27 Januari 2009

REFLEKSI KEPEMIMPINA KITA


Enam puluh tiga tahun lebih bangsa ini terbebas dari kekuasaan tiran penjajah namun kita masih tetap dalam kungkungan penjajahan. Ya…, kita telah dijajah oleh diri kita sendiri. Memang begitu kuatnya dampak dan pengaruh dari penjajahan yang berlangsung selama 350 tahun sehingga tanpa sadar membentuk pribadi kita seperti orang-orang terjajah selamanya. Kita tidak punya kesadaran akan kebebasan diri kita yang telah dianugerahkan kepada kita.
Begitu pula dengan sistem kepemimpinan kita. Kita tinjau lagi sejarah, bagaimana Soekarno memerintah dari tahun 1945 dan akhirnya tumbang pada tahun 1966 karena pengaruh ketidakbebasan. Soeharto, setelah 32 tahun memerintah negeri akhirnya harus mundur karena juga akibat ketidak merdekaan. Selanjutnya, pada masa-masa transisi banyak terjadi tuntutan dari masyarakat karena rakyat tidak merasa merdeka. Gus Dur “diturunkan paksa” karena ia salah satu orang yang tidak mampu memberikan kebebasan kepada rakyat. Bahkan, sampai saat ini ketidakmerdekaan itu sangat kuat dirasakan oleh masyarakat.
Inilah bahan refleksi kita untuk sistem kepemimpinan kita yang mewarisi mental penjajah. Mengapa saya katakan kita tidak merdeka…?? Jelas harus kita fahami dulu makna ”merdeka” yang sesungguhnya. Ingat apa yang dikatakan oleh salah satu tentara biasa kaum muslimin kepada Rustum sang Panglima Persia pada saat penaklukan kota Qadisiyah, ”apakah yang mendorong kalian hingga kalian datang dan ingin menguasai negeri ini…?” Rustum bertanya kepada prajurit tersebut.maka dengan bangganya sang Prajurit berkata, ”sesungguhya yang mendorong kami adalah niat untuk membebaskan (memerdekakan) manusia dari penghambaan kepada sesama manusia (makhluk) kepada penghambaan kepada Allah semata.” Sebuah ungkapan yang luar biasa yang mampu menggetarkan seantero istana Rustum dan mengendorkan semangat tentara Persia. Setelah itu babak baru dimulai di tanah asal sahabat Rasulullah saw, Salman Al Farisi tersebut.
Adakah diantara kita yang mampu mengatakan hal seperti tentara Sa’ad bin Abi Waqas di atas. Atau adakah di antara pemimpin kita yang mampu mengatakan hal seperti tentara biasa tersebut. Sekaliber tentara biasa mampu menggetarkan istana Rustum, lalu pertanyaannya adalah bagaimana dengan sang pemimpinnya…?? Panglimanya adalah Sa’ad bin Abi Waqas dan khalifahnya adalah Umar bin Khattab. Tentu akan banyak yang mengatakan, mana mungkin kami bisa menyamai Umar bin Khattab.
Permasalahannya di sini bukanlah mungkin atau tidak mungkin tapi mau atau tidak mau. Setiap orang boleh berobsesi, kita punya obsesi untuk meneladani Rasulullah, maka kita harus punya obsesi untuk mengetahui dan meniru para sahabat terlebih dahulu. Tidak ada yang jelek dari para sahabat. Yang sekarang mesti dilakukan oleh para pemimpin kita adalah berobsesi, berobesesilah untuk meniru salah satu shabat Rasulullah, tentu kita tidak akan penah mencapai derajat ”generasi terbaik” tersebut. Namun setidaknya kita dapat menjadi sang Prajurit biasanya Sa’ad bin Abi Waqas tadi. Ketika pemimpin kita sudah mampu mengatakan hal seperti yang dikatakan oleh sang Prajurit maka dijamin ketentraman, ketenangan dan kesejahteraan akan terwujud karena itulah kemerdekaan yang sesungguhnya.
Saat ini kita butuh pemimpin yang mau dan mampu mendengar. Namun sebaliknya, sekarang pemimpin kita terus berkata dan berkata tanpa bisa mendengar. Sebab, secara logika orang yang sedang berbicara itu tidak akan mau mendengarkan. Kita lihat praktik kepemimpinan dalam shalat berjamaah kita. Masjid diibaratkan sebagai sebuah wilayah yang kita sebut ”negara”. Imam adalah pemimpin kita sedangkan ma’mumnya adalah rakyat. Sudah mencukupi tiga syarat berdirinya sebuah negara. Rakyat harus taat kepada pemimpin. Namun disaat sang Imam salah ma’mum wajib mengingatkannya. Jadi ketika pemimpin melenceng, keliru, ataupun lupa maka rakyat wajib mengingatkan.
Bahkan imam dapat digantikan apabila ia batal wudhu’ dan batal shalatnya. Ini adalah sebuah isyarat berjamaah (berorganisasi). Ketika pemimpin sudah tidak mampu lagi, maka harus ada yang menggantikan.
Wallahu a’lamu bish showab.

Posted on on September 16th

0 komentar:

Posting Komentar