Mengamati dan membicarakan masalah Palestina maka kita tidak akan melepaskannya dari berbagai sudut pandang, baik politik, ekonomi, hubungan luar negeri, konsolidasi kekuatan, dan lain-lainnya. Palestina adalah isu politik dan hukum internasional terbesar abad ini pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin. Dimulai dari tahun 1948 hingga 2011, hari ini.
Ada begitu banyak pihak yang akan bersinggungan dengan permasalahan ini, namun masyarakat internasional secara umum akan terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu pro-Palestina dan pro-Israel. Namun, kebijakan luar negeri tiap negara terhadap pengambilan sikap atas permasalahan Palestina ini harus kita perhatikan secara seksama. Keberpihakan suatu negara terhadap dua kekuatan yang ada di Palestina harus mengenyampingkan soal agama. Mesir, Jordania, Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang mereka adalah negara-negara muslim ternyata pemerintahnya memiliki keberpihakan pada Pemerintah Israel. Kita sebut saja negara Kuba yang sosialis dan beberapa negara Amerika Latin ternyata memiliki kecenderungan untuk pro terhadap Palestina. Terlepas dari pertentangan ideologi dan politik serta kepentingan masing-masing negara.
Solidaritas dunia terhadap permasalahan Palestina merupakan bentuk sumbangsih mereka untuk melepaskan Palestina dari jeratan penjajahan. Salah satunya adalah misi kemanusiaan yang dilancarkan oleh para aktivis pro-Palestina yang berasal dari kurang lebih 40-an negara di dunia. Pertama tercacat konvoi kapal-kapal bantuan kemanusiaan pada Mei 2010 yang lalu, yaitu Freedom Frotilla I yang pada akhirnya menimbulkan Tragedi penyerangan Kapal Mavi Marmara oleh tentara Israel, buntutnya 9 orang aktivis meninggal dunia. Tragedi Mavi Marmara menjadikan pemerintah Turki berang, hingga menyulut api kemarahan rakyat Turki. Hubungan Turki-Israel semakin tegang.
Untuk memperingati peristiwa Mavi Marmara pada Freedom Frotilla I, beberapa aktivis dan lembaga bantuan kemanusiaan di berbagai negara menggagas kembali pengiriman bantuan untuk Palestina (Gaza) melalui misi Freedom Frotilla II. Tidak mau mengulangi kejadian pada aksi pendahuluannya, banyak hal dipersiapkan pada misi kali ke-2 ini. Misalkan saja pemilihan tempat bertolak. Yunani menjadi negara pilihan para aktivis untuk bertolak bersama-sama dalam misi ini. Pada awalnya, pemerintah Yunani bersedia menjadi tempat bertolak kapal misi kemanusiaan, bahkan siap melepas kapal-kapal yang akan berlayar. Tetapi, informasi terakhir mengatakan bahwa Yunani telah mencegat kapal yang akan berangkat ke Palestina dan petugas penjaga pantai kembali menarik kapal tersebut ke pelabuhan di Yunani. Kapal pertama yang dicegat adalah Audacity of Hope yang berbendera Amerika Serikat. Kapal ini dicegat setelah 20 menit setelah berlayar menuju Pelabuhan Gaza. Menyusul kapal-kapal lain yang mengalami pencegatan seperti kapal The Tahrir yang berbendera Kanada. Begitu juga kapal-kapal lain akhirnya tetap bersandar di Pelabuhan Yunani.
Ada fakta menarik dibalik pencegatan misi Freedom Frotilla II ini. Yunani saat ini mengalami krisis politik dan ekonomi yang bisa dikatakan cukup parah. Krisis hutang yang melilit Yunani memaksa negara tersebut harus tunduk pada ketentuan IMF yang mewajibkan Yunani memangkas dan menghemat anggaran negaranya. Krisis ekonomi ini sangat mempengaruhi stabilitas politik negara tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan di Athena merosot sehingga demonstrasi besar-besaran seringkali terjadi. Selain itu, upaya Palestina mendapatkan pengakuan sebagai negara berdaulat dari dunia internasional pada Sidang Umum PBB September mendatang adalah pemicu lainnya yang erat hubungannya dengan sikap Yunani. Sikap Turki yang terkesan tak acuh, padahal sebelumnya begitu getol menyuarakan pembelaan terhadap Palestina menjadikan para aktivis memilih Yunani sebagai tempat bertolak. Saya akan menganalisis satu persatu berbagai fakta tersebut.
Krisis hutang Yunani adalah permasalahan sangat serius yang dihadapi oleh negara Plato tersebut. Yunani mengalami keguncangan ekonomi dan juga politik akibat krisis tersebut. Apa sebenarnya penyebab krisis tersebut dan apa pula hubungannya dengan Palestina, Israel dan Freedom Frotilla II?
Menurut Dr. Anwar Nasution, krisis fiskal di Yunani merupakan akumulasi dari defisit anggarannya yang terus-menerus terjadi rata-rata sebesar 6% dari PDB, selama 30 tahun terakhir. Besarnya defisit anggaran Yunani tersebut adalah dua kali lipat dari ketentuan Uni Eropa (UE), maksimum sebesar 3%. Karena pasar obligasi di dalam negerinya yang masih dangkal dan sempit, seraya memanfaatkan tingkat suku bunga yang lebih rendah di luar negeri. Pasar enggan menyerap obligasi atau SUN Yunani. Akibatnya Yunani tidak mampu memenuhi tuntutan kewajiban pembayaran hutangnya sebesar 20 biliun euro yang telah jatuh tempo pada bulan April-Mei lalu.
IMF kemudian mengeluarkan warning kepada negara Uni Eropa (UE) yang menggunakan mata uang Euro bahwa krisis yang menimpa Yunani kemungkinan akan merembet dan berdampak ke negara-negara lainnya. Kebijakan khusus IMF terhadap Yunani adalah kembali memberikan pinjaman kepada Yunani untuk menstabilkan ekonomi dan keuangan negara tersebut. Kebijakan ini ternyata sangat ditentang oleh rakyat Yunani.
Kondisi ini secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan luar negeri negara Yunani. Amerika Serikat sebagai pemegang kendali IMF memiliki peran dalam mempengaruhi kebijakan tersebut. Untuk mendapatkan pinjaman tentunya orang yang meminjam harus menuruti perjanjian dan berusaha berbuat yang terbaik untuk calon orang yang akan meminjamkan. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Israel selaku sekutu terdekat dan terkarib Amerika. Segala upaya dilakukan oleh Israel untuk membendung solidaritas terhadap Palestina termasuk misi kemanusiaan Freedom Frotilla.
Ditambah lagi dengan semakin gencarnya Palestina mengkampanyekan diri ke dunia iternasional akan pengakuan hak-hak mereka sebagai sebuah negara berdaulat. Kampanye dan lobi permohonan dukungan ini dibendung dengan berbagai cara, salah satunya mengintervensi dan menekan pemerintah negara-negara berdaulat di dunia untuk tidak mengakui keberadaan negara Palestina termasuk Yunani.
Inilah suatu kejanggalan yang terlihat. Sebab awalnya Yunani bersedia pelabuhannya dijadikan tempat bertolak kapal-kapal misi kemanusiaan Freedom Frotilla tersebut. Namun, pada akhirnya Yunani menolak bahkan mencegat kapal-kapal yang sudah diperbolehkan melepas jangkar. Dalam Hubungan Internasional, interdepedensi atau saling ketergantungan antar dua atau lebih kepentingan negara adalah sesuatu yang mutlak ada. Atau dalam istilah lain Richard Falk menyebutnya dengan Teori Kedaulatan Relatif.
Mungkin dalam benak kita ada pertanyaan yang muncul, kita akan mempertanyakan eksistensi Turki yang selama ini sangat getol membela Palestina. Turki sebagai negara yang baru bangkit dari keterpurukannya selama berpuluh-puluh tahun tentu perlu mempersiapkan diri. Turki, walaupun saat ini dipimpin oleh seorang agamis dan parlemennya juga dikendalikan oleh orang-orang AKP yang islami namun tetap saja masih dalam kungkungan sekulerisme ‘Kemalisme’ di bawah penjagaan militer. Selama dalam pemerintahan partai-partai sekuler, Turki menjadi salah satu sekutu mesra Israel. Tampaknya pemerintah Turki dan parlemennya dari AKP yang baru saja memenangkan Pemilu kembali untuk yang ke tiga kalinya perlu sedikit berhati-hati selama konstitusi negaranya belum diubah. Sebab, rongrongan kudeta militer sebagai penjaga ideologi sekuler masih terus membayangi.
Solidaritas Palestina, Saatnya Mengkonsolidasi Ummat
Jatuh bangun soal Palestina sebenarnya sudah terjadi sepanjang sejarah ummat Islam. Setelah pembebasannya pada masa Umar bin Khattab, tercatat berulang kali Palestina terlepas dari genggaman kaum Muslimin hingga kembali lagi ke dalam naungan Islam. Sebut saja dua peristiwa penting yaitu jatuhnya negeri-negeri Islam ke tangan pasukan Salibis Kristen Eropa dan juga pasukan Mongol.
1. Perang Salib (1095 – 1291 M)
Pasukan salib pertama bergerak dari Eropa atas restu Paus Urbanus II. Disepanjang perjalanan kebiadaban dipertontonkan oleh pasukan salib. Mereka merampok, memperkosa, dan membunuh orang-orang yang mereka temui. Bahkan ketika sampai di Palestina, pasukan salib membantai penduduk, tidak hanya ummat Islam tapi juga orang-orang Yahudi dan Nasrani Palestina. Dalam dua hari saja mereka telah membunuh lebih kurang 40.000 orang dengan cara yang tidak berperikemanusiaan.
Bahkan seorang tentara salib sendiri yang bernama Raymond dari Aguiles merasa bangga dengan kekejaman ini, dia mengatakan:
Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami (dan ini lebih mengasihi sifatnya) memenggal kepala-kepala musuh-musuh mereka; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkan mereka ke dalam nyala api. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki akan terlihat di jalan-jalan kota. Perlu berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Biara Sulaiman, tempat di mana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali… di biara dan serambi Sulaiman, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.
Kondisi Ummat Islam ketika itu dalam perpecahan, negeri-negeri Islam tidak bersatu. Para pemimpinnya juga saling curiga. Tidak ada upaya perlawanan terhadap tentara salib. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Tahun 1144 M, Imaduddin Zanki penguasa Moshul dan Iraq melakukan perlawanan dan berhasil merebut kembali Aleppo, Hamimah dan Edessa. Namun, dua tahun kemudian Imaduddin Zanki meninggal dunia. Ia digantikan oleh puteranya Nuruddin Zanki. Ia berhasil merebut kembali Antiokhia pada 1149 M dan tahun 1151 M berhasil merebut kembali seluruh Edessa.
Pada 1174 M, Nuruddin Zanki wafat. Ia digantikan oleh Shalhuddin Al-Ayyubi yang kemudian mendirikan Dinasti Ayyubiah pada 1175 M. Karena kejatuhan kembali Edessa ke tangan kaum muslimin, Paus Eugenius III menyerukan Perang Salib II. Seruan ini disambut oleh Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Alih-alih mendapatkan kemenangan, pasukan salib akhirnya harus menderita kekalahan terus-menerus. Bahkan kota suci Yerussalem juga kembali dapat direbut oleh pasukan Shalahuddin.
Usaha yang dilakukan Sholahuddin bukanlah semata-mata berperang melawan musuh. Langkah-langkah strategis ia lakukan seperti menaklukan Dinasti Fathimiyah di Mesir yang beraliran Syiah. Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa dinasti Syiah tersebut menjadi pendukung utama tentara salib. Langkah lain yang ia lakukan adalah merebut Syam dari tangan pemimpinnya terdahulu. Hal ini dilakukan untuk mempersatukan dua wilayah tersebut berikut kekuatan-kekuatannya. Langkah-langkah strategis yang dilakukan Shalahuddin ternyata membuahkan hasil dan ini tetap dipertahankan oleh para penerusnya.
Hingga pada perang salib terakhir yaitu Perang Salib ke-VIII pada tahun 1291, ummat Islam tetap mempertahankan Palestina dari tentara Salib. Raja Louis ke IX dari Perancis tidak mampu merebut kembali negeri para nabi tersebut. Akan tetapi petaka lain menimpa yaitu ketika Pasukan Mongol menyerang pada 1290 M.
2. Peperangan ‘Ain Jalut (1260 M)
Sejarah pahit ummat Islam pada era pertengahan ini sungguh amat memilukan. Setidaknya sekitar 1,8 juta ummat Islam dibantai hanya dalam waktu 40 hari di kota Baghdad, pusat pemerintahan Islam ketika itu. Kerugian lainnya berupa tatanan kehidupan, kota, serta peninggalan arsitektur indah kota Baghdad juga ikut luluh lantak. Tidak ketinggalan khasanah ilmu pengetahuan berupa buku-buku yang tersimpan di Perpustakaan Baitul Hikmah di kota Baghdad juga ikut dimusnahkan. Air Sungai Tigris menjadi hitam akibat tinta dari kitab-kitab yang luntur karena dibuang ke dalam sungai. Darah menggenang dimana-mana, bau busuk dari mayat-mayat juga merebak. Semuanya dibantai habis, tidak peduli laki-laki, kaum wanita anak-anak bahkan hewan ternak pun tak luput dari kebiadaban pasukan Mongol. Itulah kebiadaban yang sangat besar yang dilakukan saat itu, pelakunya adalah bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulaghu Khan cucu Genghis Khan.
Tak berhenti sampai di sana, tentara Hulaghu Khan juga meneruskan ekspansinya ke wilayah Syam dan Palestina. Kondisi ini diperparah oleh sikap para pemimpin kaum muslimin ketika itu, tak persatuan dan upaya perlawanan terhadap tentara Mongol. Badruddin Lu’lu’, Raja Mosul bahkan mengulurkan persahabatan dengan Mongol.
Raja Anatolia yaitu Kaikawis II dan Qalaj Arsalan juga mengambil sikap yang sama dengan penguasa Mosul. Begitu juga dengan an-Nasir Yusuf, Raja Aleppo dan Damaskus. Para raja-raja tersebut telah membuka pintu Iraq Utara sebagian Syam dan Turki tanpa peperangan. Bahkan gilanya, para ulama mengeluarkan fatwa-fatwa dengan dalil yang keliru untuk melakukan perjanjian damai dengan Mongol.
Hanya ada satu raja yang berani melawan dan terus menyerukan semangat jihad di tubuh pasukan dan rakyatnya. Ia adalah Al-Kamil Muhammad al-Ayubi, Raja Miyafarqin. Miyafarqin adalah kota yang terletak sekarang ini timur Turki menuju ke sebelah barat Turki. Tentara Raja Al-Kamil Muhammad al-Ayubi menguasai timur Turki, barat laut Iraq dan timur laut Syria. Tapi kegilaan tertara Tartar Mongol dapat mengatasi permasalahan tersebut. Mereka mengepung kota Miyafarqin dan kota tersebut akhirnya juga jatuh ke tangan pasukan Mongol berikut juga Aleppo, Damsyik dan berujung pada penjajahan terhadap bumi Palestina.
Pahlawan pembebas Palestina yang sangat terkenal saat itu adalah Sultan Al-Muzaffar Syaifuddin Qutuz. Pada mulanya ia hanyalah seorang Gubernur Mesir yang ditunjuk oleh Sultan Izzuddin Aibak. Dia memerintah Mesir dengan segala problematikanya yaitu perpecahan antara pengikut Mamalik Bahriah (pendukung kerajaan lama) dan Mamalik Muizziah/Burji (pendukung kerajaan lama).
Pada tahun 1257 M Sultan Aibak meninggal dunia akibat dibunuh. Pelakunya adalah pengikut Mamalik Bahriah. Aibak sendiri adalah orang Mamalik Burji. Dua faksi ini akhirnya benar-benar terpecah. Pendukung kekuatan di Mesir sebagian besar adalah orang-orang Mamalik Bahriah yang memang sebelumnya telah berkuasa kurang lebih selama 144 tahun dan telah diperintah oleh 29 sultan. Karena kondisi ini, kaum Mamalik Muizziah banyak yang berpindah ke Syam sedangkan yang berada di Mesir mengasingkan diri. Akibatnya, Mesir lemah dan penopang kekuatannya hanyalah dari Mamalik Bahriah. Kontak ke negeri Syam pun juga terputus setelah penaklukan oleh pasukan Hulaghu Khan. Begitu juga bantuan dari negeri Islam yang berada di bagian utara Afrika. Hal ini menyebabkan Mesir seperti sendirian dalam menghadapi bahaya serangan Mongol.
Sultan Aibak digantikan oleh anaknya Al-Mansur Ali. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Qutuz. Ia melakukan kudeta dan akhirnya naik takhta Mesir. Dari sinilah awal kiprahnya melakukan konsolidasi kekuatan dalam rangka menghadapi tentara Mongol. Sultan Qutuz mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk masalah biaya peperangan, strategi, dll.
Ada tiga langkah awal yang dilakukan oleh Qutuz yang amat jenius dalam melaksakan niatnya melawan tentara Mongol. Pertama adalah memperbaiki stabilitas internal Mesir. Ia mengumpulkan semua ulama, pemimpin masyarakat, para menteri dan pembesar-pembesar istana. Di hadapan mereka Qutuz berkata, “Apa yang aku inginkan dari jabatan ini hanyalah agar kita bersatu untuk melawan Mongol. Urusan itu tidak mampu diselesaikan tanpa Raja. Apabila kita berhasil keluar dari masalah ini dan mengalahkan Mongol, urusan ini terletak di tangan kamu semua. Pilihlah siapa saja yang kamu kehendaki untuk menjadi pemerintah.” Itulah kata-kata Qutuz, sebuah pernyataan dari seorang negarawan dan pahlawan sejati yang mampu meredakan ketamakan mereka yang haus kekuasaan.
Beliau menunjuk Zainuddin Ya’kub sebagai menteri dan memecat Ibnu binti Al-‘Aaz. Kemudian beliau juga mengangkat seorang panglima tangguh yang terkenal kepiawaiannya yaitu Farisuddin Aqtai Ash-Shaghir yang sesungguhnya dari Mamalik Bahriah.
Kedua, beliau membuat kebijakan pemberian ampunan bagi seluruh pengikut Mamalik Bahriah. Kebijakan ini mampu menarik kembali orang-orang Mamalik Bahriah. Rombongan pendukung Mamalik Bahriah kembali berduyun ke Mesir dari bumi Syam, Karak (di Jordan sekarang) dan bumi kerajaan Turki Saljuk. Dengan itu Mesir berhasil mendapatkan kembali kekuatan tentaranya. Termasuk juga di dalamnya adalah Baybars/Bibris (Baybars berperang bersama dengan Qolawun dan Ibnu Taimiyah) sang Pahlawan yang memenangkan perang terakhir.
Ketiga, usaha penyatuan kembali Mesir dan Syam. Akan tetapi usaha ini gagal karena surat Qutuz kepada Nasir al-Ayyubi tidak digubris. Akan tetapi, setelah Syam jatuh ke tangan tentara Mongol dan Nasir melarikan diri ke Karak (Jordan), pasukan Syam berduyun-duyun pindah ke Mesir dan menggabungkan diri dengan pasukan Mesir.
Awal mula pungutan pajak dalam Islam juga terjadi pada masa Qutuz. Sebenarnya suatu hal yang sangat berat bagi Sultan Qutuz untuk memungut pajak dari rakyat sebab ummat Islam sudah ada kewajiban zakat, tapi karena kondisi darurat dan ekonomi Mesir yang carut-marut akhirnya dengan berat hati hal itu dilakukan. Ini berkat fatwa “sulthanul auliya” Izzudin bin Abdis Salam al Hanafi.
Akhirnya Mesir mendapatkan kembali kekuatannya. Kekuatan dari sang pemimpin yang teguh dan ikhlas serta kekuatan tentara yang telah tersulut api semangat jihad melawan tentara Mongol yang kejam. Pasukan yang terkumpul hampir sebanding dengan Pasukan Mongol yaitu sekitar 20.000 pasukan. Hanya dalam waktu delapan bulan Qutuz mampu mengkonsolidasi kekuatan ummat Islam.
Ada beberapa peristiwa penting sebelum peperangan di ‘Ain Jalut terjadi. Beberapa diantaranya adalah rapat pemilihan lokasi pertempuran. Sultan Qutuz tidak mau menentukan sendiri, dia ingin semuanya diambil dengan jalan musyawarah. Maka disepakatilah bahwa kaum muslimin akan menyongsong Pasukan Mongol ke Palestina. Terjadi juga peristiwa perjanjian damai dengan pasukan muslimin dengan sisa-sisa tentara Salin di Akka.
Yang tidak kalah penting adalah larinya sebagian pasukan Qutuz ke berbagai wilayah. Atas peristiwa ini, Qutuz tidak bersedih, ia malah bersyukur karena pasukannya telah dibersihkan dari kelompok-kelompok sempalan orang-orang munafik. Peristiwa lainnya yaitu kemenangan kaum muslimin atas Mongol di Ghaza. Kemenangan ini adalah kemenangan pembuka yang mampu menaikkan moral pasukan Islam.
Akhirnya, pada akhir Ramadhan 658 H, pasukan Qutuz berhadap-hadapan dengan pasukan Mongol. Pada 24 Ramadhan, datang bantuan dari penduduk Palestina. Di hari yang sama ia juga kedatangan seorang yang bernama Sorimuddin Aibak, seorang muslim yang ditawan oleh Mongol dan dipaksa mengabdi pada mereka. Aibak menawarkan jasanya untuk membantu Pasukan Qutuz dengan cara merusak konsentrasi pasukan Mongol dari dalam. Pada malam itu, perkemahan disibukkan dengan shalat malam dan dzikir Qutuz dan pasukannya.
Keesokan harinya kedua pasuka bertemu, dengan strategi jitu Qutuz mampu mengecoh Pasukan Mongol. Peperangan di akhir Ramadhan itu dimenangkan oleh kaum muslimin dan tidak pernah mampu terbalaskan oleh pasukan Mongol seperti sebelum-sebelumnya. Katabgha sang Panglima Mongol pun tewas di tangan Jamaludin Aqusy as-Syams, seorang panglima perang Mamalik yang membelot dari Nasir Al-Ayyubi karena pengkhianatan Nasir terhadap ummat Islam.
Itulah kesudahan dua peperangan besar dalam perebutan kembali Palestina setelah penjajahan yang dilakukan oleh kekuatan Pasukan Salib Eropa dan kekuatan Air Bah Mongol. Namun, kesemuanya berakhir dengan kemenangan ummat Islam.
Ada hal menarik yang dapat kita petik dari dua kisah yang cukup panjang di atas. Kedua momentum perebutan Palestina dari ummat Islam tersebut memiliki kesamaan yaitu pada saat kondisi ummat Islam tercerai berai. Para pemimpin Islam saling curiga, saling tuding dan saling serang. Potensi-potensi kekuatan yang pada dasarnya sangat besar tidak teroptimalkan. Akibatnya kelemahanlah yang mendominasi ummat Islam. Misalkan, jatuhnya Baghdad adalah setelah runtuhnya Kekhilafahan Abbasiyah.
Hal itu pulalah yang terjadi saat ini, saat dimana Palestina dalam penjajahan Zionis Israel adalah ketika Kekhalifahan Utsmaniyah runtuh pada 1924 M. Setelah hampir empat belas abad kaum muslimin memainkan peran politik dan peradabannya yang sangat menentukan masa depan dunia, pada tujuh abad keduanya peranan itu berangsur-angsur mengalami kemerosotan dan klimaksnya peristiwa 87 tahun silam ketika Kemal Attaturk menghapuskan sistem Khilafah di Turki.
Tidak hanya Palestina yang mengalami kesengsaraan. Negeri-negeri Islam dan ummat Islam di berbagai belahan dunia secara tidak langsung juga mengalami penderitaan dan penjajahan baik secara kultural, ekonomi, politik, dll. Dunia Islam dicabik-cabik dan dikapling-kapling oleh kolonialisme Barat.
Konsepsi pemikiran barat yang terlampau masuk dalam pikiran ummat menjadi penghalang bagi terwujudnya kesatuan tersebut. Begitu banyak isme-isme yang ditanamkan sebagai doktrin bagi anak-anak muda Islam. Isme-isme tersebut bagaikan pengganti agama bagi mereka, perdebatan yang tak berkesudahan semakin memperuncing permasalahan dan menjauhkan mereka dari rasa persatuan.
Kemenangan ummat Islam pada setiap kisah perjuangannya selalu didahului dari upaya konsolidasi ummat. Upaya penyatuan ummat Islam merupakan isu sentral yang harus kita terus kita serukan jika menginginkan kemenangan itu datang. Mengapa Shalahuddin mampu menghadapi pasukan Salib Eropa? Itu karena konsolidasi ummat yang ia lakukan efektif. Kampanye untuk konsolidasi tersebut terus digaungkan. Tidak mudah bagi Shalahuddin untuk melakukan hal tersebut. Ia harus menggulungkan kekuasaan Dinasti Fathimiyah di Mesir yang pro-Salibis. Ia juga harus mengingatkan kembali ummat akan Sirah Rasulullah dan para sahabat, membangkitkan kembali kepercayaan diri dan semangat jihad kaum muslimin yang telah lama tertidur pulas. Dari konsolidasinya tersebut, kelak ia mampu merebut kembali Palestina dan Syam dari Pasukan Salib dan para penerusnya tetap mampu mempertahankannya.
Begitu juga Qutuz, ia bangun kekuatan ummat dengan langkah-langkah sulit walaupun tidak sesulit Sholahuddin. Qutuz hanya perlu penyulut, sebab perang salib masih juga belum usai. Hanya saja, kesulitan Qutuz terletak pada mental ummat Islam yang sudah mulai lelah akibat perang Salib.
Kedua tokoh di atas merupakan contoh bagi pemimpin ummat Islam saat ini. Ummat Islam butuh seorang pemimpin yang mampu memberikan contoh, semangat dan berani mengambil tindakan. Lihatlah kata-kata Qutuz dihadapan para pembesar dan ulama Mesir. Qutuz tidak gila jabatan, ia serahkan sepenuhnya kekuasaan itu kepada siapapun yang berhak nantinya apabila kaum muslimin memenangkan peperangan melawan Mongol. Bahkan, dalam suratnya kepada Nasir Al-Ayyubi pemimpin Syam, ia rela menjadi anak buah Nasir apabila Nasir mau menyatukan Mesir dan Syam dan berperang melawan Mongol.
Lalu, bagaimanakah konsolidasi itu dapat dilakukan pada masa sekarang ini? Ummat Islam dapat dipersatukan dengan melakukan pendekatan-pendekatan karakter dan unsur kesatuannya. Dalam buku Menuju Jama’atul Muslimin Telaah Sistem Jamaah Dalam Gerakan Islam, Hussain bin Muhammad Ali Jabir mengatakan bahwa ada lima ciri atau karakteristik ummat Islam, yaitu:
1. Aqidah Islam adalah aqidah yang bersih dari kemusyrikan. Dengan demikian, ketika ummat menyadari bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah maka ummat tersebut adalah ummatan waahidan.
2. Aqidah Islam adalah aqidah yang komprehensif dan menyeluruh. Artinya adalah bahwa ummat Islam diperintahkan untuk menjalankan Islam secara “kaaffah”. Tidak membeda-bedakan urusan agama dengan urusan dunia. Tidak memisahkan urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, kehidupan sebahri-hari dengan ajaran Islam sebab Islam telah mengatur semuanya.
3. Semua ummat, kecuali ummat Islam –baik yang memiliki manhaj rabbani ataupun basyari- telah mengalami pemalsuan, penambahan dan pengurangan. Manhaj ummat Islam bersifat rabbani secara murni. Allah telah menurunkan Al-Qur’an dan hingga hari ini Al-Qur’an sebagai manhaj utama ummat Islam tidak pernah mengalami perubahan sedikitpun dan tetap sesuai dengan zaman.
4. Manhaj ummat Islam adalah manhaj yang sempurna, terlepas dari hawa nafsu dan kelemahan manusia.
“Dan tidaklah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm: 3-4)
5. Ciri khas yang dimiliki ummat Islam adalah al-wasathiyyah wa al-adl (pertengahan dan berkeadilan) dalam segala persoalan. Prinsip inilah yang menghindarkan ummat Islam dari ekstremisme dan juga kekurangan. Kalau dikatakan ada ummat Islam yang fundamental maka dengan tegas saya katakan ‘ya’. Fundamental dalam arti menjaga prinsip-prinsip keislamannya. Tapi tidak dibenarkan jika ada ummat Islam yang ekstremistis atau juga terlalu memudahkan.
Lebih lanjut tentang ummah al-washatiyyah (ummat pertengahan) ini, Sayyid Quthb menyebutkan hal-hal yang menyebabkan ummat Islam sebagai ummat pertengahan di antara ummat-ummat yang lain, yaitu:
1. Pertengahan dalam hal tashawwur (pandangan) dan keyakinan. Islam tidak sekedar menekankan pada aspek-aspek ruhani saja, tetapi juga tidak terlampau mementingkan aspek material. Antara keduanya seimbang dan sesuai fitrah manusia.
2. Pertengahan dalam segi pikiran dan perasaan. Ummat Islam tidak terpaku dan terkungkung pada hal-hal yang sudah diketahui, namun membuka pintu bagi perubahan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ummat Islam juga menolak hal-hal yang bersifat khurafat.
3. Pertengahan dalam tanzhim (pengorganisasian) dan tansiq (konsolidasi). Tidak hanya menyerahkan seluruh urusan kehidupan ini hanya kepada hati nurani dan perasaan saja, tetapi juga tidak menyerahkan sepenuhnya kepada undang-undang. Islam mengangkat nurani manusia dengan memberikan pengarahan dan pembinaan, dan menjamin sistem masyarakat melalui undang-undang.
4. Pertengahan dalam berbagai hubungan dan keterikatan. Tidak hanya menonjolkan identitas diri individu, tetapi juga tidak meleburkan identitas dan kepribadian individu dalam kepentingan jama’ah dan negara. Artinya adalah bahwa Islam membiarkan orientasi-orientasi individu dan karakteristik yang membentuk kepribadian dan eksistensinya, kemudian pada waktu yang beriringan juga menentukan kontrol, dan kondisi yang mendorong individu memenuhi tanggung jawab sosialnya, dalam suatu koordinasi dan kerjasama yang baik.
5. Pertengahan dalam zaman. Ummat Islam mengakhiri masa kanak-kanak generasi manusia sebelumnya dan mencapai masa kematangan intelektual sesudah masa tersebut. Bani Israel mewakili contoh generasi kanak-kanak yang nakal, selalu membangkang, tidak siap dengan perubahan, tidak punya pendirian. Di masa yang akan datang, mewakili generasi akhir usia dunia ini, akan ada sebuah generasi sok tua, penuh tipu daya, dan pada akhirnya mengalami kepikunan sosial.
6. Terakhir, secara kawasan, ummat Islam berada di tengah-tengah pusat bumi dan di tengah belahan dunia.
Kelima karakteristik di atas masih belum cukup untuk menyatukan ummat Islam. Masih perlu perangkat lain disebabkan tidur panjangnya ummat ini. Perangkat itu adalah unsur-unsur kesatuan ummat.
Ada 8 unsur kesatuan ummat, yaitu:
1. Kesatuan Aqidah
Ummat Islam mempunyai sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan “Laa ilaaha illallaah Muhammad ar-Rasuulullaah” secara ikhlas. Barangsiapa yang tidak mengucapkan kalimat tersebut maka ia bukanlah bagian dari ummat ini.
2. Kesatuan Ibadah
Semua ummat Islam memiliki kesatuan dalam ibadah. Ibadah-ibadah wajib yang harus dikerjakan adalah shalat lima waktu dalam sehari semalam, puasa di bulan Ramadhan setiap tahun, zakat apabila telah cukup nisab, pergi haji bagi mereka yang mampu, dan kewajiban-kewajiban lainnya dalam Islam.
Semua itu adalah implementasi dari firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:56)
3. Kesatuan Adat dan Perilaku
Setiap muslim telah memiliki seorang teladan yang baik yaitu diri Rasulullah saw. Ini menumbuhkan kesatuan perilaku dan akhlak, karena kaum muslimin dituntut untuk mencontoh Rasulullah.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullaah itu untuk kamu suri tauladan yang baik.” (QS. Al-Ahzab:21)
4. Kesatuan Sejarah
Seorang muslim tidak terikat oleh tanah air, suku bangsa, ras atau warna kulit tertentu. Hanya aqidah dan sejarah Islamlah yang menjadi ikatan dan kebanggaanya.
5. Kesatuan Bahasa
Bahasa Arab adalah bahasa persatuan ummat Islam. Setiap muslim dituntut untuk belajar dan memahami Islam kemudian mengamalkannya. Sementara itu, pokok ajaran ummat Islam tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullaah yang berbahasa Arab. Undang-undang ummat Islam (Al-Qur’an) dibaca dengan bahasa Arab, maka seseorang harus memahami bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasanya. Hal ini tidaklah menafikan bahasa-bahasa lain, atau menolak bahasa non-Arab. Yang dituntut adalah bahasa Arab menjadi bahasa persatuan ummat Islam di seluruh dunia sebagai sarana komunikasi antar sesama muslim. Shalat adalah sebagai sarana latihan setiap muslim dalam pengucapan bahasa Arab yang benar. Sebab, dalam shalat tidak diperbolehkan sedikitpun menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab.
6. Kesatuan Jalan
Kaum muslimin memiliki satu jalan yaitu jalan para nabi dan rasul. Sebagaimana firman Allah:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang sesat.” (QS. Al Fatihah:6-7)
Rasulullah bersabda:
“Aku telah meninggalkan kamu dalam keadaan terang benderang di malamnya seperti siangnya, tidak akan tergelincir dari sesudahku kecuali orang-orang yang celaka.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Abu Daud)
Inilah jalan yang akan mengantarkan ke surga. Maka setiap muslim dituntut untuk tetap istiqamah di jalannya. Apabila tergelincir dari jalan tersebut maka kecelakaanlah yang akan diperoleh.
7. Kesatuan Dustur
Ummat Islam memiliki kesatuan undang-undang yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Setiap orang dituntut untuk mempelajarinya untuk kemudian mengamalkannya.
8. Kesatuan Pimpinan
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa pemimpinnya yang pertama adalah Rasulullah Muhammad saw., diteruskan oleh para khalifahnya yang terpimpin. Mereka menjadi pemimpin ummat pada zamannya. Tidak boleh ada kepemimpinan ummat Islam secara umum lebih dari satu orang. Adanya beberapa pemimpin ummat Islam sesudah itu adalah suatu signal perpecahan ummat. Hingga hari ini, sangat menyedihkan kondisi ummat Islam. Ummat Islam bergerak tanpa pemimpin, tanpa seorang qudwah.
Karakteristik ummat dan unsur-unsur kesatuan ummat tersebut akan menjadi pijakan dalam konsolidasi ummat di masa sekarang ini. Kebutuhan akan adanya seorang pemimpin ummat Islam dalam menyelesaikan semua permasalahan ummat Islam termasuk permasalahan Palestina adalah suatu hal yang mutlak. Bahkan, jasad Rasulullah masih dibiarkan selama tiga hari sebelum ada pemimpin ummat Islam sebagai pengganti beliau.
Wallahu a’lam bi ash-showab
0 komentar:
Posting Komentar