Apa yang ada dalam benak Anda ketika saya sebutkan kata-kata sekolah? Adakah yang membayangkan suatu kegiatan yang membosankan karena setiap hari harus duduk di bangku kayu yang keras, tangan ditumpuk di atas meja? Ataukah ada juga yang membayangkan sekian banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan sepulang sekolah atau malah dikerjakan sebelum jam pelajaran dimulai secara beramai-ramai? Tentu saja banyak sekali yang kita bayangkan ketika disebutkan satu kata tersebut dan itu semua bergantung pada pengalaman belajar selama duduk di bangku sekolah dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Ketika di sekolah dasar kita diajarkan menggambar pemandangan dengan satu atau dua gunung dan ada matahari di atasnya. Tidak lupa di sekelilingnya terdapat padi dan pepohonan serta jalan raya yang menuju ke gunung tersebut. Atau menggambar seekor bebek dengan angka dua dan tentu bebeknya akan mengarah ke sebelah kiri kita. Kebiasaan itu terus kita bawa hingga saat ini, ketika kita sudah duduk di bangku kuliah, ketika menjadi guru, menjadi ibu atau seorang bapak bahkan ketika menjadi seorang pejabat sekalipun.
Kebiasaan- kebiasaan itu kembali kita tularkan kepada anak-anak, murid, adik dan siapa pun yang mencoba belajar dari kita. Itulah sebabnya sekolah dari cetakan pewarisan kebiasaan ini tidak mengalami perkembangan yang berarti. Zaman boleh maju, kita telah mengenal dunia digital sehingga hidup serba lebih mudah dan canggih, tapi sesungguhnya pemikiran kita adalah pemikiran warisan dari kebiasaan yang sebenarnya stagnan. Wajar saja kalau kita kalah bersaing dengan negara tetangga kita Malaysia dan Singapura yang dulu mengimpor guru dari negara kita.
Cobalah ketika ada yang menyebutkan kata ’sekolah’ kita fikirkan hal yang berbeda. Mas Lendonovo mencoba berfikir hal yang berbeda tentang sekolah, maka lahir dari pemikiran yang berbeda tersebut sebuah model sekolah baru di Indonesia, dikenal dengan nama ’Sekolah Alam’. Atau bentuk sekolah lain yang dibuat oleh Pak Harry Roesli, sekolah musik untuk anak-anak jalanan.
Ada seorang ayah ditanya mengapa menyekolahkan anaknya di salah satu Sekolah Alam di Bandung yang terbilang lebih mahal dan anak belajar sambil berkotor-kotor ria. ”Habisnya sekolah konvensial terlalu banyak teori tanpa ada praktek,” jawabnya mantap. Itulah penilaian, walau hanya dari satu orang dan tidak representatif tapi pernyataan beliau ada benarnya. Sekolah umum lebih banyak mengajarkan teori dan anak dijejali dengan ratusan ribu kata setiap harinya, tapi sesungguhnya hal tersebut tidak memenuhi semua aspek yang diharapkan. Dengan penjelasan teori-teori, maka yang ada adalah pemenuhan aspek kognitifnya saja sedangkan aspek afektif dan psikomotoriknya terabaikan. Misalkan, pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan teori-teori tentang kekeluargaan, tapi benarkah kekeluargaan telah terbangun kekeluargaan di antara siswa?
Saya tidak menyatakan bahwa pemberian teori itu tidak penting, akan tetapi itu hanya sebagai acuan untuk mempraktekkan dan mengaktualisasikan diri. Sehingga ketika waktunya kelak para siswa tersebut telah masuk dalam dunia sebenarnya mereka tidak ’No Action Talk Only’ (NATO) alias omong doank. Sedangkan praktek tanpa teori toh juga salah, ibarat seseorang yang berjalan di tengah gelapnya malam tanpa bantuan penerangan bisa-bisa ia tersesat. Begitu pentingnya keduanya antara teori dan praktek sehingga semuanya harus berjalan seiring.
Kita bisa belajar dari Rasulullah saw. dan beberapa rasul sebelumnya, bagaimana mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan memberi pelajaran serta peringatan bagi masing-masing ummatnya. Untuk mendidik mereka sengaja Allah memberikan ujian yang cukup, misalkan untuk memimpin ummat para utusan Allah tersebut lebih dahulu belajar menggembalakan domba. Domba-domba yang susah diatur tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi mereka kelak dalam mengendalikan ummat. Apalagi nabi Musa yang diturunkan kepada Bani Israil yang terkenal sangat bebal dan susah diatur. Contoh lainnya, dalam berniaga Rasulullah saw. selain diajarkan oleh pamannya teori-teori bisnis dan marketing beliau juga mempraktekkannya langsung sejak usia 12 tahun dan pada akhirnya dipercaya untuk menjalankan barang perniagaan Siti Khadijah dengan kejujuran dan hasilnya mendapatkan keuntungan yang luar biasa.
Mengapa masalah bangsa sampai dengan hari ini tidak dapat terselasaikan?? Itu berawal dari pendidikan kita. Pendidikan pewarisan yang sampai dengan saat ini masih mendominasi di negeri ini menjadi penghalang negeri kita untuk maju. Seorang siswa yang berfikir berbeda pada sebuah sekolah akan dicap bersalah oleh gurunya. Coba saja kita sedikit menghargai pemikiran-pemikiran berbeda mereka, siapa tahu dari pemikiran berbeda itu akan memberikan masukan yang berharga bagi kita. Selian itu permasalahan bangsa ini tidak pernah terselesaikan karena kita terlalu banyak komentator ketimbang yang mau bekerja. Itu juga akibat dari pendidikan kita, terlalu banyak dijejali dengan teori-teori tanpa ia coba dengan praktek sesungguhnya. Praktek saat ini baru dijadikan ajang pelajaran bukan praktek yang sebenarnya sebab pelajaran praktek tidak pernah diajarkan di bangku sekolah atau kuliah.
2 komentar:
Benar, dulu waktu SD kita dicontohkan seperti itu, sehingga pikiran kita stagnan...klo gambar pemandangan...ya gitu. Sekarang anak2 sudah mulai cerdas, mereka lebih pandai berkreasi bahkan gambaran mereka menjadi kejutan karena orisinil. Sekolah negeri pun sekarang sudah mulai meningkatkan kualitasnya dan pelajaran2 praktik sangat diminati, apalagi untuk anak2 yg aktif ^^
hmmm...
thanks atas commentnya. sebenarnya segala sesuatu tergantung pada pendidik dan pola pendidikannya...
Posting Komentar