasulullah berhijrah ke sana. Jadi, Mush’ab memiliki kenangan khusus baik bagi kaum Muhajirin maupun kaum Anshar.
Kisah Mush’ab bin Umair di atas seharusnya menjadi pelajaran yang begitu berharga bagi kita kaum muda. Pelajaran untuk bisa keluar dari zona kenyamanan karena zona kenyamanan akan membaut orang-orang terlena, terbuai. Mush’ab cerdas, ia dapat melalui proses itu, dan ia sukses.
Zona kenyamanan (comfort zone) adalah situasi dimana seseorang sudah merasa dalam kondisi aman karena sudah tidak ada lagi tantangan yang berarti. Kondisi ini biasanya disebabkan seseorang sudah pada posisi puncak suatu segitiga struktural atau karena jumlah komunitas yang sangat banyak bahkan dominan. Maka, ketika kondisi seperti ini terjadi akan terjadi sesuatu yang disebut demotivasi atau kekurangan atau bahkan kehilangan motivasi. Suatu hal yang sangat berbahaya bagi seseorang atau kelompok karena bisa jadi ketika sudah merasa nyaman pihak lain yang menjadi rival akan menyusun kekuatan. Disaat kehilangan motivasi ini maka akan sangat mudah untuk “dihabisi”.
Pemuda Indonesia saat ini sedang dalam zona tersebut. Pasca kemerdekaan, ketika tantangan-tantangan sudah mulai sedikit para pemuda merasa tidak perlu lagi berbuat sesuatu. Biarlah pemerintah dan yang berwenang yang mengantisipasi masalah tersebut. Akibatnya akan muncul dua permasalahan mendasar. Pertama adalah masalah kesewenang-wenangan pihak berkuasa karena sudah tidak ada kontrol. Kedua adalah apatisme pemuda akan menyebabkan sikap individualisme, acuh tak acuh yang sebenarnya mengancam integritas bangsa Indonesia.
Langkah-langkah pencegahan dan strategis harus segera dilakukan sebelum kondisi “kenyamanan” tersebut lebih akut menyerang anak muda kita. Sebagai langkah antisipasinya adalah dengan jalan terus memberikan pemahaman yang sesuai dengan pola pikir kaum muda tersebut.
Keluar dari zona nyaman seperti Mush’ab bin Umair memang tidaklah mudah, ada banyak halang rintang yang menghadang bukan dalam bentuk kesulitan-kesulitan justeru dalam bentuk kesenangan yang menggoda. Keluar dari zona nyaman berarti harus siap meninggalkan segala yang bersifat melenakan. Bukan tidak boleh menikmati segala yang Allah berikan kepada kita. Hanya saja perlu ada takaran-takaran wajar dalam menikmatinya. Keluar dari zona nyaman berarti harus menanggung konsekuensi perjuangan para pendahulu kita.
*) Tulisan kedua untuk buku "Serial Pemuda" Rekonstruksi Pemikiran Kaum Muda