01 April 2011

KONSEP IDEAL NEGARA ISLAM

Tulisan ini terispirasi dari sebuah pernyataan tokoh nasional negara ini yaitu Dr. Amin Rais terkait dengan konsep negara Islam yang dimuat dalam majalah Panji Islam era tahun 80-an. Di dalamnya Amin Rais mengatakan bahwa tidak ada negara Islam. Akan tetapi, jangan kita mengartikan pernyataan tersebut bahwa bapak Amin Rais tidak sepakat dengan adanya negara Islam. Namun ada baiknya kita kaji pendapat tersebut sekaligus juga akan diselipkan beberapa pendapat penulis sendiri.
Saat ini wacana tentang negara Islam sangatlah mencuat, apalagi ditambah dengan berbagai kasus dan rentetan peristiwa yang terjadi negeri ini. Peristiwa-peristiwa tersebut seringkali dihubungkan dengan kelompok orang atau organisasi yang katanya ingin mendirikan sebuah negara Islam, mengganti konstitusi dan dasar negara ini. Ada juga isu kudeta para purnawirawan jenderal yang dirilis oleh sebuah stasiun televisi internasional yang dinamakan “Dewan Revolusi Islam.” Namun, setahu saya, stasiun televisi tersebut adalah salah satu corong barat dalam rangka mempropagandakan berbagai agendanya.
Baiklah, kita akan kembali ke pokok persoalan terkait negara Islam. Apa itu negara Islam?? Apakah ia harus menggunakan kata-kata Islam seperti Republik Islam Iran, atau Republik Islam Pakistan atau juga Republik Islam Jibouti?? Atau ia juga harus dalam bentuk sebuah kerajaan seperti Arab Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab atau juga Malaysia. Kita akan sama-sama pahami dengan melihat bagaimana proses terbentuknya suatu komunitas masyarakat muslim pada 14 abad yang lalu. Di Madinah Rasulullah telah membina sebuah masyarakat yang begitu teratur, sejahtera. Di sanalah pondasi negara modern seperti saat ini mulai diletakkan. Mengapa demikian? Minimal ada 5 syarat terbentuknya suatu negara. Pertama, negara harus punya wilayah. Tanpa wilayah sebuah negara adalah angan-angan, dari angan-angan tersebut akan tercipta obsesi, dari obsesi itulah akan timbul apa yang disebut dengan penjajahan. Itulah yang terjadi pada “Israel” yang mencaplok tanah Palestina hari ini. Bangsa Yahudi yang menopeng nama Israel adalah suatu bangsa tanpa tanah yang berusaha merebut Palestina dari masyarakatnya dengan cara paksa dengan jalan penjajahan.
Kedua, sebuah negara harus memiliki pemerintahan yang berdaulat. Terbebas dari intervensi asing. Kebijakan-kebijakan yang diambil adalah murni untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, belakangan banyak negara yang pemerintahannya dikendalikan oleh tangan-tangan asing yang sesungguhnya mengaburkan identitasnya sebagai suatu negara.
Ketiga, adanya rakyat yang diperintah sehingga aturan-aturan yang diterapkan dapat tegak. Tanpa rakyat apalah artinya seorang pemimpin, tanpa rakyat pula apa artinya peraturan. Keempat, adanya pengakuan dari negara-negara lain akan keberadaan negara tersebut.
Kelima, merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu negara adalah konstitusi atau aturan dasar. Konstitusi menjadi penyelaras pelaksanaan berbangsa dan bernegara. Ketika kelima elemen pembentuk negara ini terpenuhi maka sudah sahlah suatu kawasan, suatu tempat atau suatu komunitas itu menjadi negara berdaulat. Lalu bagaimana dengan “negara Islam” Madinah pada zaman Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin?
Kita akan mulai dari apa yang disebut sunnah. Sunnah itu ada beberapa macam yaitu sunnah qauliyyah yaitu segala ucapan nabi. Kemudian ada sunnah fi’liyyah yaitu segala perbuatan nabi dan yang terakhir sunnah taqririyyah yaitu diamnya Rasulullah ketika ditanya para sahabat yang berarti sebuah persetujuan sebab diamnya nabi adalah tanda setuju.
Rasulullah hijrah ke Yatsrib setelah kota tersebut dikondisikan terlebih dahulu oleh Mus’ab bin Umair setelah beberapa utusan dari Yatsrib melakukan Baiat ‘Aqobah. Setelah itu Islam dengan cepat menyebar ke seluruh Yatsrib. Bahkan tidak ada satu rumah pun yang tidak mendengar kata Islam dan Muhammad termasuk rumah orang-orang Nasrani dan Yahudi.
Apa kaitannya dengan sunnah-sunnah di atas?? Madinah adalah sebuah daerah yang cukup jauh letaknya dari kota Makkah. Secara kultur, masyarakat Madinah berbeda budaya dan kebiasaan dengan Masyarakat Makkah. Boleh dibilang, masyarakat Makkah lebih maju dari masyarakat Madinah. Di samping itu, Madinah dihuni oleh banyak golongan manusia. Bahkan, yang mendominasi pasar di Madinah ketika itu adalah Yahudi. Maka secara otomatis, terjadi akulturasi kebudayaan akibat dari percampuran dan interaksi masyarakat tersebut. Sesuai dengan semangatnya bahwa Islam itu adalah rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) maka ketika itu Rasulullah tidak serta merta mengubah secara total pola hidup dan kemasyarakatan penduduk Madinah. Justeru yang Rasulullah lakukan adalah membangun masjid sebagai simbol dari keberadaan suatu komunitas. Masjid menjadi pusat Rasulullah dalam mertarbiyah para sahabatnya. Masjid pula menjadi pusat pemerintahan dan perpolitikan misal dalam hal syura’ (musyawarah) dan mengatur strategi perang. Dalam hal ini, Rasulullah memiliki anggota Majelis Syura’ sendiri dalam upaya untuk merumuskan dan memberikan masukan terkait sosial kemasyarakatan.
Langkah yang kedua yang dilakukan oleh Rasulullah adalah dengan mempersaudarakan antara Muslim Muhajirin dengan Muslim Anshor. Dengan demikian Rasulullah telah membina suatu tatanan masyarakat yang berbasis pada persaudaraan (ukhuwah) yang melepaskan segala atribut kesukuan. Inilah langkah untuk membentuk satu bangsa, menyatukan segala perbedaan dalam bingkai ukhuwah .
Ketiga, Rasulullah membangun pasar sebagai langkah membangun sendi-sendi ekonomi. Pasar ketika itu dikuasai oleh Yahudi yang jauh dari menjalankan prinsip-prinsip ekonomi ilahiyah. Maka, hiduplah perekonomian entitas baru, sebuah entitas Muslim yang masih belum dipandang apa-apa oleh imperium-imperium besar disekitarnya (Romawi, Persia, Hindustan dan China).
Langkah paling strategis yang dilakukan oleh Rasulullah adalah membuat perjanjian dengan semua suku dan kabilah yang ada di Madinah termasuk komunitas Yahudi. Dari perjanjian yang dibuat tersebut terciptalah yang namanya “Piagam Madinah” yang terdiri dari 47 pasal. Itu konstitusi modern pertama yang dibuat oleh manusia, konstitusi ini menjadi sebuah model bagi perkembangan konstitusi pada masa kini.
Ketika di Makkah kaum muslimin harus bersabar dengan segala penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, berbeda halnya ketika berada di Madinah. Dalam hal pertahanan dan keamanan, kewajiban jihad menjadi salah satu pilar yang mampu mempertahankan negara “bayi” tersebut.
Lengkaplah sudah syarat-syarat terbentuknya suatu negara. Berhaklah Madinah menyandang predikat negara. Akan tetapi Rasulullah sebagai kepala negara tidak memberikan nama khusus kepada negara baru tersebut. Tidak juga kita temukan dalam referensi sejarah negara itu dinamakan sebagai Daarul Islam, Khilafah Islamiyyah, Daulah Islamiyah. Akan tetapi, pelaksanaan nilai-nilai Islam dijalankan secara kaffah (menyeluruh). Terkait pengakuan dari negara lain, setelah kemenangan secara gilang gemilang di Badar (Muslim vs Kafir Quraisy = 1:3) maka terbukalah mata dunia. Mulai saat itu, entitas baru itu diakui memiliki kedaulatan dengan jihad sebagai sistem pertahanan dan keamanannya.
Kembali ke konsep negara Islam, dari konsep paling ideal yang diajarakan oleh Rasulullah tersebut di atas maka sebuah negara Islam harus memiliki beberapa syarat yang substansial. Pertama adanya seorang pemimpin yang beriman, takwa, mencintai rakyatnya sehingga rakyatnya juga sangat mencintainya. Seorang pemimpin juga harus sekaligus merangkap seorang penguasa. Pada zaman sekarang, posisi pemimpin berbeda dengan posisi seorang penguasa. Pemimpin hanya menjadi simbol saja, ia punya ummat tapi tidak memiliki kekuasaan atau sebaliknya penguasa, ia memiliki kekuasaan tetapi rakyatnya tidak patuh karena tidak dicintai oleh rakyatnya sebab sang penguasa juga tidak memikirkan rakyatnya.
Kedua, nilai-nilai Islam tertanam dengan kuat dalam sendi-sendi berbangsa dan bernegara sehingga rakyat dengan sukarela menjalankan nilai-nilai tersebut. Islam menjadi ruh dalam menjalankan roda pemerintahan. Produk-produk hukum walaupun dalam bentuk hukum positif tapi tetap terwarnai oleh nilai-nilai Islam. Misalkan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, UU tentang Larangan Monopoli, dll.
Ketiga, kesejahteraan rakyat terjamin. Apa bedanya negara Islam dengan negara non-Islam ketika rakyatnya tidak tersejahterakan. Hak-hak dasarnya tidak diakui dan diakomodir. Bahkan pada zaman Rasulullah, hak-hak pribadi seseorang itu sangat dilindungi dan dihargai bahkan sampai hak hewan pun tidak diabaikan.
Hal-hal subsansial inilah yang harus dipenuhi untuk membentuk sebuah negara Islam. Namun, sekali lagi Rasulullah tidak pernah menetapkan satu nama khusus tapi pada dasarnya Rasulullah telah mensignalkan bentuknya. Apa itu?? Bentuk republik seperti yang kita jalani saat ini sesungguhnya lebih dekat dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah pada lebih dari 1400 tahun yang lalu, bukan monarki. Sesungguhnya sebuah kesalahan fatal ketika para penguasa setelah Khulafaur Rasyidin menggunakan bentuk kerajaan dalam pemerintahannya. Dimulai dari Mua’wiyah yang mengangkat anaknya Yazid menjadi khalifah pengganti dirinya maka pada saat itulah fitnah di kalangan ummat Islam mulai menyebar. Maka, sesungguhnya monarki tidak cocok menjadi bentuk dari negara Islam.
Lalu, bagaimana dengan pemilihan kepala negara. Pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin ada yang namanya Majelis Syura’. Kalau di Indonesia mungkin bisa disamakan dengan Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR). Akan tetapi, jumlahnya memang tidak sebanyak jumlah anggota MPR kita. Pada zaman Umar saja ketika menjelang wafatnya hanya ada enam orang anggota Majelis Syura’. Melalui Majelis Syura’ inilah pemimpin negara dipilih dan dilantik seperti pada pemilihan dan pelantikan Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah.
Untuk membuat regulasi (peraturan perundang-undangan), sebuah negara Islam harus memiliki Dewan Syari’ah yang diisi oleh para ulama (ilmuwan) yang bebas dari intervensi pemerintah sehingga hukum-hukum hasil ijtihad yang dikeluarkan bukanlah hukum-hukum pesanan. Jadi, produk yang dihasilkan adalah murni untuk kepentingan rakyat. Ulama mempunyai tugas ganda sebagai pembimbing masyarakat dan sebagai pengingat untuk penguasa.
Dalam hal penegakan keadilan, institusi peradilan juga harus bebas dari intervensi penguasa. Ia harus berdiri sendiri. Bagaimana seorang Ali bin Abi Thalib yang seorang khalifah ia harus melepaskan predikatnya sebagai khalifah dihadapan hakim. Bahkan, ketika di pengadilan tersebut ia kalah dari seorang Yahudi yang dituduhnya mencuri baju besinya. Hal ini lantaran Ali tidak memiliki bukti yang kuat bahwa baju besi itu memang miliknya. Sebuah institusi peradilan yang sangat baik sepanjang sejarah.
Perekonomian Islam haruslah kuat, maka kewajiban zakat harus ditegaskan kembali. Zakat akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang luar biasa jika pengelolaannya dilaksanakan secara profesional dan tepat sasaran. Bayamgkan ketika zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz, tidak ada satupun kaum muslimin yang merasa berhak menerima zakat sedangkan di satu sisi mereka semua terus mengeluarkan zakat. Apa yang terjadi? Sampai-samapi Umar bin Abdul Aziz harus ke Afrika untuk mencari para penerima zakat. Luar biasa bukan?
Ah, betapa indahnya ketika kita dapat mewujudkannya. Ia akan menjadi cita-cita kita bersama saudara-saudara. Sebuah negara Islam yang tidak menggunakan kata-kata Islam di dalamnya. Cukuplah memenuhi aspek-aspek substansial di atas maka itulah negara Islam sesungguhnya. Negara Islam bukan utopia, negara seperti itu bernah ada, bernah berjaya hanya saja banyak yang buta mata hatinya akibat kesombongan dan kecongkakan mereka sehingga mereka tak pernah mau menyaksikan realitas sejarah. Kepingan-kepingan sejarah itu akan kembali kita susun dan kita bangun kembali. Sebab sabda Rasulullah:
“Masa kenabian akan terjadi di tengah-tengah kalian seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya jika memang menghendaki. Setelah itu, akan ada Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian, lalu Khilafah itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya jika menghendaki. Setelah itu akan ada kerajaan yang memegang teguh Islam, lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya sesuai kehendaknya. Setelah itu, akan ada kerajaan para diktator, lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian, Allah menghapusnya sesuai kehendaknya. Setelah itu, Khilafah akan kembali tegak dengan berjalan di atas manhaj kenabian”. Setelah itu, Nabi saw. terdiam. (HR Ahmad)
Bersiaplah kita menyambutnya, atau paling tidak kalaupun kita tidak merasakannya maka kita ikut berpartisipasi dalam meletakkan pondasi-pondasinya. Namun, yang perlu diingat, jika memang benar kita berada pada fase keempat sesungguhnya kita masuk pada fase dimana ada fitnah yang sangat besar di masa ini yaitu munculnya Dazzal. Itulah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah atas ummatnya dikemudian hari.
Wallaahu a’lamu bi showwab. Semoga Allah melindungi kita dari kejelekan makhluknya dan dari kejelekan apa-apa yang dilakukan makhluknya. Amiiiin…

0 komentar:

Posting Komentar