Beberapa bulan yang lalu dunia pendidikan kita disibukkan dengan rutinitas Ujian Nasional, kemudian disibukkan kembali dengan ‘semarak’nya pengumuman kelulusan siswa. Banyak yang menyambutnya dengan keceriaan serta tidak sedikit juga yang menyambutnya dengan kesedihan dan kemeranaan. Bagi yang lulus, kelulusannya adalah sebuah prestasi yang luar biasa, entah apaun caranya. Tapi bagi yang tidak lulus, hal tersebut merupakan kemalangan yang tidak terelakkan sebab selain dinyatakan gagal juga akan menanggung rasa malu baik di mata teman-temannya juga di mata masyarakat sekitarnya. Namun segala problematika Ujian Nasional tersebut akan menjadi PR kita bersama untuk memperjuangkannya agar siswa-siswa kita tidak menjadi korban ’pemaksaan’ sistem lagi.
Saudaraku, saya sangat trenyuh saat melihat pemberitaan di salah satu stasiun televisi swasta bahwa ada anak-anak sebuah Sekolah Dasar di Sukabumi Jawa Barat terpaksa harus belajar di bawah naungan atap langit dan berdindingkan pepohonan. Bukan karena mereka belajar di sekolah alam atau sedang melakukan kegiatan belajar out door akan tetapi seperti itulah keseharian sekolah mereka. Jangankan sarana praktek sebagai penunjang belajar, gedung pun tidak ada. Gedung sekolah yang seharusnya mereka pakai untuk kegiatan belajar mengajar sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Bangunannya sudah hampir roboh. Ketika ditanyakan kepada kepala sekolah, ternyata memang tidak ada bantuan dari pemerintah atau para dermawan untuk memeperbaiki kons\disi bangunan sekolah tersebut. Namun, ada sedikit kegembiraan di hati saya ketika melihat tanyangan anak-anak lugu (para siswa) yang mereka masih sangat bersemangat untuk bersekolah. Semangat dan kegembiraan itu terpancar jelas di sorot mata mereka.
Kondisi sekolah kita di Sukabumi Jawa Barat di atas hanya salah satu contoh yang sangat kecil. Banyak sekolah-sekolah lain yang juga sama parahnya bahkan lebih menyedihkan kondisinya. Ruangan kelas hanya layak disebut sebagai kandang kambing masih bertebaran di pelosok negeri ini. Saya teringat ketika pemutaran perdana film ’Laskar Pelangi’ yang ketika itu sang penulis novel Andrea Hirata bersama-sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Sang novelis memberikan sentilan kecil kepada bapak presiden, ”Inilah kondisi pendidikan kita.” Presiden hanya menaggapi santai sentilan tersebut, ”Itukan dulu, sekarang sudah tidak lagi.” Tapi nyatanya kondisi sekolah kita tidak lebih baik dibandingkan dahulu.
Saya tidak akan mengatakan itu sekolah Anda, sekolah di kota Anda, atau sekolah di propinsi Anda tapi saya katakan itu adalah kondisi sekolah saya, sekolah Anda dan sekolah kita semua. Mengapa saya katakan demikian karena kondisi ini terjadi dalam sebuah bingkai ’INDONESIA’.
Kita boleh berceloteh soal sistem. Tidak ada larangan bagi kita untuk mengkritik sistem pendidikan kita yang memang tidak mendidik. Kita juga sangat boleh mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait masalah pendidikan tetapi janagan juga kita lupakan soal pembangunan fisiknya. Bagaimana mungkin siswa-siswa kita akan nyaman belajar ketika panas terik menerpa mereka kepanasan hingga keringat bercucuran? Atau di saat hujan turun mereka harus berlarian mencari tempat bernaung, bagi yang terlambat maka basah kuyuplah ia atau buku-bukunya yang akan jadi korban kebasahan. Akan lebih sangat mengerikan seandainya gedung-gedung tak layak pakai tersebut masih saja dibiarkan dan terus digunakan apabila suatu hari ternyata gedung-gedung tersebut roboh dan anak-anak sedang belajar di bawahnya.
Saudaraku, Heppy Trenggono mengatakan, ”Bangsa Pintar Dipimpin oleh Pemimpin yang Membangun Bangsanya, Bangsa Bodoh Dipimpin Oleh Pemimpin yang Membangun Dirinya.” Jelas bukan?? Kalau kita ingin pintar, menjadi bangsa yang pintar dan cerdas kita harus dipimpin oleh pemimpin yang membangun bangsa bukan pemimpin yang membangun kelompoknya atau malah lebih parah membangun dirinya sendiri. Tapi saya rasa bukan hanya pemerinah, para pengusaha kita juga harus bertanggung jawab. Betapa banyak mereka telah meraup keuntungan dari bangsa ini, betapa banyak juga mereka juga telah merugikan negeri ini. Toh, korupsi bukan hanya oleh pemerintah tapi juga oleh para pemilik korporasi. Dana CSR perusahaan yang cukup besar akan jauh lebih dan sangat bermanfaat bila digunakan untuk kepentingan publik. Misal dengan membangunkan sarana pendidikan, sarana bermain anak-anak dan juga sarana ibadah. Para kepala sekolah tak perlu lagi berkeliling mengajukan proposal kepada pemerintah dan pengusaha meminta kerendahan hati mereka untuk membangunkan sarana prasaranabelajar akan tetapi pemerintah dan pengusahalah yang harus perhatian kepada nasib pendidikan kita. Marilah kita coba kalau pendidikan kita ingin lebih baik.
2 komentar:
Masya Allah, masih banyak yg fasilitas pendidikannya harus dibenahi, tp jangan surut karena kurangnya sarana prasarana....Ikal dan banyak orang sukses yg berhasil meski mereka dulunya tinggal di sekolah yg rusak....
benar juga.
kadangkala fasilitas lengkap tidak menjadi jaminan mutu. dengan fasilitas yang lengkap jadi terlena sedang yang fasilitas terbatas justeru menjadi lebuh semangat..
Posting Komentar