27 Januari 2009

PEMIRA, JANGAN HANYA MENJADI RITUAL TRANSFER KEPEMIMPINAN


Genderang perang itu kembali berbunyi. PEMIRA sudah di depan mata, hitungannyapun tidak lagi menggunakan hitungan bulan tetapi hari. Menuju November bukanlah waktu yang lama. Persiapanpun tentu sudah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mulai dari syarat‐syarat bakal calon, jadwal PEMIRA hingga yang paling teknis. Berbagai tulisan juga sudah banyak menghiasi papan‐papan pengumuman di setiap sudu
GEMA ASPIRASI MAHASISWA
Namun, di balik itu semua ternyata ada pertanyaan yang begitu besar dari penulis. Siapa sajakah Calon Presiden kita…?? Pertanyaan ini sekaligus menjadi kekhawatiran jangan‐jangan demokratisasi di kampus ini telah mati. Ya, sesuatu yang serba surprise ini akan membawa kita pada budaya pewarisan. Calon Presiden Mahasiswa yang akan muncul dan dominan nanti lagi‐lagi dari internal Badan Eksekutif Mahasiswa Uniniversitas Sriwijaya itu sendiri. Inilah yang saya maksudkan dengan budaya pewarisan (transfer) kekuasaan. Tidak adakah tokoh‐tokoh Mahasiswa yang berasal dari Fakultas, UKM‐UKM, atau yang punya background organisasi ekstra kampus?
Universitas Sriwijaya dengan sembilan Fakultas yang ada dan + 25.000 mahasiswanya apakah tidak ada satupun yang berpotensi menjadi seorang pemimpin dan berani untuk mengembangkan potensinya itu. Saya yakin, dalam satu fakultas itu minimal ada satu orang yang berpotensi, sembilan fakultas berarti sembilan orang yang mempunyai potensi. Mengapa kesembilannya tidak maju…? belum lagi yang punya background ekstra kampus, HMI, KAMMI, GMKI, FMN, dll.
Ingat Bung…!!! KM UNSRI bukan hanya milik segelintir orang. Institusi ini milik kita bersama. Setiap orang berhak dan boleh melakukan perubahan. Tinggal pertanyaannya adalah: BERANI ATAU TIDAK. Sama halnya dengan semboyan perjuangan bangsa pada saat mempertahankan kemerdekaan, HIDUP ATAU MATI. Dalam konteks yang berbeda dari pengertian yang sesungguhnya ”HIDUP ATAU MATI” tersebut adalah ketika kita memilih hidup berarti kita telah berani mengambil resiko untuk menjalaninya, begitupun ketika kita memilih untuk mati berarti kita tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Benarkah sekarang kita ”HIDUP” ataukah raga kita hidup tapi dengan ketakutan‐ketakutan dan pesimisme kita. Apabila ini yang terjadi, sesungguhnya kita telah ”MATI”.
Untuk menghindari terjadinya kembali budaya pewarisan tersebut, maka kita sebagai mahasiswa harus cerdas. Kecerdasan tidak hanya ditunjukan oleh nilai‐nilai akademik yang bagus, kecerdasan seperti ini merupakan kecerdasan semu, selalu berubah. Apabila ada orang yang lebih baik dari kita maka kita akan terkalahkan. Tapi bila kita cerdas dengan kondisi di sekitar kita inilah bentuk kecerdasan yang sesungguhnya dan kepuasan yang tak terhingga. Baca, dengar dan telaah apa yang diusung oleh calon‐calon pemimpin kita. Apakah benar‐benar mereka mengusung perubahan ataukah ada kepentingan‐kepentingan lain di balik itu semua? Realistiskah apa yang diusungnya tersebut? Mampukah ia dengan kapasitasnya sekarang?
Memang untuk menentukan pilihan itu merupakan suatu yang sulit. Banyak pertanyaan yang mesti dijawab oleh diri kita sendiri. Tapi ketika kita telah memantapkan pilihan kita, maka saat itulah kita telah berpartisipasi dalam melakukan perubahan bagi Gerakan Mahasiswa, daerah kita dan negeri ini.
Jangan pernah menitipkan perubahan kepada orang lain sebab kita tidak akan mendapatkan kepuasan nantinya. Lakukan perubahan itu oleh diri kita sendiri dan bersama‐sama dengan orang lain yang mampu dan jujur agar perubahan itu nantinya dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada kekecewaan dibelakangnya. ”Perubahan adalah Keniscayaan”

0 komentar:

Posting Komentar