Seri Taujihat Pekanan
Dalam rubrik tanya jawab di sebuah media online berbahasa arab, seorang aktifis da’wah menanyakan sebuah fenomena yang menurutnya telah terjadi perubahan dalam sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah sehingga membuat para kader da’wah tidak tsiqah lagi kepada mereka. Dalam jawabannya yang panjang lebar, pengasuh rubric tersebut menyelipkan sebuah pertanyaan untuk membantu penanya merenung dan menemukan jawaban dengan mengajaknya melihat masalah tersebut dari sudut pandang berbeda; “apakah ketidaktsiqahan kader tersebut disebabkan karena para qiyadah sudah berubah atau disebabkan kapasitas keilmuan para kader yang terbatas dan tidak mampu memahami sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah?”
Pertanyaan balik yang dilontarkan pengasuh rubrik tersebut mengajarkan kepada kita semua untuk melihat, menilai dan mencemati suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Melihat dan menilai suatu masalah dari berbagai sisi, tentu akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dibandingkan bila kita melihatnya hanya dari satu sisi. Demikian halnya ketika kita melihatnya dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu tentu akan menghasilkan penilaian yang berebeda dibandingkan bila kita melihatnya hanya dengan satu sisiplin ilmu saja. Karena untuk bisa memahami perkembangan dan kebijakan da’wah para era jahriyah jamahiriyah, dan agar mampu mengelola da’wah yang telah memasuki mihwar muassasi ini, memerlukan kedalaman ilmu dan peningkatan kapasitas keilmuan. Keterbatasan kapasitas keilmuan atau ketidakmampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang hanya akan membuat kita terkungkung dengan asumsi-asumsi atau kesimpulan yang menyesatkan.
Ketika ada berita bahwa Tim Pemenangan Pilkada salah satu DPW melakukan kerjasama dengan seorang non muslim, ada seorang kader yang sangat gelisah dan menulis protes keras disebuah majalah dengan mengatakan:
Tak satu pun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi saw mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan menolaknya dengan mengatakan, “Aku tidak akan pernah meminta bantuan kepada musyrik.” Kenapa sensitifitas terhadap halal dan haram ini terus melemah?”
Menyimpulkan bahwa tidak satupun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah menerima bantuan dari kaum kafir adalah kesimpulan yang sangat naïf. Bukankah Rasulullah saw pernah melakukan hal-hal berikut?:
1. Bersama Abu Bakar ra, Rasulullah saw meminta bantuan seorang musyrik dari Bani Ad Diil untuk menjadi oenunjuk jalan saat mereka hijrah menuju Madinah dan orang itu pun memberikan dua kuda tunggangannya kepada Rasulullah saw dan Abu Bakar. (Shahih Bukhahri, Jilid 8, hal. 280-282)
2. Pada peristiwa Hudaibiyah Rasulullah saw meminta bantuan seorang kafir dari Khuza’ah untuk memata-matai apa yang dilakukan orang-orang Quraisy. (Zadul Ma’add, Jilid 2, hal. 127)
3. Pada saat perang Hunain Rasullah saw mwminta bantuan tenaga salah satu tokoh kafir Quraisy yang bernama Shafwan bin Umayyah dan meminjam sejumlah baju perang (bantuan harta). (Nashbu Rayah, jilid 3, hal. 377 dan Zadul Ma’ad, jilid 2, hal. 190)
Telepas dari adanya persayaratan-persyaratan tertentu usng dibuat oleh sebagian ulama sehingga diperbolehkan menerima atau meminta bantuan kepada orang non muslim, yang jelas masih banyak lagi dalil yang menunjukan bahwa Rasulullah saw menerima dan meminta bantuan kepada orang kafir dan beretentangan dengan kesimpulan saudara di atas. Oleh karenanya hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw tidak meminta bantuan kepada orang musyrik tidak bisa dilihat dari sisi tekstualnya saja, harus dilihat juga dari kontekstualnya atau asbabul wurudnya. Dalam riwayat Imam al-Hakim disebutkan bahwa orang musyrik tersebut adalah bagian dari pasukan kaum Yahudi Bani Qainuqa’ yang menjadi sahabat tokoh munafik Abdullah bin Ubay sehingga sangat mungkin penolakan Rasulullah saw tersebut disebabkan adanya kekhawatiran akan terjadi pengkhianatan dan mereka nerbalik menyerang kaum muslimin. (lihat Syarhu as Sair al Kabir, jilid 4, hal. 1423)
Untuk dapat memahami perkembangan da’wahdan problematikanya saat ini, menuntut adanya kredibilitas keilmuan. Kredibilitas tersebut tidak cukup hanya mengandalkan keilmuan yang bersumber dari literature saja, tetapi juga keilmuan yang didapat dari interaksi langsung dengan realita da’wah, keilmuan yang berasal dari interaksi langsung dengan dinamika kehidupan.
Seorang kader yang berkiprah langsung dalam da’wah siyasiyah akan memahami betapa sangat strategisnya kekuatan politik untuk melakukan perubahan dalam masyarakat dan karenanya harus terlibat dalam proses politik meskipun keterlibatan tersebut baru sebagai sarana belajar, tentunya dengan kesadaran penuh akan kemungkinan adanya dampak negatif yang mungkin mempengaruhi perilaku dan kepribadian seorang kader yang berinteraksi dengan dunia yang bergetah ini.
Sebaliknya, bagi kader yang melihat dunia da’wah siyasiyah dari kejauhan, akan cenderung menyoroti sisi kemubadziran proses politik yang memerlukan biaya mahal, cenderung hanya melihat dari sisi dampak negatif yang mungkin timbul dan karenanya mengajak kita meninggalkan dunia politik, cenderung mengikuti pikiran pribadinya dan menyeru agar kita tidak memaksakan diri terlibat dalam dunia pemilu atau pilkada, meskipun kebijakan tersebut diambil melalui proses syuro’ yang panjang. Ketika menyampaikan seruan tersebut mungkin tidak lagi mau menimbang-nimbang mudharat yang timbul bila orang-orang shalih ini tidak mau memasuki dunia abu-abu tersebut. Agar kita mampu menimbang masalah ini dengan timbangan yang benar, penting bagi kita untuk menyimak hadits Rasulullah saw. berikut:
“Orang mu’min yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan (dampak negatif) mereka, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah).
Bila ada kader yang gelisah dan bingung dalam memahami perkembangan da’wah dan sepak terjang aktofosnya, gelisah karena ijtihad, qiyas dan mashlahat dijadikan dasar dalam mengambil sikap atau kebijakan-kebijakan da’wah dan mengatakan: “Terkadang untuk men-justifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah kaidah-kaidah fiqh secara berani dan tidak proporsional… Sementara di zaman sekarang, anak-anak muda menjawab dengan berani terhadap masalah apa saja yang diajukan kepada mereka denga dalih ijtihad dan mashlahat”, ternyata kegelisahan dan kebingungan yang diungkapkan dengan kata-kata yang sama telah dinukil oleh Muhammad Ahmad Ar Rasyid dalam bukunya “manhajiyatul ifta’ wal ijtihad”. Namun beliau menepis kebingungan tersebut setelah menemukan ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib ra:
Setiap kaum, merekalah yang paling mengetahu urusan mereka dan paling memahami apa yang bisa memberikan mashlahah kepada diri mereka, mereka berhak mencibir orang lain yang tidak memahami mereka, kebenaran dapat diketahui dengan qiyas bagi mereka yang memiliki akal.
Ali bin Abi Thalib ra telah menjelaskan dengan gambling bahwa menggunakan qiyas dan mashlahat dalam mengambil kebijakan politik, kebikana da;wah dan muamalah merupakan manhaj yang benar. Hal ini akan menghilangkan keraguan dalam berijtihad dan bahkan mendorong untuk berani berijtihad, tentunya dalam masalah-masalah fiqh da’wah, politik dan muamalah.
Dari pemaparan masalah di atas ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi:
1. Pentingnya meningkatkan kredibilitas dan kapasitas keilmuan untuk bisa memahami, menyikapi bahkan mengelola da’wah di mihwar muassasi. Peningkatan kredibilitas dan kapasitas keilmuan bukan hanya dengan menguasai ilmu alat yang didapat dari belajar dan membaca buku, tetapi juga dengan berinteraksi lansung dengan realita kehidupan sehingga kita dapat memahami dan menyikapi suatu fenomena atau problema da’wah dengan benar, dapat mengelola kerja-kerja da’wah ini dengan produktifitas yang tinggi.
2. Kredibilitas keilmuan menuntut adanya kredibilitas dan integritas personal. Kredibilitas dan integritas personal inilah yang akan menghadirkan keikhlasan dalam berbicara dan bertindak, dalam mengkritik dan menilai, mendorong kita menjadi orang yang adil dan objektif meskipun terhadap diri sendiri, memacu kita untuk dapat memberikan kontribusi riil yang sebesar-besarnya demi perbaikan dan pengembangan da’wah ini dan bukan sekedar berbicara, menilai dan mengkritik. Kalaulah harus menilai dan mengkritik, kita tahu kapan, dimana dan bagaimana cara mengkritik yang benar. Apalagi bila yang dikritik itu adalah sebuah kebijakan yang dihasilkan melalui syura’. Bagaimana hasil syura’ itu lebih baik dan lebih berkah dari pada pendapat dan pikiran pribadi.
3. kredibilitas keilmuan menuntut kita senantiasa memiliki pandangan positif terhadap perbedaan dan keragaman (sunnatu tanawwu’), apapun perbedaan dan keragaman tersebut. Dengan adanya sunnatu tanawwu’ kehidupan ini akan semakin dinamis. Kekurangan yang terjadi pada saudara kita berarti peluang ibadah. Allah memberi peluang kita untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kekritisan saudara kita akan menjadikan kehidupan ini menjadi seimbang. Hanya saja kekritisan tersebut tidak boleh menjadi faktor yang mempengaruhi soliditas kehidupan berjamaah ini, atau bahkan menjadi pintu masuknya pihak-pihak yang ingin memporak-porandakan shaf kita. Wallah a’lam..
0 komentar:
Posting Komentar