11 Juli 2010

Sekolah untuk Kebodohan

Bani Israil menjadi contoh para pembelajar bebal yang banyak sekali Allah ceritakan di dalam Al-Qur’an. Bahkan hingga hari ini para pembelajar bebal itu juga masih sangat banyak dan terus menyebarkan kebebalan-kebebalannya kepada setiap orang tak terkecuali diri kita. Kebebalan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa banyak yang tidak mau belajar dari orang lain, sejarah, binatang bahkan segenap alam semesta. Kebebalan semacam ini sudah banyak merasuki diri kita.
Dalam lingkup pendidikan formal, ada banyak kebebalan yang ditanamkan ke dalam kurikulum pendidikan kita. Jangankan kurikulum, bahkan sistem besarnya juga sudah bebal. Bagaimana turunan yang lebih kecil jika sistem terbesarnya saja sudah bebal?
Masih segar dalam ingatan kita tentang seorang anak SMP bunuh diri gara-gara tidak lulus Ujian Nasional. Ada juga yang karena ketakutan yang begitu besar kahirnya ia mengakhiri hidupnya padahal waktu pengumuman belumlah tiba. Saya tidak akan membenarkan sikap yang diambil oleh para anak-anak tersebut. Tapi ada satu hal yang perlu kita fahami bahwa ternyata sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang memaksa. Selain itu kegagalan-kegagalan dalam pendidikan sangat kentara terlihat. Bagaimana mungkin seorang anak akan melakukan sebuah perbuatan picik dengan bunuh diri kalau pendidikan itu dilaksanakan dengan baik?? Belum lagi yang mengalami depresi jumlahnya sudah tidak terhitung. Yang ada dalam sistem pendidikan kita bukan mendidik tapi ’memaksa
Kalau dulu tawuran itu hanya dikenal pada anak-anak sekolah menengah (SMP dan SMA) sekarang sudah merambah ke kelompok yang lebih ’elit’ lagi. Tawuran menjadi sebuah tingkah para mahasiswa. Kenapa saya katakan tingkah sebab ini adalah penyimpangan watak. Sikap tidak dewasa. Berani kepada sesama yang didominasi oleh egoisme atau berani kepada junior pada saat ospek dengan alasan balas dendam.
Sekolah untuk jadi bodoh seperti yang diungkapkan oleh Ustadz Rahmat Abdullah merupakan sebuah tradisi mengulang kejelekan pendahulu. Sangat baik kalau yang diulang merupakan hal yang mulia dan terpuji akan tetapi yang diulang justeru kejelekan-kejelekan. Kalau dulu para koruptor merampok uang negara secara sembunyi-sembunyi dibalik ketiak penguasa. Sekarang koruptor sudah tidak malu-malu lagi berkomentar di media padahal sudah terbukti bersalah. ”toh kami hanya mengikuti para pendahulu kami, kami hanya ingin mengambil hak kami yang dulu dirampas oleh mereka walau harus merampok uang rkayat juga,” itu barangkali fikir mereka. Walaupun keduanya tetaplah salah, sama-sama mencuri. Pepatah Arab ”rahimallahu assarariqal awwal”(semoga Allah mengasihi pencuri terdahulu) sesungguhnya tidak berlaku di sini.
Seorang Abul Hasan Ali Annadawi, ulama besar India mengatakan terkait dengan buah dari dana besar ummat di negeri-negeri maupun swasta. ”Itu bukan pembangunan, tetapi penghancuran,” Mengapa beliau sampai mengatakan hal seperti ini?? Karena bila ummat Islam yang punya aqidah dan prinsip, da’wah dan risalah, direkayasa sejak kecil untuk menghirup nyawa hidup dari dunia lain yang materialistik, hedonik, kering dan munafik, maka pengkhianatan telah terjadi. di sebagian besar negara-negara Islam, jangankan mendapatkan pendidikan keislaman yang cukup, sekedar memasukkan Sirah Nabawiyah Rasulullah dalam kurikulum sangat dilarang. Alasannya, agar tidak ada tindakan ekstrem dalam beragama. Padahal rujukan harakiyah dan inspirasi perjuangan ummat Islam sesungguhnya dari sejarah Rasulullah dan para sahabat tersebut. Termasuk negeri ini. Kalaupun ada itu masih dalam sekup formal dan sangat dibatasi.
Sesungguhnya sebuah agenda dari rekayasa telah merasuki sistem kita. Dimulai dari para penjajah yang dahulu membagi-bagi negeri muslim ke dalam wilayah jajahan mereka. Sistem itu tertanam. Walaupun kemerdekaan telah diraih namun pendidikan yang diperoleh dari para pendiri negeri ini juga hasil indoktrinasi penjajah. Kita merdeka secara fisik namun belum merdeka secara pemikiran. Sesungguhnya sekolah yang kita jalani saat ini adalah sekolah kebodohan. Perlu tatanan baru dalam pengelolaan dan muatan pendidikan kita. Agar tidak lagi ada korban-korban berjatuhan akibat pembodohan-pembodohan tersebut.
Menurut Muhammad Quthb dalam Manhaj Tarbiyah Islamiyah, pendidikan adalah ’Seni Membentuk Manusia(fannu tasykiilil insaan). Untuk membentuk manusia maka ada dimensi-dimensi yang harus selalu dibentuk yaitu akal, hati dan badan, dengan kata lain pendidikan adalah bagaimana membentuk semua elemen yang menjadi ciri kehidupan seorang manusia kemudian berusaha mengaktualisasikan. Aktualisasi itu sendiri merupakan proses dari pendidikan.
Di negeri ini sudah sangat banyak orang yang pintar secara intelektual namun ternyata yang terbentuk hanya pada dimensi akal saja. Ia tetap bebal seperti halnya Bani Israil yang tetap bebal walaupun Allah telah menunjukkan berbagai kekuasaannya dan menjanjikan kemenangan kepada mereka. Mereka telah mengatakan sebuah hal yang sangat fatal ”pergilah engkau (Musa) berperang bersama Tuhanmu (Allah),” sehingga mereka pun dihukum tersesat pada sebuah padang selama empat puluh tahun. Selama dalam masa hukuman Allah masih tidak menyia-nyiakan mereka, Allah masih sangat bermurah hati dengan menaungi mereka dengan awan sehingga mereka tidak kepanasan, diberi makanan langit ”manna dan salwa”. Namun karena kebebalan mereka masih saja protes, ”wahai Musa, mana mungkin kami bisa hidup dengan makanan yang hanya satu tipe tanpa variasi, cobalah mintakan kepada Tuhanmu jenis makanan yang lain dari buah-buahan dan sayuran yang tumbuh dari bumi.”
Belajar dari kebebalan-kebebalan di atas, maka kita diharapkan untuk tidak ikut menjadi makhluk yang bebal. Sama seperti Hudzaifah bin Yaman yang bertanya bayak hal tentang keburukan kepada Rasulullah bukan untuk berbuat keburukan tapi untuk menghindarinya. Belajar dari sumber inspirasi kita Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Sirah Rasulullah dan Sahabat serta orang –orang shaleh sungguh tidak akan pernah habis. Mereka para pembelajar cerdas, cepat dan ikhlas sepanjang masa.

0 komentar:

Posting Komentar